Suka Duka Kuliah di Luar Negeri, Mana yang Pernah Kamu Alami?

19 April 2018 16:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kampus. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampus. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Belajar untuk jenjang waktu tertentu sambil merasakan hidup di negara empat musim, bisa menjadi berkah dan kutukan di waktu bersamaan. Berkah karena tak semua bisa merasakan itu. Kutukan karena tajamnya angin di musim dingin bisa saja membuatmu kaku tak berkutik.
ADVERTISEMENT
Tapi begitulah yang namanya pengalaman. Selalu ada dua sisi yang membuatnya menarik untuk diceritakan kembali. Baik sekadar sebagai sebuah obrolan santai, atau justru pelajaran berharga bagi mereka yang juga akan berangkat untuk belajar ke negara tujuan yang sama.
Meski mungkin pada akhirnya pengalaman itu akan dirasakan berbeda oleh yang lain, cerita mengenai susah senang selama studi di luar negeri dari beberapa orang berikut ini, mungkin bisa kamu jadikan acuan apabila suatu saat berencana melakukan hal yang sama.
Selama hampir satu tahun dari pertengahan 2016, Hasnatika (22), alumni sebuah universritas swasta di Yogyakarta, pernah berkesempatan untuk mengikuti program double degree di salah satu universitas di kota Adelaide, Australia.
Baginya, dari hal itu saja ia sudah merasakan salah satu momen terbaiknya selama tinggal di negeri Kanguru. Sebab, selain berkesempatan untuk mengenyam studi di sana, ia juga bisa mengeksplorasi hampir semua tempat menarik dari kota yang terletak di Selatan Australia tersebut.
ADVERTISEMENT
"Selain itu, dapat kesempatan untuk promosikan budaya Indonesia melalui permainan tradisional seperti petak umpet dan congklak ke anak-anak SD di Adelaide," tambah Hasna.
Meski begitu, Hasna pun mengaku memiliki satu hal yang ia anggap sebagai salah satu momen terburuk saat berada di sana. Yakni begitu banyaknya tugas yang diberikan, dengan tenggat waktu yang saling berhimpitan.
"Jadi saya harus begadang di perpustakaan," lanjutnya.
Berbeda dari Hasna, Niken Nadya (22) yang pernah belajar di Castellón de la Plana, Spanyol, selama 6 bulan mengatakan, pengalaman terburuknya terjadi saat ia dan beberapa kawannya harus menghadapi musim dingin. Sebab, tempat yang ia tinggali pada saat itu ternyata hanya memiliki satu penghangat ruangan (heater) yang terletak di ruang tamu.
ADVERTISEMENT
"Jadinya kalau mau tidur mesti pakai celana training, dilapisi jeans, pakai kaos, sweater, mantel, pakai scarf, kaos kaki rajut dilapis dua, pakai sarung tangan, terus selimutan," tuturnya.
"Dan pakai nangis dulu sebelum akhirnya ketiduran," tambahnya kesal.
Namun, di sisi lain, menjalani studi di Spanyol juga meninggalkan cerita tersendiri yang, baginya, merupakan salah satu pengalaman terbaik dalam hidupnya. Niken memilih mendeskripsikan hal tersebut dengan kalimat, "itu merupakan enam bulan hidupku, tapi itu (juga) adalah hidupku dalam enam bulan".
Ia mengaku sangat senang akan fasilitas yang terdapat di sana. Selain itu, suasana perkuliahan dan lingkungan kampusnya juga diakuinya sangat mendukung.
"Birokrasinya juga enggak banyak yang 'njelimet' kalau lagi butuh sesuatu. Suasananya sangat dinamis. Setiap hari selalu ada topik baru yang dibahas dan dipresentasikan dengan asyik. Hubungan antara dosen dan mahasiswa itu enggak terlalu formal. Jadinya bisa dibawa santai dan kadang lucu," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, menjalani sekolah tata rias di kota Paris, Prancis, pun ternyata mesti dilalui Jesi Ayu (23) bukan tanpa rintangan. Ketika pertama kali pindah ke sana pada tahun 2013 silam, ia mengakui sempat merasa terintimidasi oleh mahasiswa lain yang merupakan warga asli negara tersebut.
"Pas pertama gue masuk, sama sekali engga ada yang nemenin gue. Karena mereka menilai gue kayak apa, sih, gitu mungkin. Meski lama-lama juga enggak. Temen pertama gue juga bukan orang Prancis (daratan), tapi dari kepulauan yang masuk wilayah Prancis gitu," kata Jesi.
Satu hal lain yang tak bisa dipungkiri cukup membuatnya sedih selama berada di sana adalah rasa rindu terhadap orang rumah. Sebab, adanya perbedaan waktu antara Indonesia dan Prancis membuat komunikasinya dengan keluarga menjadi sedikit banyak terhambat.
ADVERTISEMENT
"Kadang-kadang gue di sini masih bangun tapi temen-temen dan keluarga gue udah tidur," ucapnya.
Namun, kedua hal itu tak lantas membuatnya kapok untuk menuntut ilmu dan tinggal di negara orang. Sebaliknya, ia justru ingin sekali bisa kembali studi di luar negeri apabila diberikan kesempatan.
"Sebenarnya sih seru aja. Pokoknya enak deh. Kalau misalnya gue dapat tawaran sekolah di luar atau gimana gitu, gue mau banget," tutupnya.