news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Apa yang Akan Anda Lakukan Seandainya menjadi Arsene Wenger?

Konten dari Pengguna
7 Maret 2017 16:50 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Seandainya ... tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Arsene Wenger (Foto: Wikipedia)
Dalam sepak bola, ada beberapa pelatih yang, meski kita tahu rekam jejaknya dahsyat, mereka lebih kerap menjadi bahan tertawaan ketimbang diguyur sanjungan. Salah satunya adalah Arsene Wenger.
ADVERTISEMENT
Pada mulanya Wenger adalah revolusi. Datang ke Arsenal setelah melatih klub Jepang antah berantah, Nagoya Grampus Eight, Wenger lantas membuat sebuah cetak biru permainan tik-tak yang eyegasmic.
Wenger melakukan itu semua bukan dengan pemain-pemain kelas satu berharga mahal, tetapi mereka yang baru diprediksi akan bersinar terang di kemudian hari. Dan kita tahu, sepresisi apapun sebuah prediksi, ia hanyalah penjelasan akan situasi pra-kondisi.
Pada titik ini, kita mesti angkat topi terhadap kemampuan Wenger dalam meracik taktik dan melihat bakat yang sama jeniusnya.
Dengan perawakan yang tinggi-ceking, berambut belah pinggir, serta punya mata gemar memicing yang kelopaknya mencelak ke dalam, Wenger bukanlah stereotipe pelatih sepak bola, apalagi yang lahir dari tanah Britania.
ADVERTISEMENT
Ia, sebagaimana gelar akademisnya, memang lebih cocok seperti seorang ekonom tengik yang hanya tahu teorema untung-rugi. Atau seperti sales penjual sanyo yang belagak visioner. Namun memang demikianlah komponen otak Wenger bekerja selama ini.
Ia mencari pemain-pemain murah, berfisik kuat (jangan terjebak dengan tendensi rasialisme kendati banyak pemain pilihan Wenger berkulit gelap), lalu melatih mereka sebagaimana ritme taktikalnya, kemudian berharap dari ongkos produksi yang kecil tersebut dapat menghasilkan keuntungan: trofi atau harga jual ke klub lain yang lebih tinggi dari harga beli.
Pada musim 2003/2004, teori Wenger membuahkan mahakarya yang kelak musykil ditandingi siapapun: membawa Arsenal tak terkalahkan dalam 49 pertandingan. Mereka pun lantas dijuluki ‘The Invincibles': tak terlihat karena mereka terus berlari kencang meninggalkan para pesaingnya.
ADVERTISEMENT
Kala itu, di setiap posisi (kecuali kiper yang mutlak diisi Jens Lehmann), Wenger seperti menemukan duet yang seolah memang ditakdirkan untuk berpasangan:
Kolo Toure - Sol Campbell (duo karang yang trengginas), Ashley Cole - Lauren (para tukang robek sisi sayap), Ljungberg - Pires (pelari dan penari dengan bola di kaki), Vieira - Gilberto (petarung dan perebut singgasana lini tengah), hingga Henry - Bergkamp (Raja dan Pujangga).
Dengan komposisi dan apa yang telah diperbuatnya tersebut, Wenger dipuja bak Gengis Kahn yang telah membenamkan Eropa. Tak pernah kalah dan menampilkan permainan mengesankan, di liga seketar Premier League, tidak bisa untuk tidak sepakat betapa Arsenal memang mengerikan.
Namun siapa yang menyangka jika kemudian itulah gelar Liga Inggris terakhir Arsenal di bawah Wenger? (Well, belum yang terakhir, sih. Siapa tahu musim ini mereka sanggup menyalip Chelsea. Siapa tahu, namanya rezeki kan nggak kemana...)
ADVERTISEMENT
Sudah 14 musim berlalu, Arsenal tak pernah berhasil meraih gelar liga kembali. Mereka lebih sering menggapai posisi 4 hingga membuat banyak orang percaya bahwa tiap musim, target Arsenal memang hanya sebatas itu. Olok-olok yang tak hanya menggelikan, tetapi juga menyedihkan.
Sudah sejak beberapa musim lalu, sebetulnya, Wenger telah mengubah pendekatan manajerial, terutama dalam hal transfer. Jika dulu ia acap antipati untuk membeli pemain dengan harga mahal, dan lebih peduli dengan penjualan pemain, kini ia melunak.
Mesut Oezil, Alexis Sanchez, Shkodran Mustafi, Granit Xhaka, hingga Lucas Perez didatangkan dengan nilai transfer rata-rata di atas 25 juta euro--Lucas Perez “hanya” 17 juta euro. Ini, tentu saja, bukan sebuah kebiasaan yang lazim dalam sejarah Arsenal, terutama sejak dibesut Wenger.
ADVERTISEMENT
Tapi hasilnya nol belaka, kecuali Anda menganggap Piala FA dan Community Shield sebagai gelar bergengsi, ya silakan saja. Menurut kami, Arsenal mestinya layak mendapat trofi di kancah yang lebih tinggi.
Liga Champions, misalnya. Champions Asia.
Wenger, harus diakui, sudah di berada di penghujung kariernya. Keputusannya acap berbuah kesalahan--minggu lalu ia mencadangan Sanchez kala Arsenal kontra Liverpool yang berakhir dengan kekalahan The Gunners.
Ia tak ubahnya Santiago di Old Man and The Sea: (mulai) dilupakan, tak lagi dianggap, dan diharapkan lebih baik enyah cepat-cepat. Bahkan bagi para fans Arsenal sendiri, mereka berkoar ada baiknya Wenger segera saja minggat.
Kenyataan tersebut kelewat menyakitkan bagi pelatih sekelas dirinya.
Namun, sebab kita tak mungkin membuat petisi untuk menyelamatkan Wenger. Tak mungkin pula menggalang dana amal untuk dirinya. Maka dari itu, kami mengajak Anda berandai-andai: seandainya Anda menjadi Wenger saat ini, apa yang akan Anda lakukan?
ADVERTISEMENT
Silakan pilih di bawah jawabannya. Atau Anda punya opsi lain?
Arsene Wenger (Foto: Pixabay)