Psikolog Soal Sekolah Homogen: Pergaulan Antargender Mesti Dilatih

11 Oktober 2018 20:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SMA Kolese De Britto boleh berambut gondrong, Jumat (31/8/18). (Foto: Greg Adiloka)
ADVERTISEMENT
Mendengar soal sekolah homogen kamu mungkin terbenak soal pergaulan siswa yang hanya terbatas pada pergaulan di gender yang sama. Pasalnya, sekolah tersebut hanya mengkhususkan menerima siswa laki-laki atau perempuan saja, tapi tidak keduanya.
ADVERTISEMENT
Sebut saja beberapa sekolah yang termasuk dalam sekolah homogen di antaranya SMA Kolese Kanisius, Kolese De Britto, dan Stella Duce.
Jika kamu menganggap bahwa sekolah homogen macam itu mencoba mengisolasi hubungan laki-laki dan perempuan ke dalam lingkungan yang eksklusif. Hal itu ternyata tidak sepenuhnya benar.
“Mereka kan pasti akan bertemu juga dengan murid-murid perempuan. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu anak-anak juga pasti akan ketemu dengan murid-murid di sekolah lain seperti di Stella Duce, itu kan muridnya perempuan semua,” kata Widi Nugroho, Humas SMA Kolese De Britto, Yogyakarta.
Menanggapi hal tersebut, Psikolog Universitas Indonesia, Edward Andriyanto senada dengan Widi. Ia mengatakan bahwa sekolah homogen itu sebenarnya tak benar-benar homogen karena tetap ada interaksi cowok-cewek di luar sekolah.
ADVERTISEMENT
“Yang sebenarnya sekolah homogen itu lebih ke arah sekolah dengan keharusan tinggal di asrama yang benar-benar mencoba untuk mengurangi interaksi dengan lawan jenis,” kata psikolog yang akrab disapa Ewa.
Ewa mencontohkan bagaimana di sekolah asrama macam itu, biasanya terdapat aturan yang ketat terhadap orang yang punya gender berbeda. Misalnya, bagaimana suatu hal yang sopan dilakukan terhadap satu gender belum tentu sopan dilakukan kepada gender lain.
“Seringkali sekolah yang terlalu kaku seperti itu berakibat pada kesulitan (siswanya) untuk berinteraksi dengan gender yang lain,” tutur Ewa.
Siswi SMA Tarakanita 1 (Foto: Kulturfest UI/ Flickr)
zoom-in-whitePerbesar
Siswi SMA Tarakanita 1 (Foto: Kulturfest UI/ Flickr)
Edward menyoroti pentingnya latihan siswa untuk berinteraksi antargender yang berbeda. Jika dalam praktiknya interaksi antargender sangat ketat dibatasi, maka para siswa tidak bisa melatih itu.
“Kalau enggak bisa ngelatih gimana, ya nanti interaksinya tidak selalu baik,” ujar Ewa.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut Ewa menjelaskan, “Kalau sekolah-sekolah (homogen) Katolik itu biasanya mereka ada pertemuan-pertemuan yang lintas jenis kelamin. Pertemuan ini sebenarnya cukup untuk melatih bagaimana mereka berinteraksi dengan lawan jenis.”
Lebih jauh, soal pemisahan siswa-siswi dalam sekolah tersendiri ini Ewa tidak melihat adanya pengaruh terhadap pembentukan karakter khusus atau budaya belajar siswa.
Ewa hanya menyoroti bahwa sekolah homogen awalnya ditujukan karena alasan keimanan atau religiusitas.
“Waktu di awal kan itu praktik dari agama makanya muncul di sekolah-sekolah berbasis agama, bagaimana interaksi jenis kelamin itu mempengaruhi keberimanan seseorang, ikut menggoda (iman) dan sebagainya,” kata Ewa.
“Atau kalau dari Katolik ini lebih fokus ke ordo perempuan atau fokus ke ordo laki-laki, seperti itu,” pungkas ahli psikologi perkembangan tersebut.
ADVERTISEMENT