Mungkinkah Indo-Pasifik Berpotensi Menjadi Mandala Konflik Regional?

BRORIVAI CENTER
Institute of Development Research and Social Response
Konten dari Pengguna
28 Agustus 2019 17:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Penulis, Abdul Rivai Ras di Depan Gedung Maluhia Hall, Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Honolulu-Hawaii dalam kegiatan Maritime Shared Awareness (MSA-V) dan Comprehensive Maritime Security Cooperation (CMSC 19-1), 28 Agustus 2019 - Foto Ist BRC.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Penulis, Abdul Rivai Ras di Depan Gedung Maluhia Hall, Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Honolulu-Hawaii dalam kegiatan Maritime Shared Awareness (MSA-V) dan Comprehensive Maritime Security Cooperation (CMSC 19-1), 28 Agustus 2019 - Foto Ist BRC.
ADVERTISEMENT
Kajian stratejik Indo-Pasifik menjadi menarik untuk ditelesuri dalam dinamika politik global hari ini. Wilayah Indo-Pasifik sesungguhnya merupakan zona maritim yang dikelilingi oleh Samudra Hindia dan Pasifik serta termasuk semua negara yang berada dalam spektrum di kawasan ini. Karena letaknya bernilai strategis dan sangat kental dengan isu geopolitik menjadikan kawasan ini mengandung ketidakpastian di masa depan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan utama yang menjadi mengemuka dan patut dijawab kemudian adalah “apakah Indo-Pasifik kelak dapat menjadi mandala konflik atau potensi kerjasama di masa depan?
Untuk membahas lebih lanjut, mari kita kenali lebih awal arti Indo-Pasifik dalam perspektif studi "Internasional Affairs", serta berikut tentang nilai penting yang terkandung di dalamnya.
Masih segar dalam ingatan 2017 lalu, Amerika Serikat (AS) telah mengadopsi konsep “Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka” (Free and Open Indo-Pacific/FOIP), dalam Strategi Keamanan Nasional-nya. Konsep tersebut menekankan prinsip kebebasan navigasi, supremasi hukum dan kedaulatan negara dalam wilayah tersebut.
Jepang, India, Australia dan AS kemudian ikut membentuk suatu kelompok strategis, dinamai “the Quad” untuk mengusung FOIP. Meskipun kelompok tersebut tidak secara eksplisit dibentuk sebagai suatu aliansi melawan pengaruh Cina, secara tidak langsung kelompok tersebut tampak juga ikut melaksanakan fungsi dan kebijakan AS.
ADVERTISEMENT
Faktanya pada 2017, Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono menyatakan bahwa the Quad berusaha untuk “menahan” Cina. Sebaliknya Cina bersikap meremehkan konsep Indo-Pasifik. Bahkan Menteri Luar Negeri Cina menyatakan bahwa ide tersebut akan “pupus bagaikan busa.”
Bahkan Cina tetap memulai tindakan mitigasi yang signifikan di wilayah timur Samudra Hindia karena kepentingan ekonomi di jalur komunikasi laut (rute perdagangan dan pertahanan) yang melintasinya.
Cina telah meningkatkan jumlah ekspedisi angkatan laut di bagian timur Samudra Hindia dan telah “mengelilingi” garis pantai India dengan menanamkan modal pada pembangunan beberapa pelabuhan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara seperti Bangladesh, Sri Lanka, Malaysia, dan Myanmar.
Karena itu, akan lebih tepat bila kita mengatakan bahwa kini hubungan AS-Cina telah mendapat tekanan dalam beberapa waktu terakhir. Situasi ini semakin menguat ketika Strategi Pertahanan Nasional AS menyebut Cina sebagai "pesaing strategis" pada masa mendatang.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya, pemerintah AS tidak segan-segan menyatakan bahwa Cina banyak melakukan mal praktik dalam bidang ekonomi khususnya praktik perdagangan yang tidak adil, pencurian kekayaan intelektual, peningkatan agresi militer, dan campur tangan dalam politik dalam negeri AS.
Di tengah memburuknya hubungan dan interaksi kedua negara ini, perhatian kembali mengarah pada pembangunan pengaruh pada wilayah yang sebelumnya berada di pinggiran atau negara-negara yang berada dalam lingkaran Asia dan Pasifik (Asia Tenggara, Asia Selatan, Pasifik Utara dan Oceania).
Kawasan ini telah menjadi arena yang dipertimbangkan secara strategis dalam beberapa tahun terakhir, sekaligus menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri AS. Disinyalir di masa depan, kawasan ini akan mungkin menjadi mandala untuk pertarungan kekuasaan “Indo-Pasifik” yang rawan konflik.
Pameran Kekuatan Laut Armada Pasifik AS dalam menghadapi Agresifitas Cina yang menjangkau kawasan Indo-Pasifik - Foto-Bloomberg News.
Bukti nyata ini dilukiskan dengan lahirnya "super-region" yang didefinisikan sebagai kawasan maritim yang sarat dengan dimensi politik keamanan, isu-isu sengketa perbatasan dan pemanfaatan sumber daya laut di dalamnya. Kawasan Indo-Pasifik juga disebut sebagai negara-negara pulau dimana mencakup kekuatan regional yang lebih besar dan berada di pelintasan samudera yang luas serta membentang dari Hindia ke Pasifik.
ADVERTISEMENT
Fakta ambisi geopolitik ini tidak terbantahkan, karena di barat, ada India, yang menganggap dirinya sebagai hegemon strategis wilayah Asia Selatan-Samudra Hindia. Sementara sebelah timur India, ada Cina yang sedang tumbuh yang berlomba-lomba untuk menjadi supremasi di Samudra Hindia.
Aktivitas di kawasan Laut Cina Selatan juga telah menjadi titik perdebatan sengit di masyarakat internasional. Lebih jauh ke timur, Jepang yang berada di tepi barat Pasifik yang dekat dan terjangkau di wilayah timur terikat kuat oleh AS, dan di selatan, Australia mengapit bagian selatan kedua Samudera.
Adanya kemajuan pembangunan dan semakin membaiknya kondisi ekonomi negara-negara Pasifik dalam satu dekade terakhir menunjukkan kesaksian atas kebijakan yang diamandemen dari negara-negara ini yang mencerminkan semakin pentingnya wilayah Indo-Pasifik.
ADVERTISEMENT
Pergeseran dalam pemikiran strategis yang berupaya menciptakan Samudra Hindia dan Pasifik yang kebetulan bersebelahan secara geografis tampak lebih jelas. Akan tetapi menarik untuk disimak bahwa sesungguhnya fokus kawasan “super” ini masih tetap menempatkan Asia sebagai center of gravity. Seperti yang dikemukakan Rory Medcalf, bahwa kawasan baru itu idealnya disebut sebagai “Indo-Pasifik Asia”.
Pergeseran ini mencerminkan perubahan geopolitik dunia di mana negara-negara Asia, secara individu dan dalam bentuk blok, memperoleh momentum strategis dan ekonomi, sehingga pada gilirannya menarik dan melibatkan “pemain global utama” ke wilayah tersebut.
Sebagai bukti konkrit, dalam dinamika pendanaan dan bantuan AS dalam waktu lima tahun ke depan bagi kawasan ini telah mengalokasikan $ 1,5 miliar dalam rangka program diplomasi, pengembangan, dan pertahanan regional.
ADVERTISEMENT
Pada Juli tahun ini, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan $ 113 juta mengucurkan dana baru untuk memperluas keterlibatan ekonomi di Indo-Pasifik, dan pada September mendatang akan berkomitmen untuk membantu dan bergabung untuk mengembangkan Fasilitas Infrastruktur Regional Pasifik.
Bagaimana dengan reaksi Cina? Tentu dapat ditebak bahwa reaksi politik Cina kelak akan muncul dengan gaya khasnya sebagai negara yang selalu mengembangkan strategi baru dengan mengkombinasikan pendekatan geo-politik dan geo-ekonomi secara simultan di kawasan ini.
Adanya kebangkitan “Indo-Pasifik” ini tentunya akan tidak hanya menawarkan kesempatan, tetapi juga penuh dengan tantangan dan bahkan mengarah pada ancaman tradisional bila tidak dapat dikelola secara baik.
Secara regional, Indonesia dan ASEAN akan ikut menghadapi pilihan-pilihan yang sulit dan tak terelakkan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana kemudian Indonesia dan negara-negara yang berada di lingkaran kawasan itu dapat mengarungi perairan tersebut secara positif agar berdampak terhadap masa depan mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Singkatnya bahwa, masa depan zona Indo-Pasifik sangat tergantung pada bagaimana menjadikannya kawasan ini sebagai arena kerjasama bagi kepentingan bersama (common interest) dalam menopang pertumbuhan ekonomi kawasan ketimbang sebagai mandala persaingan politik yang mematikan. (*)
Penulis: Abdul Rivai Ras, Alumnus Asia Pacific Center for Security Studies, (CMSC 19-1) Honolulu-Hawaii, AS.