Memilih untuk Enggak Memaafkan Bukan Sebuah Masalah

4 Juni 2019 15:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bertengkar. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bertengkar. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bagi sebagian orang, tindak atau proses memaafkan setelah rasa sakit luar biasa yang dialami sebelumnya adalah sesuatu yang mudah saja dilakukan. Itu semua bisa terjadi tergantung pada situasi yang dialami masing-masing individu.
ADVERTISEMENT
Memang enggak ada yang salah dengan itu semua. Namun, yang jadi masalah adalah mengglorifikasi bahwa seseorang akan jadi lebih kuat, lebih besar, dan lebih baik dengan memaafkan.
Padahal, dikutip dari Elite Daily, pengampunan sepenuhnya tergantung pada kesalahan yang dibuat dan individu yang menjadi korban. Ada beberapa contoh kasus yang menyulitkan seseorang untuk memberi maaf. Sebagai contoh, seorang penyintas kekerasan seksual yang traumatik tentu akan lebih fokus untuk pemulihan dirinya dibanding memaafkan sang pelaku kekerasan.
Orang-orang pun perlu paham, bahwa mereka enggak seharusnya memaksa seseorang untuk memaafkan. Itu adalah hak yang tak perlu jadi soal.
Banyak orang gagal menyadari bahwa kita semua memiliki cara tersendiri untuk 'penyembuhan' setelah disakiti atau dikhianati. Memilih untuk enggak memaafkan juga enggak lantas menjadikan kamu orang jahat atau orang yang lemah.
ADVERTISEMENT
Meski banyak artikel atau penelitian populer menyatakan bahwa dengan memaafkan dapat meningkatkan kesehatan mental dan mengurangi depresi, ada beberapa penelitian yang menyebut bahwa kamu tetap bisa bahagia dan melanjutkan hidup tanpa memaafkan mereka yang telah menyakiti kamu. Faktanya, rasa kecewa dan kemarahan itu dapat digunakan sebagai katalis sekaligus katarsis untuk mendorong kamu berbuat lebih baik lagi.
Elizabeth Bernstein, seorang kolumnis di The Wall Street Journal, yang telah menyabet beberapa penghargaan dari the New York Chapter of the Society of Professional Journalists' Deadline Club dan the American Psychoanalytic Association menyebut, ada faktor tertentu mengapa seseorang enggan memaafkan.
"Pada awalnya, memaafkan mungkin membantu untuk melepaskan amarah, dendam dan keinginan untuk membalas dendam. Tetapi, memaafkan juga dapat mendorong seseorang untuk melakukan kesalahan lagi. Para ahli mengatakan, untuk mendapatkan pengampunan mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun. Tapi yang terbaik adalah jangan memaafkan terlalu cepat," katanya.
ADVERTISEMENT
Permintaan maaf bisa saja diterima jika seseorang paham bahwa ia telah melakukan kesalahan. Namun, yang jadi soal adalah jika mereka enggak benar-benar tulus mengakui kesalahannya.
Selain itu, kadang permintaan maaf pun terasa basi dan enggak lagi dibutuhkan karena saking telatnya. Seseorang mungkin sudah merasa hidupnya baik-baik saja tanpa orang yang menyakitinya tersebut.
Ilustrasi perempuan bahagia. Foto: Shutterstock
Yang terpenting adalah fokus pada dirimu sendiri dan lakukan sesuatu yang membuatmu bahagia. Enggak memaafkan pun bukan berarti kamu gagal move on.
Itu bisa jadi sikap tegas bahwa kamu enggak bisa menoleransi perbuatan seseorang yang sudah mengecewakan kamu dan kamu enggak pantas diperlakukan seperti itu.
Mengambil sikap ini juga merupakan tindakan berani dan jujur pada diri sendiri. Percayalah, kamu pasti bisa mencapai rasa damai versimu sendiri. Kamu juga layak dapat kesempatan dan menjalani kemungkinan baru dalam hidup.
ADVERTISEMENT