Cyberbullying, Risiko Tak Terhindarkan dalam Gemerlap Instagram

26 April 2018 15:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Cyberbullying (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Cyberbullying (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Ingar bingar Instagram sebagai sebuah media sosial 'serba bisa' memang seolah begitu menjanjikan. Tak hanya menjadi ladang subur bagi bertumbuhnya ekosistem fashion blogger, platform yang satu ini pun perlahan menjelma menjadi panggung bersama warganet untuk menunjukkan segala ragam aktivitasnya.
ADVERTISEMENT
Namun, sama mudahnya untuk menyanjung seseorang, Instagram pun memiliki cukup banyak ruang bagi pertumbuhan aksi intimidasi dan penyerangan terhadap seseorang, atau yang saat ini populer dengan istilah cyberbullying.
Pengalaman pribadi Intan Kemala Sari (26) menjadi secuil bukti dari keberadaan sisi kelam aplikasi yang diciptakan oleh Kevin Systrom and Mike Krieger itu. Mungkin masih banyak sekali kasus serupa di luar sana, yang luput dari perhatian dan berakhir dengan nasib yang tak seberuntung Intan.
"Di samping banyak komen yang menanyakan soal pakaian yang saya pakai, banyak juga komen-komen enggak enak, seperti 'ih gendut' atau 'ih pede banget sih'," ucap Intan pada kumparan, Selasa (24/4) sore.
Dan ternyata benar. Kasus tersebut hanyalah satu dari sekian banyak yang pernah terjadi di dunia. Survei yang dilakukan sebuah organisasi anti-bullying asal Inggris, Ditch The Label, bahkan pernah menunjukkan Instagram sebagai platform 'terfavorit' bagi terjadinya tindak cyberbullying di tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Dengan partisipasi sebanyak 10.020 responden yang terdiri dari remaja berusia 12-20 tahun, 42 persen di antaranya menyatakan pernah menjadi korban cyberbullying di platform Instagram.
Persentase tersebut, kemudian diikuti oleh Facebook (37 persen), Snapchat (31 persen), Whatsapp (12 persen), YouTube (10 persen), serta Tumblr (3 persen).
Namun, hal apa yang sebenarnya membuat aplikasi dengan jumlah pengguna sebanyak 700 jutaan (per April 2017) tersebut, mampu menjadi tempat dengan jumlah korban cyberbullying terbanyak? Pengamat media sosial, Nukman Luthfie, memberikan pandangannya terhadap fenomena tersebut.
Dihubungi kumparan pada Kamis (26/4) siang, Nukman menjelaskan bahwa salah satu faktor yang menjadi pemicu maraknya cyberbullying di Instagram adalah perilaku pamer dari para penggunanya. Hal tersebut, menurutnya, kemudian bisa menjadi salah satu pemicu kecemburuan.
ADVERTISEMENT
"Instagram itu basisnya foto, sehingga otomatis sebagian besar orang-orang terutama anak muda itu kan penginnya menampilkan dirinya sendiri di situ. Utamanya selfie, atau pamer makanan, atau pamer apapun itu," jelas Nukman.
"Kalau memicu kecemburuan pasti komentarnya ada yang tidak suka. Itu bisa berlanjut ke cyberbullying. Makanya kalau kita lihat di Indonesia, akun-akun artis atau yang dianggap berpura-pura pun jadi korban sampah cyberbullying. Intinya sih itu," lanjutnya.
Ia pun menjelaskan, kolom komentar adalah salah satu fitur pada Instagram yang dianggap paling rawan untuk dijadikan sebagai 'wahana' bagi terjadinya tindak cyberbullying.
"Tapi tidak jarang private message juga jadi tempat cyberbullying juga, tapi melacaknya susah kalau di private message. Tapi karena (komentar) sifatnya terbuka, sehingga siapapun bisa mengomentari orang lain untuk membully," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sabagai salah satu langkah pencegahan, Nukman pun memberikan saran kepada para remaja agar tidak menjadi korban cyberbullying, dengan cara membuat akun masing-masing menjadi pribadi (private).
"Tapi kan ada yang niatnya untuk (menjadi) populer. Yang niat untuk populer harus siap dengan berbagai risiko bullying, karena tidak semua orang suka dengan kita. Saat kita dianggap berlebihan, ada saja akun yang kemudian nyamber, gitu," tutupnya.