Pengamat Pendidikan: Program Akselerasi Bisa Memengaruhi Psikis Murid

28 September 2018 19:37 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak SMA. (Foto: Antara/M. Agung Rajasa)
zoom-in-whitePerbesar
Anak SMA. (Foto: Antara/M. Agung Rajasa)
ADVERTISEMENT
Program percepatan proses belajar atau yang dikenal dengan akselerasi (aksel), nyatanya ramai menuai pro dan kontra, terutama bagi mereka yang punya kepedulian terhadap dunia pendidikan. Puncaknya, Kemdikbud akhirnya menghapus program akselerasi pada tahun ajaran 2015-2016 lalu.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, beberapa sekolah menengah atas masih ada yang menerapkan program aksel ini dengan nama baru yaitu ‘SKS 4 Semester’. Seperti yang umumnya kita ketahui, untuk dapat lulus dari sekolah menengah atas, biasanya para murid harus menempuh 6 semester. Namun dengan program SKS 4 Semester ini, para murid bisa lulus lebih cepat dari yang lainnya.
Program percepatan ini lantas menimbulkan citra tersendiri bagi para pelajar yang menempuh jalur aksel. Selain terkesan eksklusif karena kepintarannya, anak aksel juga dinilai jadi kurang menikmati masa sekolahnya dan minim sosialisasi.
Hal tersebut nyatanya memang dialami oleh Sultan, salah satu siswa akselerasi dari SMAN 2 Tangerang Selatan. Dia mengaku harus mengurangi kegiatan di luar bidang akademik.
ADVERTISEMENT
“Karena sistem belajarnya (aksel) ngebut juga, saya harus ngurangin kegiatan-kegiatan di luar belajar kayak ekstrakurikuler dan organisasi lain,” akunya.
Ina Liem, seorang pengamat pendidikan sekaligus konsultan karier, mengemukakan ketidaksetujuannya pada program akselerasi karena dinilai tidak sesuai dengan tujuan pendidikan di sekolah menengah yang lebih menekankan pada pendidikan karakter.
“Tujuan pendidikan kan bukan cari ijasah, tapi ilmu. Apalagi pendidikan dasar dan menengah, penekanan harusnya memang di pendidikan karakter. Bukan sekadar cepat-cepatan mampu menjawab ujian dan lulus di usia muda,” ujarnya.
Dia juga menambahkan, program akselerasi dapat memengaruhi psikis murid-murid yang dinilai belum terlalu matang. Sebagai contoh, dia memaparkan, murid usia 12-18 tahun adalah tahap pencarian jati diri. Apabila dia lulus SMA pada usia 15 tahun (lebih cepat dari umumnya), maka dia belum benar-benar mengenal siapa dirinya, padahal sudah harus pilih jurusan. Sehingga dampak yang ditimbulkan bisa macam-macam.
ADVERTISEMENT
Ina menyarankan, kalaupun ada anak yang memang mampu dan cepat menangkap materi pelajaran, lebih baik diberi enrichment atau pendalaman materi khusus, bukan akselerasi.
Enrichment di pelajaran Fisika misalnya, bisa ditambah materi pendalaman khusus sensor untuk smart homes, aerospace, quantum computing, dan sebagainya. Tapi tetap tinggal di SMA, krn pendidikan karakternya masih jalan. Sedangkan pendidikan tinggi fokus utamanya bukan lagi pendidikan karakter, meskipun masih ada,” jelasnya.