Habitus Dari Pondok Pesantren

Abdul Rahim
alumni pendidikan bahasa dan sastra FKIP Unram, Kajian budaya dan media UGM
Konten dari Pengguna
28 Mei 2017 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Rahim tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Habitus Dari Pondok Pesantren
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
sumber foto : doc. FB Saharudin
Semburat kekhawatiran bercampur semangat untuk menjajaki rantauan, jauh dari orang tua, saudara, kakek dan nenek, akan menjadi sebuah pengalaman baru baginya. Kala mendung tergantung di langit siang menjelang sore waktu itu, tubuh kecilnya sudah dibalut baju Koko putih (masyarakat Lombok menyebutnya Kelambi Taqwa), celana Bahan warna hitam, tak lupa peci hitam bertengger di kepala. Keluarga sudah siap untuk mengantarkannya ke sebuah Pondok Pesantren yang letaknya agak masuk ke pedalaman lereng Rinjani sebelah selatan. Faqih, begitulah bocah mungil yang baru lulus Madrasah Ibtidaiyah itu akan diserahkan untuk mondok, menimba ilmu di salah satu pondok pesantren yang mengedepankan aspek penguasaan bahasa asing, Tahfiz, maqdis dan berbagai ekstrakurikuler santri lainnya sebagai program unggulan mereka.
ADVERTISEMENT
Sejak malam tadi hanya beberapa saat dia terlelap, membayangkan akan jauh dari rumah membuat gelisah malamnya. Bahkan pagi tadi masih dia sempatkan untuk bertemu kawan-kawan sepermainan. Lalu menceritakan tentang dia yang akan merantau menjadi santri. Sebuah kebanggan sepertinya terbersit dalam dada, sebab dia akan pergi meninggalkan rumah, bocah yang kemarin-kemarin mau apa-apa mesti memanggil ibu, kini dia akan menjajaki kehidupan mandiri berlabel santri.
Tepat pukul 3 sore semua sudah siap, berkumpul di depan rumah, setelah sebelumnya dia berkeliling terlebih dahulu menyalami beberapa keluarga dan Tokoh agama untuk meminta doa-restu atas keberangkatannya. Sebagaimana sebuah tradisi, satu per satu orang tua yang didatangi akan memegang kepalanya untuk sejenak dan membacakan doa-doa yang entahlah tidak diketahuinya, lalu disaku baju akan diselipkan beberapa lembar uang sebagai bekal untuk sang santri.
ADVERTISEMENT
Dengan mobil carteran berangkatlah Faqih sore itu, dengan bayangan-bayangan imajinatif di benaknya tertuju ke Pondok pesantren,tentang kehidupan dan suasananya di sana. Tentang kawan baru, tentang pelajaran baru yang akan diserap, dan tentang rutinitas baru yang akan ia jalani. Bayangan-bayangan itu semakin memacu semangatnya dengan sebentar-sebentar menanyakan kapan sampainya ke pondok pesantren tujuannya, sebab jarak dari rumah dan lokasi pondok pesantren tersebut sudah berbeda kabupaten, terlebih lokasi ponpes yang berada agak pedalaman di lereng Rinjani.
Sesampainya di tujuan langsung disambut dengan pernak-pernik persiapan untuk santri baru yang terpasang di gerbang masuk ke area Pondok pesantren. Di Masjid masih banyak santri-santri yang sedang mendengarkan kajian sore, sementara pengantar santri baru memarkirkan kendaraan di depan Pondokan. Lalu menuju petugas piket untuk konfirmasi kedatangan santri baru dan mencarikan tempat sementara sebelum pembagian kamar. Bayangannya tentang suasana Pondok dengan bangunan megah seperti yang dia lihat di brosur tidak sesuai ekspektasi, ada beberapa bangunan berlantai 3, sementara yang lainnya memanjang berkotak-kotak sebagai tempat pondokan santri, dan di belakangnya terhampar sawah yang berbatasan dengan lereng hutan gunung Rinjani.
ADVERTISEMENT
Penyerahan santri baru langsung berhubungan dengan pimpinan pondok pesantren (Tuan Guru, atau Kyai-nya), yang kebetulan sedang menunggu orang-orang tua santri untuk menyerahkan secara langsung anak mereka, atau dengan istilah serah mayung sebungkul (penyerahan secara Penuh untuk dididik dan mengabdi). Bapaknya Faqih yang juga pernah menjadi santri dahulunya, sehormat mungkin membahasakan penyerahan anaknya kepada pimpinan ponpes dan tak lupa memberikan wejangan, petuah, dan doa semoga sang anak bisa menuntut ilmu dengan baik dan betah di Ponpes tersebut untuk dibina.
Malam Pertama di Ponpes
Hari hampir gelap barulah rombongan pengantar Faqih beranjak pulang, beberapa santri senior mendampingi Faqih yang melepas rombongan orang tuanya. Untuk sementara, barang-barang dan bekal yang dibawakan untuknya diletakkan di sebuah ruangan yang cukup luas sembari menunggu mendapatkan kamar. Sampai Isya berakhir dengan penyambutan santri secara internal pondok-an, belum juga ada kejelasan di mana ia mendapat kamar. Dan untuk sementara Faqih pun tidur di ruangan luas tersebut, di dekat barang-barang miliknya.
ADVERTISEMENT
Kegelisahan malam itu makin terasa, sebab faqih yang terbiasa tidur dengan kasur kini hanya beralaskan anyaman tikar pandan, dan di bawahnya sudah diberi alas karpet. Suasana dingin pedesaan cukup membuat keheningan malam diantara penghuni ruangan tersebut yang belum saling kenal, dan digabung semua yang belum dapat kamar, baik yang MTs. ataupun yang MA. Berbekal sarung yang tak terlupakan sebagai ciri khas santri, itulah sebagai selimut, berbantalkan ransel yang didalamnya baju-baju yang belum sempat dikeluarkan.
Baru beberapa jenak terlelap, sebab pikiran melayang, masih terbayang rumah malam itu, tepat pukul 03.00 pagi mereka sudah dibangunkan untuk tahajud di masjid. Jelas sekali terlihat kelabakan, bocah-bocah yang baru pertama kali meninggalkan rumah dibangunkan secara spontan seperti itu, tampak agak malas-malasan untuk bangun. Begitu juga di Pondokan putri, sambil linglung menuju ke tempat wudhu, terasa semakin menyengat dinginnya shubuh kala angin berhembus, ditambah dinginnya air pegunungan. Akan tetapi dengan motivasi dari santri senior yang bahkan terkesan membentak membuat mereka mau tak mau harus segera mengambil air wudhu.
ADVERTISEMENT
Tak terkecuali Faqih, yang biasanya bangun shubuh pukul 6 pagi, tampak linglung setengah sadar menuju kran air tempat berwudhu. Mau mengeluh, atau menangis sekalipun tidak akan ada yang peduli, sebab ketika sudah di sana harus bisa bertahan, melawan malu, melawan kebodohan, lebih-lebih melawan lemahnya iman, yang akan terus digodok di lingkungan pondok pesantren tersebut. Proses seperti inilah yang tidak terbayangkan dalam benaknya, penggodokan santri seperti inilah yang justru benar-benar melekat sebagai pembinaan mental santri.
Semua terkumpul di masjid, diinstruksikan untuk shalat sunnat tahiyatul masjid, sementara petugas/murabbi mengecek kembali kamar-kamar santri jika masih ada yang bersembunyi. Selesai tahiyatul masjid, barulah Tahajud dilaksanakan berjamaah, sebagai bentuk pembinaan awal bagi para santri baru. Bagi Faqih shalat 4 rakaat terasa cukup lama, ditambah sunyinya suasana Ponpes dengan udara pagi berhembus semilir, melenakan para santri yang masih terbuai kantuk dalam berdiri shalatnya, lalu terkejut dengan kantuknya yang serta merta terganggu. Kesempatan sujud yang lama dimanfaatkan untuk meneruskan kantuk, lalu imam sudah berdiri, beberapa santri masih tetap dalam sujudnya, mendengkur.
ADVERTISEMENT
Selesai tahajud, wirid masih berlanjut, para santri dalam duduk bersilanya kembali menundukkan kepala entah khidmat ataupun menuruti kantuk. Terbukti ketika sang imam membaca doa tak banyak yang mengangkat tangan memposisikan untuk berdoa. Acara dilanjutkan dengan ceramah penyambutan santri baru dari pimpinan Ponpes. Suasana tetap hening, posisi duduk santri tak banyak berubah, bahkan ada yang terdengar dengkuran ketika nunduknya kepala. Waktu shubuh belum juga masuk, Faqih yang hanya dapat memejamkan mata beberapa jenak, mencoba mengikuti gaya santri yang lain, menyalurkan kantuk lewat tunduknya kepala dengan posisi bersila. Sayangnya dia yang belum terbiasa beberapa kali terangguk-angguk karena kantuk, lalu terkejut ketika badan hampir rebah ke belakang, sementara kawan samping kiri-kanannya terlihat tersenyum melihat kejadian itu.
ADVERTISEMENT
Sampai selesai shubuh ternyata dilanjutkan lagi dengan bacaan-bacaan wirid secara berjamaah. Santri baru yang belum hafal bacaan wirid diberikan lembaran untuk dibaca. Suara koor santri menggema memecah shubuh dengan satu orang sebagai pemandu melalui pengeras suara. Selesai itupun kembali dilanjutkan dengan pembahasan instruksi-instruksi bagi santri baru, instruksi tidak dicatat, tetapi diingat untuk terus dipatuhi. Sinar mentari sudah mulai terlihat, barulah mereka dipersilahkan kembali ke kamar masing-masing dan bersiap untuk memulai pendidikan formal/masuk kelas di pagi hari.
Ritus Persahabatan
Santri-santri yang belum mendapat kamar terlihat kebingungan, mau ganti baju di mana, bahkan kamar mandi yang mereka tahu hanya di dekat tempat wudhu shubuh tadi. Akan tetapi mereka tetap kembali ke aula tempat barang-barang diletakkan. Niat Faqih untuk melanjutkan tidur seketika sirna, terpikir mau mandi di mana, sarapan di mana nantinya. Sebab seingatnya kemarin dia hanya disediakan kamar, sementara untuk makannya tidak ditanggung, kecuali yang pondokan Plus. Untungnya ada beberapa santri senior yang menginstruksikan kepada mereka letak kamar mandi, dan kantin tempat sarapan. Faqih yang biasanya jarang mandi juga ketika berangkat sekolah dulunya, hanya mengambil seragam dari dalam ranselnya dengan rencana ganti baju saja, lalu beranjak ke kantin untuk mengisi perut, padahal biasanya juga dia jarang sarapan meskipun disediakan oleh Ibunya semasa di rumah.
Habitus Dari Pondok Pesantren (1)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Deretan kantin yang dimaksud hanya warung Bedek (anyaman bambu) yang atapnya dari anyaman daun kelapa, lalu dideretkan bangku panjang dengan meja di depannya. Sudah banyak santri yang berjejer di sana, menikmati sarapan mereka dengan nasi bungkus yang ditata rapi di atas meja, sementara bibi penjaga kantin terlihat sibuk membuat gorengan, membuatkan minum yang dipesan, dan satu lagi sebagai petugas tempat bayar. Faqih pun mengikuti arus tersebut, mengambil nasi bungkus lalu duduk menikmati, meski belum ada yang dikenal di sana. Selesai menikmati nabung (nasi bungkus) yang tak sampai habis, Faqih mencari-cari tempat minum, terlihat di dekat galon yang disediakan terdapat pula gelas-gelas plastik yang digunakan minum para santri, Faqih pun mengikuti. Dan setelah selesai membayar, langsung beranjak kembali ke aula tempat ranselnya untuk mengambil buku.
ADVERTISEMENT
Tak dia tahu jam sudah menunjukkan pukul berapa pagi itu, sementara mentari pagi masih hangat-hangatnya menyinari, dia pun menunggu instruksi dari para murabbi. Saat itulah dia bertemu dengan salah seorang santri tahfiz tingkat MTs. yang belum dapat kamar juga, dan sepertinya akan sekelas juga di MTs. nantinya. Setelah menunggu hampir 15 menit barulah mereka diarahkan untuk menuju madrasah, dan melihat nama di kelas mana mereka ditempatkan. Ternyata benar, mereka berdua satu kelas, jadilah Faqih dan Rudi mencoba mengakrabkan diri. Bahkan ketika pagi itu semua diminta berkumpul di Mushalla madrasah untuk dhuha, mereka masih saling tunggu di tempat wudhu, lalu duduk bersamaan. Begitu juga kegiatan ekstrakurikuler mereka samakan untuk diambil, tahfiz pun sama pembimbing mereka, meski kamar mereka ditempatkan berbeda.
ADVERTISEMENT
Sebulan pertama di sana masih menyiksa bagi Faqih, dengan kurang tidur, kegiatan penuh hingga pukul 10 malam, lalu pagi berangkat ke madrasah sampai zuhur, waktu luang beberapa jam sebelum sampai ashar mereka gunakan untuk hapalan sebelum bertemu dengan pembimbing mereka di sore harinya. Begitu terus berulang, bahkan setiap selesai shalat fardhu, dhuha atau tahajud disempatkan juga untuk membuka Al qur'an beberapa menit, dengan Al Qur'an kecil yang dibagikan dan bisa dimasukkan ke saku. Tidak hanya itu, mental mereka untuk tahan banting dalam belajar terus digodok dengan kajian-kajian rutin (ngaji kitab) yang diberikan, lalu mereka mencatat apa isi kajian tersebut, dan nanti akan ditanyakan secara acak setelah usai penyampaian materi.
Tata kesopanan, khidmat pada guru benar-benar dijaga, terlebih dengan pendalaman kitab Ta'lim muta'allim, Akhlaqul banin yang ditanamkan sehingga diinginkan setiap santri patuh dan merasa nyaman untuk belajar. Bahkan ketika mereka berjalan, dan ketika guru (Tuan Guru) sedang duduk entah di beranda rumahnya, atau duduk-duduk di kursi halaman, jarak 10 meter sebelum melewati Tuan Guru mereka sudah berjalan membungkukkan badan, lalu mendekati Tuan Guru untuk bersalaman dengan mencium tangan, lalu mengangkat tangan Guru untuk diletakkan di kepala. Tidak hanya untuk guru, gaya salam seperti itu diterapkan juga ketika menyalami orang tua, atau tokoh-tokoh yang dihormati oleh santri.
ADVERTISEMENT
Rutinitas Yang Mengakar
Hampir mendekati berakhirnya semester pertama dengan rutinitas yang padat, membuat Faqih sudah terbiasa dengan hal tersebut, bahkan jadwal bangun sebelum shubuh seperti sudah ter-setting tak perlu digedor-gedor lagi. Begitu juga dengan hapalan, tanpa perlu diinstruksikan mereka sudah paham sendiri untuk memulai. Dimulai dari Juzz awal dan terus diulang setiap selesai shalat. Ekstrakurikuler lainnya tetap dinikmati, seperti pendalaman bahasa asing ( Arab & Inggris) untuk berbicara, latihan karate sebagai olahraga, dan pengajian-pengajian kitab yang harus mereka tekun untuk ikuti.
Liburan semester pun tiba, santri kembali dijemput untuk menikmati liburan di kampung masing-masing, meski ada beberapa santri yang dari luar daerah (lintas pulau) masih tetap di sana yang dinstruksikan sebagai ajudan Tuan Guru. Tak terkecuali Faqih, dia yang telah lama merindukan rumah meski setiap bulan dijenguk oleh orang tuanya, bersemangat sekali untuk berlibur. Dan selama berlibur itulah terlihat sekali perubahan yang dirasakan oleh orang tuanya. Dia yang dulunya penakut, ke kamar mandi saja harus ditemani, kini terbiasa sendiri, makan yang dulu harus disiapkan, kini terbiasa ambil sendiri, tak terkecuali perubahan karakter ketika beribadah, meski di waktu libur, Dhuha tetap dilaksanakan, tidak mesti hanya ketika di Madrasah. Bangun tahajud tetap terlaksana, bahkan sering samaan bagun dengan orang tuanya ketika tengah malam. Begitu juga dengan rutinitas membaca Al Qur'an yang dibiasakan setiap selesai shalat.
ADVERTISEMENT
Karakter santri dengan didikan yang semula terasa menyiksa baginya kini sudah menjadi habitus dalam dirinya. Dari segi keilmuan ketika ditanya tentang isi pengajian-pengajian yang diikuti, dibuka ulang catatan untuk mengulang hal-hal yang pernah dia dapatkan. Begitu juga dalam pengetahuan umum, santri benar-benar digodok untuk memiliki wawasan luas, terlebih dengan perpustakaan yang memadai disediakan sebagai pendorong untuk meningkatkan minat baca. Hormat dan bakti pada guru, orang tua, dan orang yang lebih tua darinya, melekatkan betul pengajian dari kitab Akhlaqul banin yang telah diajarkan.
Perubahan karakter dan mental santri dalam diri Faqih sangat membuahkan syukur dalam hati orang tuanya. Faqih yang dulunya manja, bisa dicap nakal, dan boros sekali dalam belanja, kini sudah mulai berubah menjadi pribadi yang tekun, rajin ibadah, dan senantiasa patuh dan hikmat kepada orang tua, guru, dan orang lain yang seharusnya dia hormati. Terlebih semangatnya untuk menghapal Al Qur'an sangat membanggakan sekali untuk terus didukung dan mendapatkan pembinaan intensif baik dari guru, terlebih orang tua yang senantiasa menginginkan anaknya untuk terus berbenah ke arah yang lebih baik. Sangat patut diapresiasi semangat-semangat dari Pondok-pondok pesantren untuk membina Thalabul Ilmi yang berjiwa Qur'ani dan memiliki karakter integritas, demi masa depan generasi bangsa ini.
ADVERTISEMENT