Cerita Relawan Bencana Sulteng: Jenazah Sulit untuk Dikenali

2 Oktober 2018 19:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tim ACT evakuasi korban di Masjid Jamiul Jamaah (Foto: Raga Imam/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tim ACT evakuasi korban di Masjid Jamiul Jamaah (Foto: Raga Imam/kumparan)
ADVERTISEMENT
Gempa bumi dan tsunami menerpa Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9) petang. Sementara terpaan bencana memporak-porandakan situasi di Sulteng, di Jakarta, Nimas Afridha Aprilianti, relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mesti bergegas.
ADVERTISEMENT
Enggak ada waktu untuk bersantai. Menerima kabar bencana pukul 20.00, perempuan 22 tahun itu lantas ditugaskan untuk pergi ke Palu. Dengan sigap, ia mengiyakan tugas tersebut.
Sabtu (29/9) pagi, bersama dua orang rescuer dari Tim Emergency Response ACT, Nimas terbang ke Gorontalo. Bukan, mereka bukan salah naik pesawat. Mereka ke Gorontalo karena mendengar kabar bandara di Palu sudah tidak bisa digunakan.
“Turun di Gorontalo, ke Palu perjalanan darat. Minggu (30/9) sore aku (sampai) di Palu. Sebelumnya kan jam 10 pagi itu aku di Donggala bagian Barat, di sana kita melakukan aksi evakuasi dulu baru siangnya kita (berangkat) Palu,” ujar cewek yang akrab disapa Nimas.
Situasi bangunan di pesisir Palu yang rata dengan tanah. (Foto: Fikri Nur Zaman/SAR Unpad)
zoom-in-whitePerbesar
Situasi bangunan di pesisir Palu yang rata dengan tanah. (Foto: Fikri Nur Zaman/SAR Unpad)
Sesampainya di Palu, Nimas dan timnya bergabung dengan sekitar delapan orang relawan dari Gorontalo.
ADVERTISEMENT
Di lokasi bencana, Nimas bertugas sebagai tim komunikasi yang mengabarkan berita terbaru untuk organisasi tempatnya bekerja, ACT. Meski tak langsung terjun dalam misi mengevakuasi korban, ia mengaku ikut melihat langsung bagaimana situasi di sana.
“Aku bener-bener melihat jenazah sudah pada bengkak dan mukanya sudah pada biru. Bentuknya juga sudah bukan seperti manusia lagi. Mukanya sudah berantakan,” jelasnya kepada kumparan.
Salah satu kesulitan tim evakuasi Nimas dalam mengevakuasi korban adalah soal kondisi jenazah yang sudah sulit diidentifikasi itu. Karena bagaimanapun caranya, keselamatan dan kesehatan tim evakuasi perlu didahulukan.
“Tentu juga keamanan bagi rescuer-nya karena rescuer tidak boleh bersentuhan (dengan jenazah) langsung kan. Bagaimana caranya jaga keamanan diri terhadap dampak yang kemungkinan besar akan muncul kalau bersentuhan dengan jenazah,” ungkap Nimas.
ADVERTISEMENT
Was-was karena gempa susulan
Di Palu, kehidupan Nimas berbalik 180 derajat. Berbeda dengan di Jakarta yang bisa tidur nyenyak di kasur kamar, di Palu, soal tidur pun harus dikondisikan.
“Kebetulan relawan dikumpulkan di satu lokasi di Korem (Komando Resor Militer) Tadulako, di Palu. Kita di situ tidur biasa aja di lapangan, ada yang (dengan) pengungsi, itu subuh pasti sudah bangun,” tutur lulusan Politeknik Negeri Jakarta itu.
Tak sampai di situ. Tidur Nimas yang sudah dikurangi waktu dan kenyamannya kadang-kadang harus diganggu juga oleh gempa.
“Aku semalem (Senin, 1/10) itu posisinya tidur di Korem dan itu bener-bener di lapangan kan, beralaskan terpal, kepala pakai (bantal) tas ranselku. Itu aku lagi nyenyak, terus tiba-tiba badanku goyang dan denger semua (orang) teriak. Itu bener-bener (buat) aku panik langsung bangun, dan aku mau lari. Tapi lari ke mana? Ya udah lari aja, yang penting nyelametin diri,” kenang Nimas.
Gerak Cepat Kementerian PUPR Bantu Gempa Sulawesi Tengah. (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
zoom-in-whitePerbesar
Gerak Cepat Kementerian PUPR Bantu Gempa Sulawesi Tengah. (Foto: Dok. Kementerian PUPR)
Menurut Nimas, selama ia menginjakkan kaki di Palu, ia bisa merasakan gempa empat kali dalam sehari. Makin lama ia tinggal, gempa itu makin parah. Satu kali gempa bisa berdurasi selama 30 detik dan itu menurutnya lebih parah getarannya dari apa yang ia rasakan di Lombok.
ADVERTISEMENT
“Bahkan kalau kita di Lombok di mobil itu kan enggak berasa ya, kalau di sini (meskipun berada di mobil) berasa banget,” katanya
Perempuan itu mengaku saat-saat pertama menginjak Palu punya keinginan untuk segera dipulangkan saja ke Jakarta karena takut. Namun, setelah melihat kondisi para korban, ia meyakinkan diri untuk tetap tegar membantu selama dua minggu ke depan.
“Yang penting siap dulu, berani dulu, terus amanah sih untuk menyampaikan apa yang ada di sini biar dikasih tahu ke semua orang kalau di sini lagi ada bencana dan mereka membutuhkan bantuan,” timpal Nimas.
***
Di sudut yang lain, ruang Sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) SAR Universitas Padjadjaran (Unpad) riuh setelah terjadinya gempa Palu dan Donggala, Jumat (28/9). Ketua UKM SAR Unpad Fikri M. Nur Zaman memimpin rapat operasi untuk menganalisis situasi yang terjadi.
Fikri M. Nur Zaman, perwakilan UKM SAR Unpad yang menjadi relawan bencana di Palu. (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Fikri M. Nur Zaman, perwakilan UKM SAR Unpad yang menjadi relawan bencana di Palu. (Foto: Istimewa)
“Dalam rapat operasi tersebut dikumpulkan semua data informasi, terkait data kondisi, akses menuju ke sana, kebutuhan di sana, terus juga penanganan yang sudah dilakukan, penanganan yang belum, terus korban terkini. Nah dari hasil dari informasi tersebut, dianalisis. Nanti keluar beberapa rekomendasi untuk personel yang akan turun ke sana,” katanya.
ADVERTISEMENT
Rapat itu menghasilkan putusan sekitar pukul sepuluh malam. Putusan itu, dengan mempertimbangkan keuangan organisasi dan pengalaman sumber daya manusia, membuat Fikri sendiri harus berangkat ke Palu mengemban misi operasi SAR dan Disaster Management Plan (DMP).
Pada operasi SAR Fikri mesti melakukan evakuasi korban dan pertolongan kepada mereka yang masih selamat. Adapun dalam misi DMP, ia mengemban amanah untuk menyalurkan penggalangan bantuan dana yang dilaksanakan di seluruh elemen kampusnya.
Dari Bandung, Fikri terbang menuju ke Makassar hari Minggu pagi (30/9). Di Makassar, ia bergabung dengan unit SAR lain dari Universitas Hasanuddin.
Kondisi relawan saat berada di atas Kapal KRI Makassar menuju Palu. (Foto: Fikri Nur Zaman/SAR Unpad)
zoom-in-whitePerbesar
Kondisi relawan saat berada di atas Kapal KRI Makassar menuju Palu. (Foto: Fikri Nur Zaman/SAR Unpad)
Sulitnya jadi relawan mesti dirasakan Fikri meski belum sampai lokasi bencana. Dari Makassar ia harus terkatung-katung di kapal TNI Angkatan Laut selama 26 jam mengarungi lautan. Barulah Selasa ini (2/10) dirinya bergabung dengan tim Badan SAR Nasional di Kantor SAR, Kota Palu.
ADVERTISEMENT
Ditanya mengapa dia kekeuh ingin berangkat, mahasiswa jurusan Teknik Informatika Unpad itu menjawab, “Kalau saya sendiri sih panggilan kemanusiaan. Kalau prinsip kerja saya sih ya (mengibaratkan) kalau misalkan itu kondisinya keluarga saya (jadi korban), jadi lebih termotivasilah untuk bekerja di lokasi.”
Kini Nimas dan Fikri masih harus berjibaku di Palu. Mari kita doakan keduanya selamat dan dapat mengemban tugas masing-masing.