Pengalaman Saya Hidup Seminggu Tanpa Smartphone, Susah Banget!

27 Agustus 2018 18:26 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Tidur dengan Smartphone. (Foto: StockSnap via Pixabay (CC0 Creative Commons))
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Tidur dengan Smartphone. (Foto: StockSnap via Pixabay (CC0 Creative Commons))
ADVERTISEMENT
Enggak jarang saya merasa heran melihat orang yang matanya terus terpaku ke layar smartphone. Seakan hidup mereka enggak ada artinya lagi tanpa kehadiran layar sentuh berbentuk persegi panjang itu. Padahal yang dibuka juga aplikasi itu-itu aja. Aplikasi yang dibuka enggak jauh dari Instagram, Twitter, atau paling banter buka Line, lalu ngecek Line Today untuk baca berita-berita terkini.
ADVERTISEMENT
Keheranan saya lantas dijawab oleh penelitian yang dilakukan Samuel Veissiere, Asisten Profesor di Departemen Psikiatri dan Antropologi Universitas McGill.
Dalam jurnal yang ia unggah di laman Frontiers in Psychology, Veissiere menjelaskan bahwa alasan seseorang scrolling Instagram sampai pukul 1 dini hari, sebenarnya bukan karena smartphone. Tapi karena keinginan untuk bersosialiasi, mengamati perilaku orang, dan dilihat oleh orang lain.
"Jadi bukan karena ketagihan dapat notifikasi handphone, tapi karena keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Dan penghargaan sosial yang kita peroleh dari berinteraksi lewat smartphone inilah yang mendorong perilaku obsesif kita," jelas dia.
Kalau memang alasan enggak bisa lepas dari smartphone karena kebutuhan sosial, apa berarti orang yang enggak pakai smartphone jadi antisosial, kurang pergaulan, dan dijauhi teman?
ADVERTISEMENT
Well, untuk menjawab pertanyaan itu, akhirnya saya memberanikan diri untuk mencoba bagaimana rasanya enggak pakai smartphone selama seminggu. Begini kisahnya.
Sebelum hari pertama, Minggu (19/8)
Sebenarnya saya enggak punya pilihan untuk menolak ‘tantangan’ itu. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah mempersiapkan mental, jiwa, dan raga. Saya jauhkan smartphone dari pandangan, bahkan saya timbun pakai sajadah supaya selalu berada di lindungan Tuhan selama enggak dipakai. Serius.
Sebelum tidur saya baru sadar kalau fungsi smartphone enggak cuma media sosial, tapi juga membangunkan orang yang tidurnya udah kayak ‘orang mati’ macem saya. Apalagi saya enggak punya handphone non-smartphone yang bisa dipakai.
Panik, dong. Ditambah waktu itu saya sendirian di rumah. Akhirnya saya minta kakak untuk menelepon ke rumah pagi harinya. Berhasil?
ADVERTISEMENT
Hari pertama, Senin (20/8)
Benar saja. Tepat pukul 6 si kakak menghubungi pesawat telepon di rumah. Untung langsung kebangun. Saya pun siap-siap untuk berangkat ke kantor.
Biasanya selain dompet dan buku yang disiapkan, saya wajib membawa smartphone dan charger sebelum pergi ke luar rumah. Tapi pagi itu saya cuma bisa melirik smartphone yang ketimbun sajadah dari kejauhan. Terus saya jadi ragu. Duh, bisa enggak, ya?
Mengandalkan telepon karena enggak pakai smartphone jadi enggak bisa chatting. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Mengandalkan telepon karena enggak pakai smartphone jadi enggak bisa chatting. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
Ketika di kantor, saya merasa cukup optimis bisa melalui tantangan ini karena kerjaan masih bisa kelar dan saya masih bisa berkomunikasi dengan teman lewat aplikasi LINE atau email.
Sampai saya mendapat email kalau saya harus mengikuti uji kompetensi wartawan di hari Sabtunya. Ini berarti saya harus menghubungi 20 narasumber yang nomornya tersimpan di smartphone saya. Aduh! Daripada mumet, akhirnya saya memilih untuk menenangkan diri dan memikirkannya lagi nanti-nanti.
ADVERTISEMENT
Hari kedua, Selasa (21/8)
Tantangan mulai terasa sulit ketika saya diminta untuk mencari seorang aktuaris, dan mahasiswa yang mengambil jurusan Aktuaria. Karena saya enggak bisa pakai WhatsApp, dan enggak megang handphone sama sekali, maka hanya menggunakan LINE dan direct message media sosial.
Si bos yang iba melihat saya pun luluh dan meminjamkan handphone Samsung flip-nya kepada saya. Tapi masalah belum kelar, karena simcard yang saya punya ukurannya kecil, jadi saya harus ke warung pulsa buat ngakalin biar simcard saya bisa terbaca sama handphone itu.
Tapi karena simcard saya ketinggalan di rumah, jadi hape pinjaman si bos tergeletak aja di dalem tas. Terus saya ribet lagi untuk menghubungi narasumber. Hehehe..., pintar, kan, saya?!
ADVERTISEMENT
Hari ketiga, Rabu (22/8)
Karena bertepatan dengan hari Idul Adha dan saya dapat giliran libur, jadi saya terbebas dari kerjaan. Cuma di hari ketiga ini saya makin tersadar kalau saya udah terbiasa santai-santai di kasur sambil main hape, apalagi kalau lagi libur, saya bisa melototin smartphone sampai lupa waktu.
Tapi karena masih belum bisa pakai smartphone, jadinya saya makin sering buka laptop. Asli, saya kepikiran dan enggak mau ketinggalan topik yang lagi diobrolin teman-teman, gosip apa yang lagi sering dibahas, sampai menu makanan apa yang dimakan sama artis mukbang di YouTube.
Intinya di hari ketiga selain makan sate sama keluarga, saya cuma browsing enggak jelas di laptop. Ya bisa dibilang hidup saya terselamatkan karena laptop. Tapi enggak tahu, deh, kalau tiba-tiba saya dapat tantangan untuk enggak pakai smartphone sekaligus laptop di saat yang bersamaan.
Memindahkan catatan hasil wawancara dengan narasumber ke laptop. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Memindahkan catatan hasil wawancara dengan narasumber ke laptop. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
Hari keempat, Kamis (23/8)
ADVERTISEMENT
Saya kayaknya sudah mulai terbiasa enggak pakai smartphone. Kerjaan juga masih bisa selesai seperti biasa. Rasanya lebih enak karena saya bisa menyaring informasi apa yang diterima.
Apalagi saya enggak perlu membaca broadcast-an di grup WhatsApp keluarga. Hidup lebih damai gitu. Ya, damai dari drama, sampai jokes garing bokap-bokap di grup WhatsApp keluarga.
Hari kelima, Jumat (24/8)
Damai apanya??! Liputan tanpa smartphone enggak ada damai-damainya sama sekali.
Jadi redaktur saya minta untuk meliput peluncuran sepatu terbaru dari salah satu merek olahraga. Saya udah keringat dingin ketika tahu liputannya di pusat perbelanjaan tengah kota dan saya enggak tahu harus lewat jalan mana.
Alhasil sebelum liputan saya buka maps di laptop dan saya catat tiap-tiap belokan, saya hapalin gedung-gedung apa saja yang bakal saya lewati, sampai nama jalannya.
ADVERTISEMENT
Aduh, ribet banget. Saya juga harus mengendarai motor sambil megang buku catatan, dan tetap nyasar. Untung pelat nomor motor saya AB, jadi tiap nanya orang, mereka seakan memaklumi saya enggak tahu jalan.
Tapi cobaan saya enggak berhenti setibanya di tempat liputan. Saya mati gaya karena enggak bisa memotret dan merekam acaranya. Sedangkan reporter lain saya lihat sampai Instastory segala. Apalagi saat wawancara narasumber, saya mau enggak mau nulis tiap perkataannya. Udah berasa kayak wartawan tahun 80-an, deh.
Tanpa bantuan GPS di smartphone, jadi harus mengandalkan catatan biar enggak nyasar. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tanpa bantuan GPS di smartphone, jadi harus mengandalkan catatan biar enggak nyasar. (Foto: Agassi Moriand/kumparan)
Hari keenam, Sabtu (25/8)
Saya gagal. Saya pakai smartphone lagi. Hahaha....
Hari ini saya ujian dan memang harus pakai smartphone. Enggak perlu diceritain saya malu, saya gagal bertahan tanpa smartphone seminggu penuh.
Tapi saya terharu, sih, bisa pakai smartphone setelah puasa lima hari. Saya norak lagi waktu bisa rekam suara, bisa foto, video, dan paling penting bisa ngetik pakai keyboard qwerty.
ADVERTISEMENT
Hari ketujuh, Minggu (26/8)
Karena kemarin saya gagal, hari ini saya ingin menebus dosa dengan kembali menimbun smartphone di bawah sajadah. See you tomorrow, my dear phone~
Hari kedelapan, Senin (27/8)
Setibanya si bos di kantor, dan memberikan izin untuk menyudahi cobaan ini, saya dengan muka semringah menyalakan kembali smartphone yang ada di tas.
Ketika saya cek WhatsApp, banyak banget informasi yang dilewatkan. Mulai dari drama di grup keluarga gara-gara perbedaan pandangan politik (kalo yang ini saya bersyukur enggak megang smartphone), sampai teman berulang tahun yang enggak saya ucapkan.
Intinya, setelah menyudahi tantangan ini, saya seperti menjadi anak yang terlahir kembali. Bukan suci tanpa dosa, tapi enggak tahu apa-apa karena hampir semua informasi yang saya butuhkan ada di ponsel pintar kesayangan.
IIustrasi bermain smaratphone. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
IIustrasi bermain smaratphone. (Foto: Thinkstock)
Jadi begitulah petualangan saya kurang lebih seminggu tanpa smartphone. Selain faktor media sosial, yang paling memberatkan dari tantangan ini adalah tanpa smartphone saya harus kerja dua kali. Hidup saya makin ribet karena sekarang hampir semua kegiatan sehari-hari membutuhkan peran smartphone.
ADVERTISEMENT
Enggak cuma sekadar memantau timeline media sosial teman-teman untuk tahu gosip terbaru, smartphone juga memudakan orang-orang kayak saya yang enggak tahu jalan di Jakarta.
Alhasil, seperti yang sudah dijelaskan, saya yang kurang paham dengan jalan-jalan di Jakarta harus punya persiapan matang. Mulai dari mencatat rute yang akan saya lewati, bahkan menuliskan nama-nama jalan yang harus saya lewati. Ya, meski ujung-ujungnya nyasar juga, satu hal yang saya pelajari, jangan malu tanya warga sekitar kalau kamu tersesat.
Saya juga harus mengakui kalau jadi agak renggang dengan teman-teman yang enggak bisa saya temui langsung atau ajak ngobrol lewat aplikasi selain WhatsApp. Bahkan sesederhana catch up lewat Instagram sulit dilakukan tanpa smartphone. Mau dibilang ketagihan atau kecanduan, yang pasti, saya enggak mau lagi, deh, berpisah dari smartphone. Sumpah, susah banget.
ADVERTISEMENT
Nah, kalau kamu bagaimana? Punya pengalaman serupa?