Resep Dakwah Kekinian: Relevansi Jadi Kunci

18 Juni 2018 10:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Anak muda beriktikaf di masjid di Bandung. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Anak muda beriktikaf di masjid di Bandung. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Satu malam di Bandung, ribuan pemuda yang tergabung dalam Pemuda Hijrah berbondong-bondong memadati Masjid Al Lathiif. Mereka punya tujuan sama malam itu: beribadah, mendekatkan diri pada Tuhan.
ADVERTISEMENT
Di masjid itu, tampak pula sejumlah artis ibu kota seperti Teuku Wisnu dan Dimas Seto. Keduanya dikenal luas telah berhijrah.
Bukan hanya para aktor itu yang jadi pusat perhatian. Bintang utama malam itu ialah Tengku Hanan Attaki yang bertugas mengisi kajian. Ustaz asal Aceh berusia 36 tahun itu penggagas komunitas Pemuda Hijrah yang kini dikenal luas tak cuma di Bandung.
Ditemani ayat suci Al-Quran yang dilantunkan oleh Hanan, para pemuda yang memadati Masjid Al Lathiif menengadahkan tangan sambil mengucurkan air mata.
Jangan bayangkan Hanan tampil seperti ustaz kebanyakan. Dia, juga para dai muda generasinya, tak segan mengubah stereotip saat berkhotbah.
Alih-alih memilih busana muslim umum—baju koko lengkap dengan kopiah, Hanan mengenakan kemeja kasual dengan kupluk hangat bertengger di kepala, macam yang dipakai pendaki gunung atau orang-orang di negeri empat musim.
ADVERTISEMENT
Acara semacam itu bukan sekali-dua kali digelar, tapi rutin dan terus-menerus. Dengan atau tanpa Hanan, jemaah terlihat betul-betul menghayati kala larik-larit ayat Al-Quran mengalir ke gendang telinga mereka.
Bila bukan Hanan yang mengawal kajian, para imam muda lain datang memimpin. Ini, bisa dibilang, pemandangan baru dalam dunia dakwah Indonesia. Rumah ibadah didominasi pemuda, dan dipimpin oleh ustaz muda pula.
Salah satu penggemar Hanan, Nuris, datang karena tertarik dengan cara bertutur sang ustaz. Gaya penyampaian dakwah oleh Hanan, ujarnya, seperti sedang mendongeng, bukan berceramah. Apalagi, suara Hanan merdu.
“Pendekatan (dakwah Hanan) memang oleh anak muda, disampaikan dengan gaya anak muda, jadi itu topik anak muda,” kata Nuris, Rabu (6/6).
Penampilan gaul juga terlihat pada sosok Evie Effendie, ustaz berdarah Sunda kelahiran 1976. Seperti Hanan, ia sering berdakwah dengan kupluk—bahkan topi fedora macam para pria London—melekat di kepala.
ADVERTISEMENT
Evie tak begitu saja menjadi ustaz. Dia dulu anggota geng motor yang sempat mendekam di penjara. Masuk bui jadi salah satu titik tolak dalam hidupnya. Di sel tahanan, ia justru rajin mengaji. Evie pun memutuskan untuk bertobat hingga kini bertransformasi jadi inspirasi bagi para pemuda berandal lain.
Relevansi jadi kunci dalam dakwah kekinian. Jemaah ingin mendengar tafsir ustaz atas dalil atau ayat yang bisa jadi jawaban atas persoalan sehari-hari. Mereka ingin mendapat solusi atas kesulitan yang menimpa langsung dari sumber utama, yakni kitab suci, namun dengan bahasa yang mudah dipahami.
Persis itulah yang dibidik para dai muda: perkara keseharian. Ustaz Hanan Attaki dan Evie Effendie, misalnya, sering membahas soal cinta, jodoh, pacaran, rezeki, hingga cara berkomunikasi dengan Tuhan. Tema-tema yang bagi generasi kekinian terasa “Wah, gue banget ni.”
ADVERTISEMENT
“Ketika apa yang disampaikan itu kena ke kehidupan sehari-hari, kami bisa langsung bayangkan dan pahami. Jadi maknanya lebih dapat,” kata Nuris, salah satu pendengar setia dakwah Hanan Attaki.
Dakwah Hanan dan Evie yang mengedepankan bahasa ringan, menjadi poin plus. Pesan-pesan keduanya, mudah dipahami jemaah. Pun, Evie sering berbahasa gado-gado Indonesia dan (lebih banyak) Sunda. Tapi tetap, dengan istilah kekinian.
Life goals, jomblo, japri, baper, galau, gaspol, rek kitu wae, adalah beberapa bahasa gaul yang diselipkan pada dakwah Evie atau Hanan. Evie juga gemar bermain dengan kata. Ia gemar ‘memelintir’ kata untuk dijadikan abreviasi. Misalnya, ‘gapleh’ yang merupakan kependekan dari ‘gaul tapi saleh’, ‘baper’ yang ia artikan sebagai ‘bawa perubahan’ alih-alih ‘bawa perasaan’, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Semua cara kreatif itu pada akhirnya membuat para dai muda dekat dengan jemaahnya yang juga muda. Mereka mengemas dakwah jadi nasihat singkat yang asyik didengar. Jauh dari kesan monoton dan bikin ngantuk.
Dengan tutur, laku, dan penampilan luwes, mereka pun mampu menyatu dengan audiens.
Metode dakwah terus berkembang seiring zaman, menyesuaikan dengan generasi yang berganti. Model yang kini digunakan dai-dai muda sudah tentu terlihat berbeda dengan para pendahulu mereka.
Dahulu, para kiai tak jarang memilih topik-topik yang ‘berat’ dicerna untuk dikemas dengan bahasa formal, bahkan puisi. Tak lupa, humor disisipkan agar jemaah tak terkantuk-kantuk.
Imam-imam muda Pemuda Hijrah. (Foto: Instagram/@bahanan93)
zoom-in-whitePerbesar
Imam-imam muda Pemuda Hijrah. (Foto: Instagram/@bahanan93)
Yuswohady dalam bukunya berjudul #GenerationMuslim menyatakan, terdapat empat jenis konsumen muslim: rasionalis, apatis, konformis, dan universalis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan konsep-konsep tersebut, ujar Yuswohady, dai-dai muda yang membawa nilai modern dalam berdakwah itu masuk ke pasar universalis. Mereka menggabungkan antara rasionalitas dengan ketaatan kepada Tuhan.
Agama ditekankan tak hanya sebagai bentuk komunikasi vertikal antara manusia dan Tuhan, tapi juga komunikasi horizontal antarsesama manusia. Itulah kenapa dakwah para dai muda kerap menyinggung urusan duniawi.
Sementara metode lama umumnya cenderung ke arah konformis. Bagi generasi muda kini, kategori konformis tersebut tak terlihat menarik dan ‘keren’. Tuntutan masa ini ialah membumikan agama. Artinya: berdakwah dengan konteks ringan dan konten relevan.
Jika tidak begitu, ujar sosiolog Universitas Indonesia Lugina Setyawati Setiono, akan “jadi sangat terbatas pasarnya.”
Tak ketinggalan, teknologi berperan penting dalam dakwah. “Dai yang bisa survive adalah yang tahu cara menggunakan perangkat-perangkat digital itu.”
Iktikaf Pemuda Hijrah di Masjid Al Lathiif (Foto: Instagram/@bahanan93)
zoom-in-whitePerbesar
Iktikaf Pemuda Hijrah di Masjid Al Lathiif (Foto: Instagram/@bahanan93)
Di tangan para dai muda ini, dakwah cenderung disebar dengan intonasi tenang dan renyah, tak menggebu-gebu dan nyaring.
ADVERTISEMENT
Tentu saja, semua ustaz punya cara masing-masing. Yang terpenting, dakwah sampai ke hati dan membawa manfaat serta pesan damai bagi pendengarnya.
------------------------
Ikuti jejak Pemuda Mencari Surga di Liputan Khusus kumparan.