Pengamat Pendidikan: Zonasi PPDB 2019 Perlu Diikuti Kebijakan Lain

17 Januari 2019 13:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pelajar SMA (Foto: Dok. Website Kemendikbud)
zoom-in-whitePerbesar
Pelajar SMA (Foto: Dok. Website Kemendikbud)
ADVERTISEMENT
Tahun 2019 ini pemerintah telah berupaya menutup hampir semua celah buat para siswa bersekolah di luar zonasi pendidikan lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 Tahun 2019. Jadi, sangat disarankan buat kamu untuk mendaftar di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal atau domisilimu.
ADVERTISEMENT
“Diutamakan siswa (bersekolah) yang alamatnya sesuai dengan sekolah asalnya,” ujar Staf Ahli Mendikbud bidang Regulasi Pendidikan dan Kebudayaan, Chatarina Muliana Girsang pada Taklimat Media di Jakarta, Selasa (15/1) dikutip dari Antara.
Mulai tahun ajaran 2019/2020 mendatang kamu hanya bisa mendaftar sekolah di luar jalur zonasi dengan kuota 5 persen lewat jalur prestasi dan 5 persen jalur perpindahan orang tua saja. Selain itu, penggunaan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk mendaftar pun sudah enggak lagi berlaku.
Mengenai sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 ini pun disikapi oleh pengamat pendidikan Muhammad Ramli Rahim. Menurutnya regulasi pada PPDB 2019 sudah jauh lebih baik, apalagi ditambah dengan adanya penghapusan SKTM.
“SKTM kenapa harus dihilangkan, karena semua orang bisa melakukan upaya untuk mengubah statusnya dari kaya menjadi miskin dan sebagainya. SKTM enggak ada pengaruh apa-apa, justru mendistorsi zonasi,” terang Ramli kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Meski Ramli mengapresiasi penghapusan SKTM, tapi dia berpendapat bahwa upaya zonasi harus tegas dalam melakukan pemerataan pendidikan. Menurutnya jalur prestasi 5 persen sebaiknya dihilangkan saja.
“Mengapa enggak boleh ada 5 persen itu, karena prinsip zonasi itu pemerataan dan mendekatkan siswa kepada sekolahnya. Kalau masih ada jalur prestasi berarti upaya pemerataan masih rendah karena orang-orang masih berpikir sekolah A lebih bagus dari sekolah B, sekolah B lebih bagus dari sekolah C. Sehingga orang (berpikir) harus punya prestasi bagus untuk masuk ke sekolah A,” terang Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) itu.
Ramli juga menyoroti persoalan fasilitas yang ada di sekolah-sekolah. Kalau masyarakat ingin berpikir setiap sekolah sama baiknya, maka fasilitas di sekolah juga harus disamaratakan termasuk para gurunya.
ADVERTISEMENT
“Fasilitas harus sama seluruh Indonesia baik di daerah maupun di kota. Yang kedua guru, tidak boleh guru-guru terbaik berkumpul di satu sekolah. Guru harus siap dimutasi, soalnya dari awal pun kan berjanji ditempatkan di manapun di seluruh Indonesia,” tuturnya.
Kebijakan zonasi siswa pada PPDB ini, menurut Ramli, juga harus diikuti dengan kebijakan lain yang mendukung dan sejalan. Dia enggak menampik bahwa Kemenristekdikti juga harus terlibat dalam membangun kepercayaan enggak membeda-bedakan sekolah akreditasi A, B, atau C dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN, jalur undangan).
“Bayangkan saya tinggal di sebuah rumah yang berdekatan dengan sekolah akreditasi C atau tidak terakreditasi, misalnya. Kemudian saya terpaksa harus sekolah di situ. Kenapa? Karena (sistem) zonasi mewajibkan saya sekolah di situ, tapi perguruan tinggi memberikan porsi kepada siswa terlalu kecil, makanya akreditasi (sekolah) itu membuat siswa terzalimi,” tambahnya.
ADVERTISEMENT