Baitul Mal dan Solusi Ekonomi Ke-umatan

Abdul Rahim
alumni pendidikan bahasa dan sastra FKIP Unram, Kajian budaya dan media UGM
Konten dari Pengguna
4 April 2018 19:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Baitul Mal dan Solusi Ekonomi Ke-umatan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Tahukah kamu orang yang mendustakan agama. Yaitu orang yang enggan menolong dengan barang berguna", (Al Ma'un ayat 1 dan 7).
ADVERTISEMENT
Dua bulan yang lalu saya diberitahukan oleh keponakan di rumah bahwa neneknya (ibu saya) akan pergi umrah bulan Januari itu bersama kakak saya yang perempuan, serta salah satu keponakan. Suami dari kakak saya bekerja sebagai pembimbing haji dan umrah di salah satu travel maka dia diberikan bonus dua tiket umrah, yang digunakan oleh kakak perempuan saya dan anaknya. Ibu saya yang diajak ikut diurunkanlah untuk biayanya dari kakak-kakak yang lain, salah satunya dengan menjual tahunan sawah warisan (dikelola oleh orang lain), serta dengan meminjam di bank yang pembayarannya diangsur dengan potongan gaji pensiunan almarhum bapak setiap bulannya.
Total yang dipinjam di bank sebenarnya tidak besar, kisaran 10 juta dengan total pengembalian selama 2 tahun dari potongan itu menjadi Rp. 12.600.000. Saya yang tidak diberitahukan dari awal atas rencana berangkat umrah itu pun merasa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan urusan pinjaman itu. Dengan niat membatalkan pinjaman, lalu mengganti uang yang sudah dikeluarkan bank secara tunai yang sudah disetorkan ke rekening travel.
ADVERTISEMENT
Saya pun mendatangi pihak bank ‘rakyat’ bersama ibu untuk negosiasi pembatalan pinjaman dan akan mengganti tunai atas yang sudah dikeluarkan bank untuk menghindari bunga tersebut. Kalaupun ada bunga, saya siap membayar asal tidak penuh seperti nominal yang sudah disebutkan sebelumnya.
Sayangnya pihak bank memberikan jawaban yang sangat normatif, bahwa transaksi yang berlaku tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Padahal belum sampai satu bulan memasuki awal bulan untuk setoran pertama dari potongan gaji pensiunan tersebut. Niat saya untuk menghindari bunga (riba) agar perjalanan suci spiritual ibu bisa tanpa beban tidak bisa ditawar lagi. Beliau harus menerima konskwensi pemotongan setiap bulan dengan sisa yang sedikit, cukup untuk beras setengah kuintal.
Dari sana saya mulai terpikir, sistem ekonomi kapitalis yang dibangun oleh badan usaha negara pun sebenarnya sangat mencekik dan tidak toleran atas sosial masyarakat kita. Profit yang dikejar oleh badan usaha negara melalui bunga tersebut telah mengabaikan asas-asas sosialisme dalam masyarakat. Di sinilah saya mulai berpikir bagaimana baitul mal yang bisa menjadi pusat ekonomi umat bisa berperan untuk mengatasi kesenjangan-kesenjangan yang ada. Salah satunya dengan memberikan pinjaman, dengan ada hal yang bisa diharapkan ke depannya untuk pengembaliannya.
ADVERTISEMENT
Jika baitul mal kita bangun mulai dari desa dengan dana hibah entah itu dari BAZNAS atau BAZDA yang telah terkumpul dari zakat, infak, wakaf, maupun sadaqah dari oligarki muslim yang justru banyak bertebaran di negara ini, maka konsep "kaana nnaasu ummatan waahidatan- Umat yang bersatu (bersaudara)" itu pun bisa berlaku. Bukan malah melahirkan kapitalis muslim yang justru menjadi pendusta agama dalam tataran yang disebut dalam surat Al Ma'un sebagai "wayamna'unal ma'un- yang enggan menolong dengan barang-barang yang berguna.
Baitul mal sebagai dana abadi umat bisa diperuntukkan dalam berbagai hal untuk menghindari riba dari bank-bank kapitalis yang ada, alih-alih bank syariah sekalipun, yang memberikan pinjaman dengan bunga sudah ditentukan di awal atas profit yang akan dikembalikan oleh peminjam dana usaha, sementara untung atau ruginya pun belum bisa diprediksi. Contoh sederhananya, dana pinjaman usaha penggembalaan kambing yang dicontohkan pada masa sahabat yang dipinjamkan dari baitul mal yang dananya terkumpul dari zakat, ghanimah (rampasan perang), serta wakaf. Apa yang dilakoni sahabiyah atas operasional baitul mal sebagai basis ekonomi umat penting untuk digaungkan kembali.
ADVERTISEMENT
Ketika dana CSR merebak sebagai iming-iming dari kapitalis untuk gerakan sosial atau untuk kepentingan publik, itu pun bisa dimanfaatkan sebagai basis untuk memulai baitul mal yang salah satu pengelolaannya bisa dipusatkan di masjid. Dana itu pun bisa dijadikan pinjaman usaha untuk usaha masyarakat kecil menengah (UMKM) tanpa bunga. Keuntungan yang didapatkan dari pinjaman usaha bisa disisihkan sebagai biaya operasional yang diserahkan seikhlasnya tanpa perlu dipatok berapa total yang harus dikembalikan oleh si peminjam.
Begitu juga dengan kepentingan lainnya bagi masyarakat yang membutuhkan pinjaman, dana abadi baitul mal bisa menjadi solusi pinjaman tanpa bunga dengan kesepakatan antara pengelola dan peminjam. Kalau pun ada jaminan (Burq), jaminan itu tetap menjadi tanggungan pengelola tanpa diapa-apakan, dan akan kembali ke peminjam ketika pinjaman sudah dilunasi.
ADVERTISEMENT
Sosialisme dan Kemaslahatan Umat
Anggaran melalui baitul mal atas santunan anak yatim, fakir, miskin pun bisa terlaksana tanpa khawatir dana akan berkurang karena dikeluarkan tanpa ada profit. Di sinilah peran kesadaran umat yang mendapatkan pinjaman, ketika mengembalikan pinjaman bisa dialokasikan keikhlasan untuk kelebihannya sebagai tambahan dana untuk terus beroperasinya baitul mal.
Sebagai permisalan, laksana orang yang menemukan pompa air di tengah gurun pasir. Dia menemukan se-ember air di dekat pompa bersama tulisan "pompa dipancing menggunakan air di ember, dan sediakan lagi di ember untuk musafir selanjutnya", ketika si musafir hanya mementingkan diri sendiri lalu meminum air di ember, pompa air tidak berfungsi, dia hanya menikmati satu ember air. Akan tetapi jika dia mengikuti anjuran dalam tulisan, dia bahkan bisa menyiram air ke tubuhnya, lalu menampung kembali untuk orang selanjutnya.
ADVERTISEMENT
begitu juga dengan baitul mal ini, ketika hanya dipikirkan dapat dinikmati hanya beberapa orang, maka kedengkian itu bisa mematikan kelanjutan baitul mal. Kenapa baitul mal?, karena BAZNAS, atau pun BAZDA hanya mengelola zakat, infaq, atau pun sadaqah yang disalurkan untuk para asnab (orang-orang yang berhak) yang sudah ditentukan. Sementara baitul mal peruntukkannya lebih bersifat sosialisme untuk masyarakat luas dalam konteks untuk membangun ekonomi umat.
Kalau pun ada kekhawatiran-kekhawatiran bahwa orang yang meminjam tanpa ada tekanan tanggung jawab pengembalian, akan melempem untuk melunasi ke depannya, itu bisa diatasi dengan kesepakatan di awal, dan asas kepercayaan sesama umat yang sangat perlu dibangun, karena baitul mal bukan ranah profit. Saling tolong menolong dalam kebaikan untuk mebangun ekonomi umat melalui baitul mal, inilah salah satu dekatnya konsep Islam dan sosialisme yang telah lama digaungkan oleh H.O.S Tjokroaminoto, supaya ketergantungan atas kapitalisme bisa terpangkas dan ekonomi yang terpusat di oligarki bisa dipencar untuk kesejahteraan dan kemakmuran sosial umat.
ADVERTISEMENT
Baitul mal bisa menjadi pusat ekonomi sekaligus membangkitkan peradaban Islam di Indonesia tentunya dengan semangat pengelolaan untuk kemaslahatan umat dan profesionalitas serta keikhlasan dari semua pihak untuk turut bangkitnya peradaban Islam di Asia Tenggara. Sebagaimana yang pernah disampaikan Prof. Azyumardi Azra sebagai Renaissance Islam pada kajian menjelang berbuka Ramadhan tahun lalu di masjid UGM.
Penguatan ekonomi umat sangat vital untuk dilakukan terutama untuk melahirkan muslim-muslim yang kaya dan peduli untuk kemaslahatan umat, bukan malah sebagai konglmerasi yang selalu mengurung diri dalam benteng elitisme. Inilah yang digerakkan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia seperti Muhammadiyah yang menggalakkan gerakan mencetak 1.000 pengusaha baru. Begitu juga dengan NU yang mulai membangun pondasi ekonomi umat dengan menggerakkan usaha-usaha berbasis modal bersama seperti di Pondok-pondok pesantren.
ADVERTISEMENT
Melalui baitul mal inilah diasah bagaimana silaturahmi bisa terjalin, bukan dalam relasi bisnis, akan tetapi relasi ta'awun -tolong menolong- untuk kemaslahatan umat yang sejahtera, sebagaimana yang pernah terjadi di masa tabi'in, yang bahkan mencari orang yang mau menerima sadaqah dan zakat pun sulit ditemukan.
Untuk memulai menggerakkan baitul mal bukan perkara sulit, mengelola pun hanya membutuhkan asas kepercayaan dan kejujuran umat, dan itu bukan perkara mustahil untuk dimulai dari sekarang. Dan baitul mal ini adalah salah satu alternatif solusi untuk bangkitnya perekonomian umat berbasis kerakyatan dan sosialisme Islam yang benar-benar diidamkan, dan sebagai bentuk pembelaan atas kaum mustadh'afin supaya tidak terjerat riba baik pada rentenir individu maupun korporasi, hatta itu korporasi milik negara.
ADVERTISEMENT