Membaca, Menulis: Sebuah Ketidakharusan

Abdul Rakan Jamaludin
Apoteker, Praktisi Penyembuhan Holistik - Alumnus FFS UHAMKA - Founder Situs www.LindungiDiri.id
Konten dari Pengguna
6 Mei 2024 13:18 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Rakan Jamaludin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Wanita Membaca. Foto: Pexels/The Lazy Artist Gallery
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Wanita Membaca. Foto: Pexels/The Lazy Artist Gallery
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jika kita mewawancarai setiap orang, maka kita akan dapati gaya unik, prinsip-prinsip yang bagus, dan liku hidup yang berwarna. Mungkin disitulah perlunya kita banyak mendengarkan, dan menahan diri untuk tidak banyak berbicara. Seperti yang Dalai Lama katakan, “Ketika berbicara, kita hanya mengulang apa yang kita tahu. Ketika mendengarkan, maka kita mendapatkan hal baru.” Begitupun dalam hal menulis, jika di-singkronkan dengan ungkapan Dalai Lama, jadi seperti ini bunyinya, “Ketika menulis kita hanya mengulang apa yang kita tahu. Ketika membaca, maka kita mendapatkan pemahaman baru.”
ADVERTISEMENT
Mari melihat kebiasaan kita selama ini. Mari jawab dengan jujur: Apakah selama ini kita sudah banyak mendengarkan? Ataukah masih banyak berbicara? Apakah selama ini kita masih banyak menulis tanpa pernah lagi banyak membaca? Bukan apa-apa, ketika komposisi berbicara kita lebih banyak ketimbang mendengarkan, seringkali itu membuat rasa empati hilang. Bagaimana tidak hilang, wong kita tidak merasakan apa yang orang lain rasakan. Dan bagaimana kita bisa andil merasakan apa yang dirasakan orang lain, wong kita saja malas mendengar apa yang mereka rasakan.
Dalam menulis dan membaca pun demikian. Sudahlah, tidak perlu ditutup-tutupi lagi, kita hidup di negara Indonesia. Kenapa memangnya dengan Indonesia? Artikel kompas edisi Agustus 2016 mengatakan, menurut studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
ADVERTISEMENT
Begitupun menurut Annisa Rahmadanita (2022), dalam Jurnalnya, diterbitkan oleh Jurnal Pustaka Ilmuiah, yang berjudul "Rendahnya Literasi Remaja di Indonesia: Masalah dan Solusi" memaparkan penyebab utama mengenai rendahnya literasi ini, yakni berlebihannya kita dalam mengakses media sosial. Dalam hal ini, saya sangat setuju. Tidak perlu saya absen berapa jumlah platform media sosial saat ini. Dalam kesimpulannya, Annisa Rahmadanita (2022) mengungkapkan bahwa untuk menaikkan level kesadaran dalam ber-literasi bisa dimulai dengan upaya membangun motivasi membaca yang diawali dari peran keluarga. Juga peran pemerintah yang harus terlibat dengan meregulasi pembatasan dalam menggunakan media sosial.
Jika saya tambahkan, sebetulnya, banyak faktor dan sebab yang mendasari kenapa orang-orang indonesia malas membaca: Tidak tahu urgensi membaca, lebih kepikiran beli secangkir kopi alih-alih buku, lebih memilih nongkrong di kafe alih-alih di perpustakaan, lebih memilih menonton YouTube, serial TV on-demand, alih-alih mengarungi gagasan lewat kata-kata. Dan, kekurangan bahan bacaan orisinal dari para penulis dalam negeri. Sekalinya beli buku versi luar bertambah kendalanya, mahal dan tidak terlalu akrab dengan bahasa luar selain bahasa indonesia.
ADVERTISEMENT
Tapi pada akhirnya, tidak setiap orang harus suka membaca. Tidak setiap orang juga harus menjadi penulis. Setidakharus tukang tambal ban menjadi tukang mesin jahit, setidakharus dokter menjadi petani. Semua ada bagiannya, semua ada porsinya. Membaca hanya untuk mereka yang haus akan informasi dan pengetahuan baru. Membaca hanya untuk mereka yang ingin naik level dari statusnya saat ini, paling tidak naik satu tingkat. Membaca hanya untuk mereka yang kelak pada usia tua ingin tetap tajam ingatannya, ingin mengikuti perkembangan jaman, ingin nyambung kala mengobrol dengan cucu-cucunya.
Pun, membaca hanya untuk mereka yang dalam kesadaran terdalamnya selalu merasa tidak tahu tentang apapun. Merasa tidak bisa memahami segala aspek. Merasa tidak pernah ahli dalam bidang yang ia geluti. Ya, membaca hanya untuk orang-orang itu. Bahwa akhirnya peringkat literasi di negara kita rendah, itu tidak menjamin bahwa di negara yang tingkat literasinya tinggi itu lebih baik. Bahwa remaja di negeri kita tercinta lebih senang bermedia sosial, itu juga tidak menjadi jaminan bahwa kalau remajanya gemar membaca akan menjadi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Apa yang harus kita lakukan sekarang?
Untuk yang gemar membaca, lanjutkan kegemaranmu. Jika bisa tingkatkan jumlah buku yang kau baca dalam periode tertentu. Baca lintas topik, lintas genre, lintas bidang. Jadilah pelahap segala jenis bacaan. Kamu tidak akan pernah rugi dengan dampak positifnya pada suatu hari nanti. Dalam fase berikutnya, muntahkan hasil bacaanmu itu dalam bentuk tulisan. Untuk yang tidak gemar membaca, lanjutkan kegemaranmu yang lain. Lakukan selama itu membuatmu nyaman. Selama tidak mengganggu ekosistem. Selama tidak merusak dirimu dan lingkungan. Bonusnya, jika kamu menambah keranjang kegemaranmu dengan aktivitas membaca, kamu akan punya pandangan baru, wawasan baru. Itulah yang membuat dirimu selalu baru. Paling tidak di level pemikiran. Mungkin itu sedikit jaminan untuk masa depan yang, sedikit, lebih baik.[]
ADVERTISEMENT