Review Film 'Dua Garis Biru': Menikah Enggak Segampang Itu

23 Juli 2019 11:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Salah satu adegan di film 'Dua Garis Biru' dok Instagram @duagarisbirufilm
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu adegan di film 'Dua Garis Biru' dok Instagram @duagarisbirufilm
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
‘Dua Garis Biru’ berhasil memperoleh sejuta penonton tahun ini. Selain menggembirakan, pencapaian ini terbilang mengejutkan.
ADVERTISEMENT
Karena pada Mei 2019, muncul gelombang protes untuk memboikot film ini lantaran dianggap menjerumuskan remaja untuk melakukan seks bebas. Reaksi tersebut muncul setelah trailer 'Dua Garis Biru' dirilis.
Sebenarnya, cerita hamil di luar nikah bukan lagi ide baru. Banyak film lain yang menyentuh ranah yang sama. Tapi, promosi ‘Dua Garis Biru’ yang disebut 'cuma soal MBA' alias married by accident juga enggak sepenuhnya benar. Karena, film ini juga membicarakan banyak topik lain di luar itu.
Secara garis besar, dinamika 'Dua Garis Biru' berkutat di dua remaja, Dara (Adhisty Zara alias Zara 'JKT48') dan Bima (Angga Aldi Yunanda), yang tengah bersiap menjadi orang tua. Di sisi lain, enggak cuma mereka yang harus siap-siap, tapi juga orang tua masing-masing yang ikut menghadapi konflik batin.
ADVERTISEMENT
Penonton diperlihatkan perbedaan yang kontras dua keluarga ini. Selain perbedaan kelas sosial, kedua keluarga ini punya cara berbeda ketika menghadapi masalah.
Orang tua Dara lebih mampu secara ekonomi dan sangat reaktif terhadap sesuatu, sedangkan orang tua Bima yang berada di kelas menengah ke bawah beperan sebagai pihak yang mengalah. Terkecuali, pada topik yang menyangkut agama dan harga diri.
Penonton diperlihatkan sikap Ibu Dara (Lulu Tobing) yang selalu meragukan kesiapan dua remaja 17 tahun ini untuk membina rumah tangga. Alasannya, karena dia sudah menjadi seorang ibu dan hal itu enggak mudah.
Film ini menunjukkan bahwa orang tua juga bisa lebih enggak siap daripada anaknya, terutama saat mereka menghadapi kenyataan bahwa anak tercinta hamil di luar nikah. Kondisi tersebut juga dimaknai sebagai kegagalan kedua orang tua dalam mendidik anak.
ADVERTISEMENT
Kritik terhadap diskriminasi gender
Film ini juga punya konteks lokal yang kuat dan mampu memberikan kritik terhadap diskriminasi gender. Contohnya, hukuman sekolah terhadap siswi yang hamil di luar nikah, hingga penggambaran sulitnya menjadi perempuan hamil yang kerap disepelekan orang.
Salah satu wujudnya adalah Dara yang merasa kebebasannya terenggut oleh kehamilannya. Masa depan yang telah ia impikan sejak lama untuk pergi ke Korea dan menempuh pendidikan di sana, mendadak hilang begitu saja. Apalagi, hanya dia yang dikeluarkan dari sekolah. Ya, Bima enggak dikeluarkan dan masih diperbolehkan untuk menuntut ilmu di sana.
Meski Dara sudah mencoba berdamai dengan 'mempersilakan' Bima untuk menyelesaikan studi terlebih dulu, ia tetap bertahan dengan cita-citanya untuk ke Korea. Keteguhan sikap ini diperkenalkan lewat cara-cara Dara yang selalu dapat menentukan keputusannya secara logis.
ADVERTISEMENT
Selain Dara, para perempuan di film ini juga menunjukkan karakter yang kuat. Ibu Dara dan Ibu Bima (Cut Mini) secara apik menunjukkan bagaimana tersiksanya batin orang tua ketika menghadapi situasi ini. Rasanya, perlu untuk memberikan apresiasi lebih kepada akting Cut Mini dan Lulu Tobing yang menghidupkan karakter ibu bagi kedua remaja ini.
Selain itu, kritik terhadap diskriminasi gender yang disisipkan di film ini terasa cukup dan enggak berlebihan.
Bukan sekadar film rasa FTV
Gina S. Noer sebagai sutradara sekaligus penulis naskah, mampu menyajikan detail menarik di banyak adegan. Misalnya, ketika Dara mencopot sticker bahasa Korea sesaat sebelum akad nikah. Adegan tersebut menyiratkan pupusnya salah satu mimpi terbesar Dara untuk melanjutkan studi ke Korea.
ADVERTISEMENT
Begitu pula dengan poster personel boyband BTS yang sebelumnya ia sebut sebagai 'suami-suami'-nya. Ketika ia sudah benar-benar punya suami, poster yang sebelumnya terpajang di kamarnya hilang.
Dialog yang diucapkan tokoh-tokohnya pun terasa natural. Karena dialog benar-benar digunakan untuk mengutarakan pikiran dan perasaan karakter, bukan lagi menjelaskan alur cerita filmnya.
Sehingga, enggak heran jika sampai akhir film, penonton masih berselisih ketika menanggapi suatu adegan. Adegan mimpi Dara bertemu ondel-ondel menjadi contoh yang signifikan. Gina memberikan penonton ruang untuk menafsirkan gambar yang ia tampilkan.
‘Dua Garis Biru’ layak mendapatkan pengakuan dan apresiasi. Alih-alih menjadi film rasa FTV, film ini mampu mengemas premis sederhana dengan konteks lokal yang kuat.