Aplikasi “Tuyul” dan Mereka yang Dirugikan

Abdul Latif
Jurnalis Liputan Khusus Kumparan
Konten dari Pengguna
30 November 2017 10:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Latif tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ojek Online (Foto: Ojek Online)
zoom-in-whitePerbesar
Ojek Online (Foto: Ojek Online)
ADVERTISEMENT
Miris, setelah mendengar Slamet (40) menceritakan pengalamannya menjadi driver online yang “profesional, jujur dan baik.”
ADVERTISEMENT
“Ya gitu mas, kebanyakan mereka mentalnya masih jelek” paparnya saat mengantarku pulang, sore itu (23/11).
Fenomena ojek online memang sangat menuai pro dan kontra. Positifnya memberikan banyak lapangan pekerjaan, apalagi data pada tahun 2016 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2016 yang mencapai 5,02% dengan penurunan 530.000 Tingkat Pengganguran Terbuka (TPT) menjadi 7,03 juta orang. Artinya keberadaan Ojek online menambah lapangan pekerjaan.
Sebaliknya, bagi sebagian orang memang kehadiran ojek online ini sebagai ancaman. Kemajuan teknologi memang harus diterima dengan fair play. Bagaimanapun menolak kemajuan teknologi hanya membuat kita semakin tersudut, lalu tertinggal. Namun, hal itu sudah terlalu usang dan umum diperbincangkan.
Pasukan pengemudi ojek online GO-JEK. (Foto: www.instagram.com/gojekindonesia/)
zoom-in-whitePerbesar
Pasukan pengemudi ojek online GO-JEK. (Foto: www.instagram.com/gojekindonesia/)
Ternyata ada lagi fenomena yang cukup ‘menjijikkan’ dari masyarakat kita yang menggambarkan betapa ‘pecundangnya’ masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Hadirnya aplikasi ‘tuyul’, aplikasi yang kerap membuat banyak pihak merasa dirugikan. Bagaimana tidak, aplikasi tuyul ini dapat mendatangkan order secara cuma-cuma. Cara kerjanya, kita hanya memberikan titik di setiap area-area yang ramai dikunjungi orang. Selanjutnya sistem yang bekerja, bisa dikatakan driver hanya tak perlu mencari penumpang lagi.
Software-nya disebut tuyul, biasa sih pengendara-pengendara sebutnya tuyul-tuyul, ditik-titikin di depan-depan mall gitu, ada yang dikasih titik sama mereka” ucapnya.
“Jadi kalau ada orang pesen, dia yang dapet. Dan enggak satu titik, dia kasih di beberapa tempat kalau mall-nya deket rumah ya dia tinggal diam di depan rumah aja nanti begitu dapat langsung berangkat” paparnya sambil mengendarai motor bebeknya.
Padahal menjadi driver online bukalah sebuah pekerjaan yang berat, jika kita melihat dari sisi sistem kerja dan pendapatan yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Dalam sebulan Slamet masih bisa mengumpulkan sekitar Rp 4 juta per bulannya, mengingat upah minimum regional Jakarta Rp 3,6 juta setelah di patenkan pemerintah beberapa waktu lalu.
“Per bulan kalau rajin ya. Bisa empat jutaan, pagi sampe sore, kalau mau ya sampe malem tapi ya mana kuat badanya” tambahnya lagi sambil menunggu macet.
Salah satu pengemudi ojek online GrabBike. (Foto: ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu pengemudi ojek online GrabBike. (Foto: ANTARA)
Munculnya aplikasi tuyul mungkin terdengar enak untuk sebagian kalangan driver, layaknya semut ketika melihat gula segunung. Namun tidak bagi penumpang dan driver yang jujur seperti Slamet. Pertama konsumen dan kedua Driver profesional, seperti Slamet contohnya.
Hal ini pernah terjadi kepada saya sendiri, ketika malam hari sekitar pukul 21.00 di Area Pasar Minggu Baru. Saya harus menunggu driver hampir satu jam. Sialnya, pada saat itu satu aplikasi server sedang down, yang satu lagi drivernya masih mencari lokasi keberadaan saya, dan yang ketiga sama seperti apa yang diceritakan bapak Slamet tadi, yaitu saya mendapat driver dari Cikini. Bayangkan, betapa lelahnya saya waktu itu.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Slamet sempat ditawari aplikasi tuyul dijual dengan harga 100-200 ribu tersebut kepada Slamet. Tapi slamet menolaknya karena menurutnya lebih baik bekerja dengan cara yang jujur saja. Selain itu ia juga masih memikirnya nasib penumpang.
“Tadi saya mau dikasih saya tolak, ga mau saya buat apa? Cari kerja ya normal aja. Lagi pula saya ga ngoyo-ngoyo kok, kalau solat ya solat, mau kerja terus tubuh kan butuh istirahat, motor juga butuh istirahat. Kalau gitu kan artinya kita dapet terus dan harus kerja terus, maunya dapet banyak, karena manusia kan enggak ada puasnya. Kalau lokasi jauh akhirnya penumpang harus nunggu lama. “ tuturnya.
Mendengar jawaban Slamet saya langsung berfikir bagaimana bangsa ini bisa sedikit lebih baik jika dari sikap para pekerja, khususnya mereka yang menggunakan aplikasi tuyul tersebut malas dalam bekerja.
ADVERTISEMENT
Belum lagi sikap dari perusahaan yang diam saja, sampai saat ini belum ada tindakan dalam mencegah hal-hal tersebut. Padahal seharusnya perusahaan start up yang sering kali meminta penggunanya untuk update bisa melakukan pengecekan secara real time.
"Gojek itu kurang menangani, seharusnya software gojek diperbaharui agar bisa menangkal aplikasi tuyul. Nanti driver yang curang, otomatis akan mendapatkan order yang lebih banyak daripada driver yang jujur," katanya.