news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bukan Sekadar Fashion, Punk Merupakan Sebuah Simbol Perlawanan

23 Desember 2017 18:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Punk (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Punk (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Robekan celana di bagian lutut, rompi jeans penuh dengan tempelan emblem dan spike, serta gaya rambut yang menjulang lancip ke atas yang mencolok di pandangan mata, dapat dikatakan sebagai tiga ciri utama tampilan dari para “penganut” subkultur punk.
ADVERTISEMENT
Punk kerap mendapatkan sentimen negatif dari masyarakat. Dua hal yang sering menjadi “target” dari persepsi buruk masyarakat tentang subkultur ini di antaranya adalah penampilannya yang terkesan lusuh, dan kehidupannya yang bebas.
Di luar benar atau salahnya anggapan tersebut, punk saat ini sudah menjelma sebagai sebuah sublkutur yang ada di banyak negara di dunia. Bahkan dengan menjalarnya hal ini ke berbagai ranah industri, punk sudah enggak lagi relevan untuk hanya dikatakan sebagai sebuah gaya berpakaian, melainkan sebuah ideologi.
Dalam sebuah essay berjudul “The Death and Life of Punk, The Last Subculture” yang ditulis Dylan Clark pada 2003, punk disebutkan terlahir sebagai sebuah bentuk amarah serta pemberontakan halus terhadap subkultur hippie serta fenomena komodifikasi rock ’n’ roll yang mulai terjadi pada pertengahan 1960-an.
ADVERTISEMENT
Meski punk sering disebut-sebut sebagai sebuah gerakan yang bersifat apolitik, namun bentuk perlawanan terbuka dan eksplisit para anak punk terhadap sebuah rezim yang berkuasa enggak jarang dapat kita temukan di berbagai penjuru dunia.
Salah satu contoh yang mungkin paling dikenal adalah kehadiran band asal kota Moskwa, Pussy Riot, yang beberapa kali secara terang-terangan memrotes kekuasaan Vladimir Putin dengan melakukan aksi-aksi yang terbilang cukup ekstrim.
Pussy Riot (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pussy Riot (Foto: Wikimedia Commons)
Menurut Clark, kemunculan subkultur punk di Inggris dimulai dari sekumpulan anak muda kelas buruh yang memrotes penurunan dalam sektor ekonomi, serta hipokrisi kalangan atas di negara mereka.
“Punk awal merupakan sebuah proklamasi dan sebuah dorongan perselisihan. Di Inggris, hal ini dimulai dari pemuda kelas buruh yang mengutuk penurunan ekonomi dan meningkatnya tingkat pengangguran, mencekik hipokrisi orang-orang kaya, serta menyangkal gagasan pembaruan,” tulis Clark
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kemunculan awal punk di Amerika bergerak sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap budaya arus utama yang dianggap membosankan. Pada saat itu, perlawanan tersebut ditujukan untuk mengobrak-abrik ketergantungan terhadap konsumsi barang keperluan (consumer goods), status sosial tinggi (royalty), serta menghancurkan idolisasi terhadap kaum borjuis.
Sisi kehidupan yang dianggap “bebas” oleh masyarakat pun ternyata dijalani sebagian anak punk bukan tanpa sebuah tanggung jawab. Subkultur punk dikenal memiliki hubungan yang cukup erat dengan kelahiran cara hidup “Do It Yourself” (DIY), yakni, sebuah pendekatan alternatif dari budaya konsumen modern dalam hal industri kreatif.
Pada awalnya, salah satu contoh produk cara hidup DIY yang paling dikenal adalah berupa majalah yang hanya terbuat dari hasil guntingan potongan-potongan gambar yang kemudian ditempel dengan staple, difotokopi, dan dilaminasi secara independen, yang kemudian dikenal dengan nama “Punkzine” (majalah punk).
ADVERTISEMENT
Menurut Teal Triggs, profesor desain grafis dari Royal College of Art, Inggris, yang juga penulis essay berjudul “Scissors and Glue: Punk Fanzines and the Creation of a DIY Aesthetic”, proses DIY yang terjadi pada pembuatan punkzine, selain sebagai sebuah bentuk kritik terhadap budaya populer, hal tersebut juga mampu memunculkan gaya visual tersendiri yang menjadi ciri khas dari majalah punk.
Ilustrasi Punkzine  (Foto:  Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Punkzine (Foto: Wikimedia Commons)
“Bagi para produsen majalah tersebut, proses DIY (enggak cuma) mengkritisi produksi massal melalui kualitas buatan tangan (handmade) yang ditonjolkannya, namun juga melalui proses penyesuaian (appropriation) gambar serta kata-kata dari media arus utama dan budaya populer,” tulis dia.
“Penggunaan teknik dan teknologi (dalam pembuatan punkzine), telah memiliki dampak idiosinkratik dan pembeda terhadap keseluruhan gaya visual yang berkaitan dengan punkzine,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, enggak sedikit orang yang masih beranggapan bahwa punk hanyalah sebuah gaya fashion yang dianut oleh sebagian orang. Lebih dari itu, punk merupakan sebuah simbol perlawanan terhadap suatu budaya atau bahkan kesenjangan sosial yang terjadi di tengah-tengah kita.