Milenial Indonesia vs Generasi Terdahulu: Lebih Bahagia Mana?

16 Januari 2018 17:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelajar di Singapura sedang berkegiatan di sekolah (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Pelajar di Singapura sedang berkegiatan di sekolah (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
“Remaja saat ini berperilaku lebih baik dan tidak hedonis,” ujar sebuah artikel dalam The Economist, Rabu (10/1). “Namun, mereka juga lebih kesepian dan terisolasi.”
ADVERTISEMENT
Generasi muda saat ini memiliki tindak tanduk dan pola pikir yang berbeda jika dibanding dengan generasi sebelumnya. Perubahan ini tak hanya terjadi di satu-dua negara saja, tapi tersebar di Amerika, Eropa, bahkan Indonesia.
Premis tersebut diperkuat dengan temuan Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang menunjukkan perubahan usia rata-rata remaja yang pertama kali mengonsumsi alkohol, dari umur 14,4 tahun menjadi 16,1 tahun sejak 1998. Kali pertama mereka meneguk alkohol pun tidak dengan menenggak habis minuman itu, melainkan hanya menyesap untuk mencoba.
Namun, ini bukan hanya tentang alkohol. Generasi muda kini juga cenderung tak mengonsumsi bahan-bahan aditif atau penenang lain seperti tembakau (rokok) dan ganja.
Dari angka 11 persen, jumlah anak muda di Swedia yang tak pernah mengonsumsi bahan aditif meningkat hingga 31 persen. Sementara anak muda di Islandia yang sama sekali tak mengonsumsi zat aditif pun melonjak drastis dari angka 23 persen menjadi 61 persen.
ADVERTISEMENT
Perubahan ini juga tergambar di Amerika Serikat, di mana obat-obatan terlarang--kecuali ganja yang aturannya lebih longgar--kian redup popularitasnya.
Walau ditengarai kurang bahagia lantaran kesepian dan terisolasi, anak muda di Indonesia memiliki tingkat kebahagiaan yang dinilai lebih tinggi ketimbang angka kebahagiaan kelompok usia di atasnya yang non-milenial.
Survei nasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) 2017 bertajuk “Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik” menyebutkan, kelompok milenial (digolongkan 17-29 tahun) memiliki tingkat kebahagiaan hidup tinggi.
Dalam survei tersebut, 91,2 persen responden milenial Indonesia merasa bahagia menjalani hidup. Sementara kelompok di atasnya (non-milienial di atas 30 tahun) yang merasa bahagia berjumlah 89,3 persen.
Tingkat kebahagiaan menjalani hidup. (Foto: CSIS - 2017)
zoom-in-whitePerbesar
Tingkat kebahagiaan menjalani hidup. (Foto: CSIS - 2017)
Bagi kedua kelompok itu, sumber kebahagiaan datang dari kesehatan, waktu luang bersama keluarga, dan kecukupan keuangan. Namun, bagi kelompok milenial, pekerjaan dan jenjang karier menjadi salah satu tolok ukur kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Walau memiliki inidikator serupa, kedua kelompok memandang sumber kebahagiaan secara berbeda. Soal kesehatan misalnya, sebanyak 47,9 persen kelompok non-milenial menilai kesehatan sebagai sumber kebahagiaan utama. Sementara hanya 40 persen kelompok milenial yang melihat kesehatan sebagai kunci kebahagiaan utama.
Namun bagi kelompok milenial, waktu luang bersama keluarga tak kalah penting menjadi sumber kebahagiaan dibanding kesehatan. Sebanyak 28,8 persen kelompok milenial sepakat dengan hal tersebut. Sementara hanya 19,1 persen kelompok non-milenial yang memandang penting waktu luang bersama keluarga.
Hal yang dianggap sumber kebahagiaan. (Foto: CSIS - 2017)
zoom-in-whitePerbesar
Hal yang dianggap sumber kebahagiaan. (Foto: CSIS - 2017)
Tak hanya menyoal kebahagiaan hidup, terdapat perbedaan cukup signifikan kala berbicara tentang kegiatan yang paling menarik minat masing-masing kelompok. Kelompok non-milenial memandang kegiatan yang paling menarik minat adalah 1) beragama, 2) memasak, dan 3) olahraga.
ADVERTISEMENT
Sementara kelompok milenial memiliki minat yang begitu tinggi pada 1) olahraga 2) musik dan 3) menonton film.
Gaya hidup sehat menjadi salah satu tren yang digandrungi anak muda saat ini. Berbagai acara bertajuk “lari bersama” menjadi kegiatan yang mereka minatit. Tak jarang, kegiatan seperti car free day yang digelar di bilangan Sudirman hingga Senayan setiap hari Minggu pun dipadati oleh anak muda.
Dalam koridor teknologi, anak muda Indonesia cenderung lebih dekat dan mudah beradaptasi dengan dinamika perkembangan teknologi yang ada.
Di Indonesia, survei Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) pada 2016 melansir anak muda kelompok usia 10-15 tahun yang aktif menggunakan internet dan gawainya telah mencapai angka 768 ribu. Sementara, kelompok usia 15-19 tahun berada di angka 12,5 juta pengguna, disusul kelompok 20-24 tahun yang mencapai 22,3 juta pengguna.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut begitu tinggi jika dibandingkan dengan generasi non-milenial di kelompok umur 40-44 tahun yang hanya berada di angka 16,9 juta pengguna.
Milenial. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Milenial. (Foto: Thinkstock)
Ada banyak hal yang akhirnya berubah dari generasi lampau ke sekarang. Kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi, kesadaran untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga, untuk memasuki dunia profesional di usia yang lebih dini, hingga adaptasi teknologi yang jauh lebih cepat, menjadi perubahan yang mengiringi dinamika anak muda Indonesia saat ini.
Perubahan ini pun tak semata-mata muncul begitu saja. Globalisasi dan teknologi menjadi salah satu pemicu utama pergeseran tindak tanduk dan nilai yang dianut oleh anak muda.
Dalam artikelnya di The Atlantic, Jean M. Twenge menjelaskan bagaimana generasi muda saat ini cenderung nyaman dengan teknologi yang begitu memudahkan kehidupan. Milenial, contohnya, didaku sebagai generasi yang cenderung individualis. Perilaku ini telah meningkat sejak ‘berakhirnya’ generasi ‘Baby Boomer’--kelompok yang lahir dalam cakupan tahun 1946 hingga 1964.
ADVERTISEMENT
“Merasa lebih nyaman untuk hadir secara ‘online’ dibandingkan keluar berpesta, generasi pos-milenial jauh lebih aman--secara fisik--daripada generasi dewasa sebelumnya,” tulis Twenge.
Tak hanya soal cara pandang, perbedaan pun muncul di kedua kelompok tersebut dalam cara menghabiskan waktu yang mereka miliki.
Kedekatan Generasi Milenial dengan Teknologi (Foto: rawpixel)
zoom-in-whitePerbesar
Kedekatan Generasi Milenial dengan Teknologi (Foto: rawpixel)
Generasi milenial cenderung menghabiskan waktu sendirian di kamar ketimbang berpesta atau pergi makan bersama. Tak heran, angka kecelakaan mobil yang terjadi di kelompok umur ini tak sebanyak kejadian di generasi sebelumnya. Tingkat konsumsi alkohol pun cenderung menurun, sebab mereka lebih memilih berada di rumah.
Walau terdapat indikasi meningkatnya kebahagiaan menjalani hidup, teknologi gawai pintar yang berpotensi menjadi ‘pusat kehidupan’ dapat memengaruhi gejolak kebahagiaan yang dirasakan kelompok milenial tersebut.
Terlepas dari sehat dan amannya fisik, kelompok milenial--selanjutnya juga pos-milenial--cenderung lebih rentan terhadap kesehatan mental. Sebanyak 35 persen anak muda yang menghabiskan waktu tiga jam atau lebih dengan peralatan elektronik (gawai, laptop) memiliki kerentanan terhadap tindak bunuh diri. Sebab, rasa sendiri dan terisolasi dari dunia nyata memicu perasaan depresi yang muncul dalam diri anak itu.
ADVERTISEMENT
Perbedaan dan perubahan akan terus terjadi seiring berkembangnya teknologi. Tak dapat dipungkiri, kehadiran teknologi menjadi salah satu faktor berubahnya pandang dan nilai kelompok anak muda saat ini terhadap banyak hal, mulai dari cara pandang terhadap kebahagiaan hidup hingga cara menghabiskan waktu yang paling menarik.
Tiap generasi memiliki kekhasan dan kesulitan masing-masing. Sementara baby boomer berperang dengan segala keterbatasan teknologi dan akses di masanya, kelompok milenial dan pos-milenial ‘memerangi’ sikap individualistik akut--dengan dirinya sendiri.
===============
Simak ulasan mendalam lainnya dengan mengikuti topik Outline!