Lowongan Kerja dan Syarat Remeh Temeh

Abdul Rakan Jamaludin
Apoteker Klinis dan Komunitas, Alumnus UHAMKA
Konten dari Pengguna
18 Mei 2022 15:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Rakan Jamaludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Lowongan Pekerjaan/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Lowongan Pekerjaan/Unsplash
ADVERTISEMENT
Ketika berselancar di media sosial, saya pernah mendapati sebuah lowongan kerja yang syarat-syaratnya bikin saya mengerutkan dahi: Beragama Islam, Rajin Salat, dan sejumlah syarat tidak berkaitan lainnya.
ADVERTISEMENT
Kenapa saya katakan tidak berkaitan? Tidak masalah jika tempat kerjanya masih berkaitan dengan agama islam, seperti menjadi Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM), Guru Agama, atau Pengurus Majlis Taklim. Artinya antara syarat dan bidang kerja memang sejalan.
Masalahnya, lowongan kerjanya itu untuk bidang kesehatan. Lebih tepatnya, Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) atau yang lazim disebut dengan Asisten Apoteker. Sepanjang pengalaman saya sebagai farmasis, tidak pernah sekalipun saya ditanya oleh pasien yang saya layani: "Masnya apakah Agama Islam?" atau "Masnya rajin salat gak?" pun sebaliknya, ketika ada pasien hendak menebus resep atau membeli obat, 100% saya tidak pernah bertanya, "Mbaknya bukan Islam ya?" atau "Apakah mbak penganut agama Saksi Yehuwa?"
Sekadar cerita, saya pernah bekerja di suatu tempat yang tak kalah membingungkan. Perusahaannya termasuk besar, sudah berstatus perusahaan terbuka (Tbk). Bidang bisnisnya lintas kategori. Saya kebetulan ada di lini bisnis bidang kesehatan, penjualan produk retail. Kebiasaan di tempat kerja tersebut adalah, kawan-kawan saya, sebagian besar karyawati yang beragama islam, tidak diperkenankan memakai kerudung.
ADVERTISEMENT
Dari rumah masing-masing, kawan-kawan saya yang perempuan tadi memang ada juga yang tidak berkerudung, namun banyaknya mereka berkerudung, bahkan syar'i. Akan tetapi, sesampainya di tempat kerja, mereka yang sebelumnya berkerudung diharuskan melepas kerudung, bersolek, kalau bisa pakai bawahan yang ketat.
Kontras, hari ini saya bekerja di satu tempat yang berkebalikan dari tempat seperti yang saya gambarkan di paragraf sebelumnya. Kebetulan, karena tempat saya bekerja yang sekarang adalah klinik kecantikan, maka otomatis karyawannya 90% adalah perempuan, kecuali sekuriti dan saya tentunya.
Dari rumah masing-masing para karyawati ini ada yang tidak berkerudung, sekalinya berkerudung pun ada yang kerudung modis atau a la jilboobs, tapi sesampainya di tempat kerja mereka mengubah penampilan mereka se-syar'i mungkin.
ADVERTISEMENT
Untuk tempat kerja yang melarang kerudung tadi, ada dalih bahwa garda terdepan pelayanan tidak boleh menunjukkan atribut agama tertentu. Agar konsumen nyaman. Kalau mau berdalih seperti itu sah-sah saja, tapi yang saya lihat, peraturan itu juga setengah-setengah. Masalahnya, di lingkaran manajemen masih ada karyawati berkerudung.
Dalihnya, karena manajemen tidak berkaitan dengan customer secara langsung. Memang betul, tapi ketika kunjungan atau supervisi di hari kerja, di jam pelayanan, 100% keberadaan manajemen berkerudung itu terlihat oleh customer.
Di situasi seperti itu saya menilai ada sikap ingin menang sendiri, ingin untung sendiri. Untuk manajemen yang berkerudung, sudah pasti mereka memiliki prinsip bahwa kerudung wajib, rambut itu aurat. Otomatis, jika mereka memakai kerudung merasa sudah menunaikan kewajiban, merasa sudah menutup aurat. Artinya pahala surga sudah menunggu.
ADVERTISEMENT
Namun di saat yang sama, para manajemen berkerudung itu membiarkan bawahannya yang ingin memakai kerudung untuk melepasnya dengan dalih peraturan perusahaan. Kalau mau dibuat idealis, harusnya para manajemen berkerudung itu mengambil sikap untuk memperjuangkan agar bawahan yang ingin memakai kerudung tetap berkerudung.
Manakala kantor pusat tetap tidak mengizinkan untuk mengenakan kerudung di level terbawah, mereka harusnya dengan sukarela mundur dan memutuskan tidak sudi lagi membantu perusahaan yang tidak mendukung kebebasan dalam berpakaian. Jika ingin fair, baiknya para manajemen berkerudung itu melepas kerudung juga dengan alibi mendukung kebijakan perusahaan secara utuh, juga sebagai bentuk simpati kepada bawahan yang dengan sukarela melepas kerudung karena alasan ekonomi semata. Fair. Masuk surga tidak sendiri, masuk neraka pun tidak sendiri. Ibaratnya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, untuk tempat kerja yang malah memaksa karyawati untuk berkerudung. Dan tidak cukup di situ, setelan ke bawahnya harus searab mungkin. Untuk karyawan celana harus cingkrang, itu pun bagi saya berlebihan. Apalagi, ketika sesi wawancara ada pertanyaan: "Apakah Anda Islam Salafi?" yang artinya kalau gak Salafi tidak akan lolos di saringan awal rekrutmen karyawan.
Masalahnya, lingkup kerja yang akan dihadapi adalah klinik kecantikan, perawatan, peracikan krim dan salep. Apa hubungannya dengan Salafi atau bukan Salafi? Apakah seorang yang bukan salafi dalam hal meracik krim tidak lebih pro ketimbang orang yang mengaku Salafi?
Saya bukan pendukung orang pakai kerudung, bukan pula pendukung orang untuk lepas kerudung. Jika orang di depan saya nyaman memakai kerudung, saya tidak akan menyarankannya lepas kerudung. Jika orang di depan saya nyaman menunjukkan keindahan rambutnya, tentu saja saya tidak akan memaksanya untuk berkerudung.
ADVERTISEMENT
Kenyamanan tidak untuk dipaksakan. Saya nyaman ketika melihat orang nyaman. Masalahnya, saya perhatikan di perusahaan yang anti kerudung tadi, kawan-kawan saya tidak nyaman karena lepas kerudung. Mereka khawatir terpergok sanak familinya.
Dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menyinggung agama tertentu, budaya tertentu, prinsip tertentu. Semua saya hormati. Namun dalam beberapa situasi memang kebiasaan tertentu tidak bisa dijadikan patokan. Soal berkerudung atau tidak, dalam dunia pelayanan itu bukan hal substansial.
Selama seorang karyawan mampu memposisikan dirinya sebagai karyawan. Tulus dalam melayani. Menebar senyum, salam, sapa kepada pelanggan. Mengakomodir komplain pasien. Menghormati SOP dan atasan. Menyayangi bawahan. Itu sudah lebih dari cukup. Soal salafi atau bukan. Kerudungan atau tidak. Itu lain soal. Biarlah itu menjadi ranah privat.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, siapalah saya. Saya hanya individu biasa. Ketidaksetujuan saya terhadap perusahaan besar yang anti kerudung. Atau perusahaan medioker yang kecandual hal berbau arab. Tidak bisa mengubah apa-apa. Individu lawan institusi, meski salah, sudah pasti institusilah pemenangnya. Meski saya benar, jika hanya sendirian, ujung-ujungnya bisa jadi akan dianggap salah. Andai pun saya diperbolehkan memberikan saran mengenai syarat dalam sebuah lowongan pekerjaan: Buatlah syarat yang substansial, bukan yang remeh temeh.[]