Kaum Milenial Ubah Wajah Filantropi Indonesia

24 November 2017 18:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Milenial. (Foto: flickr/@StateFarm)
zoom-in-whitePerbesar
Milenial. (Foto: flickr/@StateFarm)
ADVERTISEMENT
Populasi milenial yang mendominasi saat ini sedikit banyak mengubah beberapa aspek kehidupan. Salah satunya peta filantropi di Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Filantropi berarti kedermawanan. Kata dermawan di sini merujuk pada sebuah aktivitas sosial yang senantiasa terbuka dan senang memberikan sesuatu kepada orang lain. 
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, bentuk filantropi sangat beragam. Mulai dari pemberian donasi untuk kegiatan keagamaan, penyaluran bantuan bencana, sampai menyantuni anak-anak yatim. Aktifitas sosial juga tidak jauh dari citra orang tua yang pensiun atau kalangan kaya raya. Bergulirnya era informasi menjadi digital telah mengubah semua wajah filantropi.
Kini, di tangan para milenial yang dianggap memiliki stigma individualis, berderma malah bertransformasi menjadi kegiatan wajib yang menyenangkan. Mereka mengubah pemikiran bahwa memberi bisa melalui siapa dan apa saja.
Berbeda dengan kegiatan filantrop yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, beraktifitas sosial di generasi milenial biasa dilakukan melalui pembentukan komunitas. Tentu saja, dengan pemanfaatan teknologi informasi dan budaya pop. Filantrop milenial yang berasal dari ragam latar belakang ini kemudian berkumpul dan fokus untuk mengatasi sebuah isu.
ADVERTISEMENT
"Anak-anak muda zaman sekarang itu mengemas program berderma agar terlihat lebih populer, menyenangkan, serta mengandung aspek pemberdayaan ekonomi," ujar Hamid Abidin, Direktur Filantropi Indonesia saat berbincang dengan kumparan (kumparan.com), Jumat (24/11).
Beberapa waktu lalu, komunitas pebisnis Heritage Millennials memberi contoh nyata bahwa saat ini berbuat sosial tidak lagi sekaku dulu. Kumpulan milenial yang bergelut dalam dunia bisnis tersebut menggelar bantuan donasi bagi para penderita kanker payudara di Indonesia melalui kegiatan Fashion Show Collaboration.
Ada juga website kitabisa.com yang menggalang dana untuk anak yatim dan orang sakit melalui online dengan metode campaign. Tidak hanya terbatas pada orang sakit atau anak yatim, pendukung pembalap Rio Haryanto ini pun pernah menggalang dana untuk membantu idolanya menuju arena balapan F1 pada 2015 lalu.
ADVERTISEMENT
Fenomena seperti ini dipandang baik oleh Hamid. Ia mengatakan bahwa kalangan milenial saat ini telah mengubah kegiatan berdonasi menjadi populer. Ditambah lagi, saat ini kecenderungan para milenial, lebih mendukung perusahaan yang bergerak di isu sosial. Ini menandakan bahwa setidaknya kepedulian sosial anak muda zaman sekarang masih tinggi.
Namun di balik segala bentuk kemewahan berderma, Hamid meragukan validitas dari sebuah donasi. Kasus Cak Budi adalah salah satu gambarannya. Penyalahgunaan uang donasi akibat tidak kredibelnya komunitas yang menaungi sebuah donasi, bisa jadi merusak kepercayaan masyarakat nantinya. Ia mengatakan kalau saat ini kalangan milenial dianggapnya cenderung membentuk sebuah komunitas penggalangan dana, tanpa memikirkan akuntabilitasnya. Ini yang harus diantisipasi dengan baik.
"Sebaiknya bekerja sama dengan perusahaan yang kredibel. Sehingga lebih bisa dipercaya orang," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Hamid juga menceritakan bahwa hingga beberapa tahun mendatang, filantropi Indonesia akan bergerak maju ke arah yang lebih menantang. Kalangan milenial akan lebih melibatkan usaha-usaha yang dibatasi waktu dalam penggalangan dana.
"Nanti bisa jadi pola filantropi justru akan menjadi tren yang seperti saat ini, masyarakat ditantang untuk mengumpulkan beberapa ratus juta, kemudian jika mampu, maka sang penantang akan berjanji lari hingga berapa kilometer misalnya," tutupnya.