Isu COVID-19 dan Arah Geopolitik Global

BRORIVAI CENTER
Institute of Development Research and Social Response
Konten dari Pengguna
27 Maret 2020 16:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Abdul Rivai Ras (Brorivai), Alumnus Asia-Pacific Center for Security Studies (DKI-APCSS), Honolulu, Hawaii (Foto Ist. BRC, Milan, Italia 2020)
zoom-in-whitePerbesar
Abdul Rivai Ras (Brorivai), Alumnus Asia-Pacific Center for Security Studies (DKI-APCSS), Honolulu, Hawaii (Foto Ist. BRC, Milan, Italia 2020)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tampilan geopolitik global kini sedang bertransformasi menyusul merebaknya isu virus corona (COVID-19) yang mendera sejumlah negara di belahan dunia. Perkembangan terakhir, negara adidaya sekelas Amerika Serikat (AS) yang dikenal sebagai wilayah pusat kekuasaan dunia (core state) menghadapi ancaman wabah serius terdepan dengan jumlah terbanyak di dunia dan berubah menjadi pusat pandemi virus corona.
ADVERTISEMENT
AS kini mengkonfirmasi (26/03), kasus COVID-19 paling banyak dibanding negara-negara lain dengan setidaknya 82.404 orang dinyatakan positif COVID-19. Merujuk data Universitas Johns Hopkins, AS melampaui Tiongkok yang mencatat 81.782 kasus dan Italia yang melaporkan 80.589 kasus. Keduanya sebelumnya merupakan pusat pandemi virus corona.
Tetapi dengan 1.200 kematian terkait-Covid-19, jumlah kematian AS masih jauh di bawah Tiongkok (3.291) dan Italia (8.215), sementara AS berkisar 1.100 orang meninggal akibat virus jahat asal Wuhan Tiongkok itu. Tonggak sejarah yang suram ini memunculkan spekulasi akan menggeser konsep geopolitik AS yang selama ini dikenal banyak melancarkan wacana “world order geopolitics” yang akan menjelma menjadi wacana “environmental and pandemic geopolitics”.
Peta kasus terkonfirmasi per kapita pada 22 Maret 2020 di hampir semua negara, sebaran Covic-19 didominasi dengan warna merah tanpa membedakan negara inti dan periferal (Sumber: id.m.wikipedia.org).
Wacana geopolitik baru ini akan menjadi rujukan bagi pentingnya lingkungan dan perhatian pandemi yang notabene sebagai epidemi atau wabah penyakit tanpa batas dimana terus menyebar ke wilayah yang sangat luas, bersifat antar benua dan terkesan lebih berbahaya dari pada ancaman senjata pemusnah massal atau terorisme yang tercakup dalam dimensi wacana geopolitik tata dunia baru.
ADVERTISEMENT
Dalam mencermati isu COVID-19, masyarakat dunia akan mulai fokus pada interaksi dan hubungan kemanusiaan serta adanya stereotype negara tertentu terhadap negara pinggiran atau semi pinggiran atau sebaliknya, yang selama ini dinilai negatif dan tidak dapat dibenarkan oleh dunia, misalnya adanya negara berprasangka atas perasaan tidak suka, marah, jijik, tidak nyaman dan bahkan kebencian pada kelompok negara lainnya sehingga dunia menjadi terbelah dan sarat dengan intrik.
Secara konseptual, peta geopolitik global selalu bersandar pada pemikiran teori sistem dunia (world system) yang menunjukkan bahwa pergerakan pembangunan ekonomi dunia terus berubah, dan memandang negara maju adalah negara yang sangat pantas mengendalikan dunia. Pendekatan ini tidak terlepas dari adanya tiga hirarki dasar tentang negara menurut Wallerstein (2004) yakni, negara inti (core), pinggiran (periphery) dan semi-pinggiran (semi-periphery). Dianggap bahwa negara-negara inti dalam sepanjang sejarah banyak mendominasi dan mengeksploitasi negara-negara pinggiran, sedangkan negara periferal bergantung pada negara inti untuk kepentingan “modal” dalam mendorong pembangunan.
ADVERTISEMENT
Pembagian wilayah dalam teori sistem dunia - nampak masih menjadi landasan dalam memetakan geopolitik global (AS, Australia, Kanada, Jepang dan negara Eropa Barat) yang secara realitas dalam wacana geopolitik tata dunia baru sejalan dengan munculnya negara-negara sebagai kekuatan baru dalam konstelasi ekonomi politik global pasca perang dingin.
Negara Inti berwarna biru, Negara Semi Periferi berwarna ungu dan Negara Periferi berwarna merah) - (Sumber: researchgate.net)
Merebaknya virus corona yang menghantam dunia kali ini, memberi dampak pada perubahan wacana geopolitik secara signifikan, setidaknya AS yang kini menjadi pusat kekuasaan dunia akan mengalami reorientasi dalam menekankan ambisi geopolitiknya untuk tetap menyandang sebagai negara kampiun demokrasi. Melalui pendekatan geopolitik terkini akan lebih mengedepankan sikap-sikap kebersamaan dan keseimbangan dengan mengesampingkan hirarki negara ke dalam satu gerakan dan interaksi terhadap isu lingkungan dan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks penanganan dan pembelajaran dari isu COVID-19, tidak satupun negara yang bisa bertahan secara mandiri untuk terus mamajukan dan mempertahankan kesinambungan ekonominya. Dengan meluasnya COVID-19, hubungan ekonomi antar-negara terganggu, sumberdaya mulai berkurang, lalu lintas dan interaksi manusia terbatas, sehingga “ketergantungan” menjadi dilema tersendiri dalam geopolitik global.
Esensinya adalah, isu COVID-19 sesungguhnya telah banyak membawa petaka dalam kehidupan manusia, sekaligus merombak pola interaksi manusia dan hubungan antar-bangsa dalam sistem dunia. Sementara kondisi buruk yang diperoleh saat ini kelak akan dapat merubah arah geopolitik global yang semakin longgar, dimana munculnya kesadaran negara “inti” versus negara “periferal” dalam memandang urgensi kolaborasi dan kerjasama yang setara tentang lingkungan dan kemanusiaan yang dapat mengurangi arti penting dari isu-isu kedaulatan dan kepentingan derivatif suatu bangsa.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Dr. Abdul Rivai Ras, Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia