Jebakan Fleksibilitas di Balik Waktu Kerja yang Panjang

19 Oktober 2018 18:37 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bekerja pada malam hari (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bekerja pada malam hari (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Banyaknya riset yang menunjukkan bahwa generasi milenial tak lagi tertarik dengan konsep bekerja 9 to 5 dan wajib pergi ke kantor, membawa kita pada kesimpulan baru, yaitu milenial suka dengan fleksibilitas dan mobilitas dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Hal ini dikarenakan, mereka bisa bebas mengatur jam kerja mereka sendiri dan bisa menyelesaikan pekerjaannya di mana saja. Well, enggak jarang juga kan, kalian mendapati para pekerja yang masih lekat menatap laptopnya sambil menyeruput kopi di kafe, bahkan di kala weekend.
Namun nyatanya, apa benar para pekerja milenial yang punya jam kerja fleksibel benar-benar puas dengan pekerjaannya sekarang?
Ayas, seorang fresh graduate yang bekerja di salah satu media online di Jakarta sebagai SEO specialist ini memang sadar betul bahwa perusahannya memang punya jam kerja yang panjang. Bahkan, dia sendiri lupa saat tanda tangan kontrak apakah perusahaan tempatnya bekerja tersebut punya aturan ajeg soal jam kerja atau tidak. Intinya, perusahaan tersebut menawarkan jam kerja yang “fleksibel”.
ADVERTISEMENT
Biasanya, Ayas yang termasuk morning person ini memang selalu datang pagi ke kantor. Meskipun kantornya tak punya batasan untuk masuk pukul berapa, --asal enggak terlalu siang, katanya.
Pukul 08.00 Ayas sudah standby di depan laptop mengurusi pekerjaannya. Tapi sedihnya, Ayas harus tetap siap menghadapi rutinitas panjang yang terkadang menuntutnya untuk pulang malam. Terlebih ketika ada rapat mendadak.
Ilustrasi rapat. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rapat. (Foto: Pixabay)
“Dulu bahkan pernah jam 7.30 pagi, tapi pulangnya tetap jam 9 malam. Pokoknya selalu di atas 12 jam kerjanya. Apalagi kalau tiba-tiba disuruh meeting dadakan. Wah, enggak bisa banget pulang tenggo. Selain karena ada kerjaan, ya bakal dinyinyirin juga,” ungkapnya.
Hal yang sama juga dirasakan oleh Rhesa. Cowok yang bekerja sebagai Art Director di sebuah perusahaan agensi ini, merasa peraturan tertulis mengenai jam kerja yang dia tandatangani di kontrak saat awal kerja, hanya formalitas belaka. Realitasnya, dia tetaplah harus menghadapi jam kerja yang panjang.
ADVERTISEMENT
Salah satu alasan fleksibilitas jam kerja yang dirasa masih menguntungkannya adalah boleh masuk siang. Itupun karena dirinya harus begadang semalam suntuk karena mengurus pekerjaannya.
Impossible banget lah lo bisa 8 jam kerja di agensi, selain karena load-nya juga gila, kerja creative enggak bisa dipaksakan juga kan,” tuturnya.
Ilustrasi Bekerja di Luar (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bekerja di Luar (Foto: Thinkstock)
Iming-iming fleksibilitas soal jam kerja, nyatanya seolah jadi ‘kamuflase’ di balik kerja kapan pun, dan di mana pun. Bahkan menurut Ayas, "fleksibilitas" ini cukup menjebak. Enggak jarang atasan di kantornya menjadikan fleksibilitas ini sebagai senjata untuk menyadarkannya bahwa ini adalah risiko dari pekerjaan.
Mau enggak mau, Ayas pun harus kerja overtime meski tanpa tambahan uang insentif.
“Intinya kayak kerja fleksibel ini enggak jarang dijadiin alasan buat meres tenaga dan waktu karyawan kan. Seolah kita kayak enggak punya kehidupan atau urusan lain di luar pekerjaan,” katanya jengkel.
ADVERTISEMENT
Sedikit berbeda dengan Rhesa, sejauh ini dia merasa lumayan enjoy dengan apa yang dilakoninya, meski tak menampik, bahwa dirinya pernah dihinggapi rasa bosan dan ingin resign.
Namun setidaknya, Rhesa masih bisa menikmati keuntungan dari bekerja dengan waktu yang panjang (overtime). Dia mengaku perusahaannya mengcover biaya makan dan memberinya bonus bulanan.
“Setiap bulan, goal atau enggak (project) tetap dapat bonus, 30 persen dari gaji,” aku Rhesa.
Ilustrasi Lembur  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lembur (Foto: Thinkstock)
Meski harus rela kerja overtime tanpa bayaran lebih, Ayas mengaku tetap enjoy bekerja karena dirinya sadar sebagai seorang fresh graduate, pengalaman kerja pertamanya ini mungkin harus diterima tanpa banyak mengeluh.
Dirinya pun sempat berpikir untuk jadi PNS saja, karena menurutnya, selama punya jam kerja fleksibel seperti yang dijalaninya sekarang, Ayas jadi sering banget melewatkan waktu kumpul bersama teman atau keluarga.
ADVERTISEMENT
Tapi yang mengejutkan, Ayas ternyata tetap memilih untuk tetap bekerja di perusahaan yang punya waktu fleksibel. Alasannya selain karena santai, teman-temannya yang kebanyakan berusia sebaya dengannya itu dirasa cukup asik untuk diajak ngobrol.
“Di sisi lain kalau load kerja enggak lagi padat dan enggak ada meeting dadakan sih, dengan jam kerja fleksibel ini aku jadi bisa banyak ngobrol sama temen kantor. Di luar dari soal kerjaan, kultur (orang-orangnya) asik, sih. Jadi prefer kerja fleksibel aja sejauh ini,” tandasnya.