Di Balik Cerita Nusantara

BRORIVAI CENTER
Institute of Development Research and Social Response
Konten dari Pengguna
12 Desember 2018 19:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Abdul Rivai Ras (Founder BRORIVAI Center)
Kumparan.com - Istilah “Nusantara” sering kita gunakan untuk menyebut nama negara kita, Indonesia. Dalam lirik puisi dan lagu istilah ini juga sering digunakan. Apakah sebenarnya pengertian Nusantara itu?
ADVERTISEMENT
Nusantara adalah sebutan untuk wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai ke Papua dimana pada saat sekarang sebagian besar memang termasuk wilayah negara Indonesia.
Mengapa hanya sebagian besar? Karena tidak semua daerah di bentangan pulau tersebut termasuk wilayah Indonesia. Ada wilayah negara-negara lain seperti Timor Leste, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Nusantara Sakti
Konon sebutan negara kita memiliki beberapa nama, namun pada umumnya bangsa Indonesia hanya mengenal nama “Nusantara” saja. Padahal awalnya bangsa ini bernama“Dirgantara” kemudian menjadi “Swargantara” lalu menjadi “Dwipantara” setelah itu menjadi “Nusantara” dan kini disebut “Indonesia”.
Tanpa diketahui secara pasti mengenai tahun dalam setiap periode, kecuali dibagi berdasarkan fase perkembangan zaman sejak ribuan tahun yang lalu seperti gambaran dan arti nama-nama berikut ini:
ADVERTISEMENT
Zaman Dirganta-Ra yang dimaknai wilayah api kehidupan yang bercahaya di mana Kujang sebagai simbol Batara Durga atau api yang memberi kehidupan.
Zaman Swarganta-Ra dimaknai wilayah kehidupan mandiri yang bercahaya atau sebagai simbol Matahari (Sang Hyang Manon).
Zaman Dwipanta-Ra atau kehidupan negeri Cahyana kembar/merah-putih sebagai simbol ajaran cahaya (merah/api/matahari) atau Salaka Domas. Zaman ini sebagai simbol negara air (maritim) atau Salaka Nagara, di mana lahirnya konsep cahaya kembar (Dwi) Naga dan Ra dengan simbol merah dan putih.
Maka itu sebabnya pula dalam cerita Prabhu Air Langga (tahun 1000 Masehi) disimbolkan mengendarai Garuda Wisnu yang menunggang seekor burung yang sedang berdiri atau bertumpu di atas naga/ular) yang mensiratkan era Banjaran Nagara.
Zaman Nusantara atau gerak/kehidupan manusia cahaya yang menggambarkan lahirnya Panji Cahaya (Bende-Ra) sebagai lambang negara (bendara merah-putih).
ADVERTISEMENT
Pada zaman Nusantara sesungguhnya dinilai sebagai awal dari peradaban dunia, di mana suku-suku bangsa Indonesia-Nusantara adalah orang-orang sakti.
Misalnya dalam ilustrasi kesaktian itu dibuktikan melalui kemampuan bangsa ketika itu yang dapat mendirikan Candi Prambanan dalam semalam, atau pembangunan Candi Borobudur tanpa menyiksa budak, termasuk dalam sejumlah pembangunan piramid-piramid di berbagai penjuru negeri.
Sedangkan pada zaman Indonesia, dimaknai sebagai konsep negara Re-Publik, dimana dalam perkembangannya sejumlah kerajaan diruntuhkan dan direbut atau dirampok oleh rakyat (Ra-Hayat).
Tentu dari cerita tersebut, membutuhkan penelusuran sejarah mengenai kebenaran perkembangan istilah Nusantara.
Kisah Nusantara Modern Menuju Indonesia
Selain itu, terdapat cerita versi lain mengenai asal usul Nusantara-Indonesia yang menjelaskan tentang aneka nama kepulauan Indonesia. Terdapat beberapa kesamaan tentang nama, namun juga memiliki perbedaan cerita dan makna.
ADVERTISEMENT
Dalam catatan bangsa Tionghoa, kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipanta-Ra (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah yang kemudian menjadi Indonesia Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax Sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera.
Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatera), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), dan bahkan semua pulau itu dikenal sebagai Kulluh Jawi (semuanya Jawa).
ADVERTISEMENT
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”.
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, Archipel Malais).
Pada zaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia.
Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa).
Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
ADVERTISEMENT
Dr. Setiabudi memandang bahwa kata Nusantara jaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara yang modern.
Istilah Nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Pada tahun 1847, Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Tetapi lebih senang menggunakan Malayunesia.
Kemudian James Richardson Logan menggunakan nama Indunesia (yang dibuang Earl), dan huruf "u" digantinya dengan huruf "o" agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. Inilah untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak dalam tulisan Logan.
ADVERTISEMENT
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan Indonesier (orang Indonesia).
Indonesia dalam Wawasan Nusantara
Indonesia, kini menjadi negeri yang eksotik dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.504 buah. (7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama).
Tidak asing juga disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa, tentunya karena potensi yang dimiliki oleh negeri ini begitu banyak dan terhampar di jajaran pulau-pulau tersebut. Keanekaragaman hayati, pesona alam, flora-fauna, budaya, bahasa, aneka ragam suku, dan masih banyak lainnya.
ADVERTISEMENT
Memahami Indonesia, tidak terlepas dari konsep Wawasan Nusantara. Dalam bernegara hari ini nampak konsep ini tidak lagi menonjol karena lebih banyak disibukkan dengan persoalan politik perebutan kekuasaan semata.
Bahkan konsep Wawasan Nusantara terkesan menjadi usang, padahal makna konsep ini sangat dalam tentang bagaimana cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya berdasarkan dua landasan dasar yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Di tengah hiruk-pikuk kompetisi politik, Wawasan Nusantara ini perlu ditanamkan pada seluruh warga negara agar rasa nasionalisme tetap terjaga dan tidak justru mengedepankan politik identitas yang sempit.
Seorang warga negara yang baik harus mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Dua landasan dasar Wawasan Nusantara adalah Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan falsafah dan landasan hukum warga dalam menjalankan kehidupan bernegara tetap konsisten harus diaktualisasikan.
ADVERTISEMENT
Dalam menjalankan Wawasan Nusantara tentu diperlukan asas-asas sebagai ketentuan dasar yang harus dipatuhi dan dipelihara, di antaranya asas kepentingan atau tujuan yang sama, keadilan, kerjasama, solidaritas, kejujuran, dan kesetiaan terhadap kesepakatan, bukan hanya menganggap konsep ini sebagai sebuah cerita pengantar tidur.
Selamat Hari Nusantara! 13 Desember 2018.