Luthfi, Disabilitas yang Lulus Kedokteran UNS & S2 Cumlaude di UGM

4 Desember 2017 13:19 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Luthfi Azizatunnisa Saat Wisuda (Foto: Twitter/@LuthfiNiza)
zoom-in-whitePerbesar
Luthfi Azizatunnisa Saat Wisuda (Foto: Twitter/@LuthfiNiza)
ADVERTISEMENT
Enam tahun berlalu, tapi peristiwa kecelakaan beruntun itu masih begitu lekat diingat Luthfi Azizatunnisa (26). Akibat kecelakaan itu Luthfi menderita quadriplegic level C6 dan membuatnya harus mengenakan kursi roda. Kala itu ia tengah menempuh semester akhir pendidikan dokter Universitas 11 Maret (UNS) Solo.
ADVERTISEMENT
"Jadi sistem syaraf pusat manusia itu ada 2. Otak dan sumsum tulang belakang. Nah saya 15 Agustus 2011 kecelakaan beruntun di Jalan Jogja-Solo yang mengakibatkan tulang belakang saya bagian leher ruas ke 6, 7 patah dan mendesak sumsum tulang belakang. Akibatnya saya lumpuh di keempat anggota gerak (quadriplegia)," jelas Luthfi saat ditanya kumparan (kumparan.com), Senin (4/12)
Sesaat setelah kecelakaan Luthfi dirawat di UGD RS PKU Muhammadiyah Delanggu dan dioperasi di RSUP Suradji Tirtonegoro. Saat dirawat, Luthfi sempat mengalami kritis dan harapan hidupnya tinggal 50%.
Beruntungnya, Luthfi dapat lolos dari maut. Ia akhirnya dapat kembali membuka mata meskipun harus menerima kenyataan pahit, ia tak lagi bisa berjalan sebagaimana sebelumnya.
Sebelum kecelakaan, Lutfhi adalah pribadi yang aktif. Saat berkuliah di UNS Solo, Lutfhi bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Oleh karena itu, ia sering mendaki, bersepeda, berenang, memanjat, dan aktivitas fisik lainnya.
ADVERTISEMENT
Tapi, karena fisiknya tak lagi menunjang seperti sebelumnya, Luthfi kemudian sempat mengalami depresi. Ia menangis sepanjang malam dan sesekali melihat foto-foto bersama temannya dulu.
"Tuhan mengapa kau buat kesedihan ini? Mengapa aku tak bisa seperti mereka?" tanya Luthfi saat berada di kamarnya.
Setelah mengambil cuti selama 3 tahun untuk kesembuhannya, akhirnya Luthfi kembali berkuliah.
"Saya 3 tahun cuti. Awalnya pas masuk minder sama adek kelas. Takut ketinggalan, ngga bisa ngejar. Untungnya saya ikut Mapala. Saat di Mapala kekeluargaannya kuat. Banyak adek tingkat yang kenal dan membantu saya. Mereka baik semua," cerita Luthfi.
Kembalinya Luthfi berkuliah disebabkan karena adanya motivasi yang kuat dalam dirinya.
"Saya memotivasi diri sendiri, semuanya dari saya," sebut Luthfi.
ADVERTISEMENT
Luthfi memulai kembali kuliahnya dengan bantuan ibunda yang tanpa lelah mengantar jemputnya setiap hari. Tak hanya itu, ibu Luthfi juga dengan telaten membantu Luthfi menaiki tangga di gedung kuliah yang tak ada liftnya. Ibunda dengan sabar memapah tubuh Luthfi untuk menaiki dan menuruni anak tangga.
"Ibu saya juga membantu saya pindah dari satu gedung ke gedung kuliah lainnya," tutur Luthfi.
Pada akhirnya, kesabaran Luthfi dan sang ibu berbuah manis. Tahun 2015 ia berhasil menyelesaikan skripsinya dan mendapatkan gelar sarjana kedokteran.
Perjalanan Luthfi tak berhenti di situ. Ia mendapatkan beasiswa S2 dari WHO TDR. Ia mengambil S2 jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat di UGM.
"Saya dapat beasiswa dari WHO TDR (Program spesial untuk penelitian dan pelatihan untuk penyakit tropis). Saya mengambil IKM, Ilmu Kesehatan Masyarakat karena aksesnya lebih mudah, tidak terlalu detail," ujar Luthfi.
ADVERTISEMENT
Saat kuliah di UGM, Luthfi kembali dibantu oleh ibunya. Perjuangan ibunya tak ada hentinya hingga pada akhirnya Luthfi berhasil meraih gelar master dengan predikat cumlaude di UGM. Baginya ibu adalah pahlawannya.
"Ibu saya tiap hari anter jemput saya kuliah. The real hero is my mom," tulis Luthfi di Twitternya, Sabtu (2/12)
Luthfi sendiri memiliki cita-cita sebagai dokter forensik. Tapi, karena dia belum mengikuti koas (magang di rumah sakit untuk mendapatkan gelar dokter), ia belum mendapatkan gelar dokter dan belum bisa mewujudkan mimpinya menjadi spesialis forensik.
Untuk saat ini, Luthfi sedang fokus membantu penelitian dosennya di UGM tentang penyakit TBC di Indonesia.