Negosiasi Kerja Sama Penelitian Butuh Keahlian Khusus

Fachrudin Ali Ahmad
Saat ini bekerja sebagai Pranata Humas Ahli Muda di Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan RI. Lulus Strata Satu (S1) dari FIKOM UNPAD. Tahun 2012 menyelesaikan Magister (S2) Kesehatan Masyarakat UI
Konten dari Pengguna
20 Februari 2021 15:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fachrudin Ali Ahmad tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
com-Ilustrasi kerja sama di kantor. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
com-Ilustrasi kerja sama di kantor. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Presiden Joko Widodo telah memberi arahan agar Indonesia harus menguatkan kerja sama melawan COVID-19. Hal itu disampaikan saat menghadiri KTT Luar Biasa G20 tanggal 26 Maret 2020.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa kerja sama internasional yang dapat dilakukan seperti penyerahan hibah dalam bentuk uang dan barang maupun kerja sama program. Salah satu langkah strategis dari bentuk kerja sama lainnya yakni mengadakan penelitian bersama seperti penelitian vaksin atau riset penemuan obat COVID-19.
Kerja sama penelitian dapat dilakukan dalam skema G to G (Government to Government), G to B (Government to Business), maupun B to B (business to Business). Victorina Hesti dari Kementerian Luar Negeri mengatakan untuk perjanjian G to G dapat dilakukan melalui perjanjian payung yang memerlukan dokumen turunan. Dokumen ini dibutuhkan untuk mengatur secara spesifik kegiatan yang dilakukan, pihak yang terlibat serta memuat hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Selain itu dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama spesifik yang telah mengatur secara detail kegiatan yang akan dilakukan, siapa saja pihak yang terlibat, serta hak dan kewajiban kedua belah pihak. Namun kedua model kerja sama ini tetap harus memperhatikan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku di lokasi kegiatan yang dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Pretty Multihartina dari Pusat Analisis Determinan Kesehatan (PADK) Kementerian Kesehatan mengemukakan Kementerian Kesehatan sedikitnya telah mengadakan kerja sama dengan 9 negara. Negara itu adalah Amerika Serikat, Brunei Darusalam, India, Iran, Kuba, Australia, Myanmar, Laos, dan Inggris.
Kegiatan kerja sama penelitian yang dilakukan sebagaimana diungkap Pretty Multihartina dilakukan dalam bentuk kegiatan penelitian bersama, pertukaran ide, informasi, keahlian dan teknik, kolaborasi ilmiah dan teknologi, penyelenggaraan pertemuan dan seminar bersama, pengembangan kontak langsung dan kerja sama antar instansi serta pelatihan dan pengembangan kapasitas ilmuwan.
Beberapa kerja sama penelitian Indonesia dengan mitra asing di era COVID-19 yang telah dilakukan Indonesia adalah kerja sama uji klinis terapi sel punca untuk pasien COVID-19 antara Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan (SD&PK) Badan Litbang Kesehatan dengan Daewoong Infion Korea, kerja sama uji klinis AVIGAN antara Puslitbang SD&PK dan National Center for Global Health and Medicine (NCGM) Jepang, Kerja sama sequencing vaksin COVID-19 antara Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (BTDK) dan PT Bio Farma, rencana collaborative study of herbal medicine against COVID-19 antara Institute of Chinese Materia Medica, China dan Badan Litbang Kesehatan.
ADVERTISEMENT
Negosiasi di Kerja Sama Penelitian
Dalam melakukan perjanjian kerja sama dengan mitra asing, negosiasi menjadi hal penting dan harus dipersiapkan secara matang. Proses negosiasi akan menentukan siapa melakukan apa serta apa saja yang diperoleh dan dibagi di antara kedua belah pihak.
Hadi Pratomo dalam buku Advokasi Konsep, Teknik dan Aplikasi di Bidang Kesehatan di Indonesia (2015) menyebutkan hasil negosiasi secara umum dapat dikategorikan dalam tiga jenis, yaitu: 1) negosiasi dengan hasil akhir Kalah-Menang (Lose-win negotiation), 2) negosiasi dengan hasil akhir Kalah-Kalah (Lose-lose negotiation), dan 3) negosiasi dengan hasil menang-menang (Win-win). Indikator negosiasi yang berhasil adalah yang memberikan keuntungan dan kebermanfaatan bagi kedua belah pihak.
Suksesnya negosiasi juga memberikan pertukaran keuntungan yang maksimal. Jangan sampai terjadi yang kuat dalam hal kemampuan dan keuangan negara, seperti negara maju yang memiliki dana dan fasilitas penelitian tak terbatas melakukan intimidasi dan memaksakan kehendak terhadap pihak yang lebih lemah seperti negara berkembang yang hanya memiliki lokasi penelitian serta sumber daya peneliti yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Negosiasi diterjemahkan sebagai proses tawar menawar dengan jalan berunding untuk mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok) dengan pihak lain (kelompok) atau bisa juga diartikan penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang bersengketa (KBBI Online, 2020).
Hadi Pratomo (2015) mengutip buku terbitan Atomic Dog Publishing menyampaikan negosiasi adalah proses di mana dua atau lebih pihak berupaya memperoleh kesepakatan yang dapat diterima oleh pihak terkait dalam menghadapi situasi yang kemungkinan mengandung ketidaksepahaman atau ketidaksetujuan dari pihak-pihak yang terkait. Negosiasi secara ideal dilakukan dengan tujuan mencapai situasi menang-menang (win win situation) di antara berbagai pihak yang terlibat perjanjian.
Kenapa perlu diadakan negosiasi? Kenapa tidak cukup diselesaikan oleh salah satu pihak saja dan kenapa harus melibatkan pihak lain? Pada prinsipnya, proses negosiasi melibatkan kepentingan dua atau lebih dari pihak-pihak yang memiliki hubungan saling ketergantungan dan saling membutuhkan. Kedua pihak tidak bisa berjalan tanpa proses kerja sama dan adanya pertukaran kelebihan, kekuatan, kemampuan serta fasilitas yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Masing-masing tidak bisa berjalan sendiri-sendiri dan dibutuhkan kesepakatan bersama. Harapannya, pekerjaan tersebut berjalan baik dan mencapai target sebagaimana diharapkan.
Prof. Herkutanto sebagai Ketua Tim Penelaah Material Transfer Agreement (MTA) Kementerian Kesehatan mengatakan sedikitnya ada tiga elemen dalam negosiasi kerja sama penelitian. Pertama darimana ide penelitian berasal yang kemudian diterjemahkan menjadi siapa yang memiliki protokol penelitian. Kedua, siapa yang memiliki fasilitas riset seperti pendanaan. Ketiga adalah akses memperoleh informasi hasil penelitian termasuk pihak mana saja yang berhak memperoleh dan menggunakan spesimen yang diperoleh riset itu.
Menurut Prof. Herkutanto pihak yang menguasai dua dari elemen negosiasi itu dapat bertahan dalam proses negosiasi. Biasanya bisa memperoleh manfaat yang lebih baik dari pihak lain.
ADVERTISEMENT
Lisa J. Downs dalam Hadi Pratomo (2015) menguraikan kendala negosiasi ditemukan pada masalah komunikasi. Terjadi karena adanya dokumentasi yang tidak lengkap selama negosiasi, kurang waktu berdialog dan kemampuan mendengar yang jelek. Ada juga kendala budaya atau gender, seperti terjadi karena perbedaan bahasa. Kurangnya informasi dapat juga menjadi penyebab kegagalan.
Negosiasi pada dasarnya proses komunikasi. Agar negosiasi berhasil, kemampuan berkomunikasi secara efektif menjadi diperlukan. Dibutuhkan keahlian komunikasi yang mumpuni saat seseorang maupun kelompok yang mewakili salah satu pihak dalam melakukan proses negosiasi. Pemahaman terhadap psikologi pihak lain saat melakukan negosiasi sangat diperlukan.
Salah satu kemampuan yang dibutuhkan adalah kemampuan mengolah persepsi sebagai proses pembuatan ‘rasa’ atau pemaknaan terhadap pesan komunikasi—bisa berupa gambar, kata, sikap dan perilaku atau informasi lainnya. Biasanya, negosiator berpikir lebih mengutamakan pikiran dan sudut pandangnya yang seringkali menganggap lebih jelas dan lebih baik dibanding pihak lainnya. Padahal yang terjadi bisa saja sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dalam bernegosiasi pastikan persepsi jangan mengalami distorsi. contoh distorsi persepsi yang harus dihindari adalah melakukan stereotip yaitu kecenderungan menetapkan atribut pada orang lain berdasarkan kategori sosial atau demografi tertentu. Seperti menetapkan atribut dan pemaknaan terhadap asal suku seseorang.
Kemampuan lain yang dibutuhkan adalah mengatasi hambatan komunikasi. Ada beberapa hambatan komunikasi yang kerapkali ditemui. Pertama, tidak memeriksa dahulu apa yang hendak disampaikan. Kedua, media komunikasi yang digunakan tidak relevan. Ketiga, tidak asertif. Asertif merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang lain namun dengan tetap menjaga dan menghargai hak-hak serta perasaan pihak lain.
Keempat, bereaksi agresif, apalagi jika itu berlebihan. Kelima, tidak mempersiapkan apa yang mau disampaikan. Keenam, melakukan satu bentuk komunikasi untuk semua hal. Ketujuh, tidak berpikiran terbuka. Sebaiknya harus siap menerima ide dan pemikiran orang lain. Kalau tidak mau berpikiran terbuka, silakan hidup menyendiri. Kedelapan, berasumsi bahwa yang kita sampaikan dapat dimengerti. Terakhir, seringkali mengabaikan batasan “privacy” pihak lain.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, memang kegiatan bernegosiasi dalam lingkup kerja sama penelitian—apalagi melibatkan mitra asing, harus dipersiapkan sedari awal. Prof Herkutanto memberikan saran sebaiknya dalam bernegosiasi, peneliti melibatkan dan didampingi tim negosiasi (negosiator) yang memiliki kompetensi hukum, paham penelitian, dan kemampuan bernegosiasi.
Dengan demikian peneliti maupun institusi Indonesia mampu bernegosiasi dan memperoleh benefit sharing yang adil dalam kerja sama penelitian dan mengikatnya menjadi kontrak kerja sama kemitraan penelitian yang adil dan bermartabat.