Skenario Lockdown Pulau Jawa, Mungkinkah?

BRORIVAI CENTER
Institute of Development Research and Social Response
Konten dari Pengguna
28 Maret 2020 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari BRORIVAI CENTER tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Abdul Rivai Ras, Alumnus Asia-Pacific Center for Security Studies (DKI-APCSS), Honolulu, Hawaii dan Senior Manager for National Security Leadership, Elliot School of International Affairs George Washington University (GWU) Amerika Serikat (Foto Ist. BRC, Honolulu 2019).
zoom-in-whitePerbesar
Abdul Rivai Ras, Alumnus Asia-Pacific Center for Security Studies (DKI-APCSS), Honolulu, Hawaii dan Senior Manager for National Security Leadership, Elliot School of International Affairs George Washington University (GWU) Amerika Serikat (Foto Ist. BRC, Honolulu 2019).
ADVERTISEMENT
Seiring dengan semakin melebarnya penyebaran virus Corona (COVID-19) di Indonesia, skenario untuk melakukan penerapan lockdown menjadi alternatif guna mempersempit akses penyebaran COVID-19. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2018, istilah lockdown dimaknai sebagai aksi “karantina”. Artinya bahwa, bila diterapkan lockdown di Indonesia atau secara parsial misalnya di wilayah Pulau Jawa, maka masyarakat harus dikarantina, diisolir, dijauhkan dari pergerakan lalu lintas sosial yang umum.
ADVERTISEMENT
Pengertian karantina sendiri menurut UU tersebut terdapat beberapa macam yakni karantina rumah, karantina wilayah dan karantina rumah sakit. Dalam konteks karantina wilayah atau yang disebut lockdown merupakan tindakan untuk mengatasi penyebaran penyakit di antara masyarakat dan harus dilakukan penutupan wilayah untuk menangani wabah ini. Wilayah yang dimaksud akan dikunci dan diberi tanda karantina, dijaga oleh aparat, dan anggota masyarakat untuk tidak boleh keluar masuk wilayah yang dibatasi, dan kebutuhan dasar masyarakat wajib dipenuhi oleh pemerintah.
Ditinjau dari perspektif studi pertahanan, lockdown sesungguhnya merupakan upaya “optimum” dalam membangun stabilitas dan keamanan nasional terkait dengan serangan COVID-19 yang merebak secara masif, melintasi batas negara dan dapat mengganggu kepentingan nasional secara menyeluruh. Menurut Barry Buzan (1983) dalam bukunya People, States and Fear, memperkenalkan bahwa wabah penyakit (endemi) yang kemudian mewujud menjadi pandemi yang lazim disebut sebagai tipe ancaman keamanan non-tradisional mempunyai relasi dengan keamanan manusia (human security).
ADVERTISEMENT
Penyebaran, Kerugian dan Kebijakan
Secara global yang terjangkit virus Corona mencapai 199 negara/kawasan dan terkonfirmasi 446.915 kasus dan 21.031 meninggal. Sementara di Indonesia update mutakhir (26/03), sebaran kasus positif COVID-19 telah meluas hingga di 27 provinsi. Jumlah total yang terjangkit secara nasional terkonfirmasi lebih dari seribu kasus atau tepatnya sebanyak 1.046 kasus, dirawat 913, 87 meninggal dan 46 sembuh. Pulau Jawa adalah wilayah tertinggi angka positif Covid-19 dengan rincian; DKI Jakarta (598), Jawa Barat (98), Banten (84), Jawa Timur (66), Jawa Timur (59) dan Jawa Tengah (40). Secara khusus untuk DKI Jakarta, berdasarkan simulasi akan bisa mencapai 6.000 sampai 8.000 yang positif terjangkit COVID-19 dalam skenario terburuk apabila dalam penanganan yang tidak efektif.
Pulau Jawa sebagai Epicentrum Covid-19 (Sumber: Bisnis.com).
Dengan mewabahnya virus Corona tersebut, pada dasarnya menjadi ancaman serius bagi Indonesia dalam aspek pertahanan dan ketahanan nasional. Kerugian yang ditimbulkan berdampak pada kesinambungan pembangunan khususnya dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan keamanan. Dari sisi ekonomi misalnya, Indonesia tidak akan lepas dari keterkaitan dengan perkembangan ekonomi global akibat pandemi ini yang berdampak luas di hampir semua negara. Dampak kerugian ekonomi dinilai lebih besar jika dibandingkan dengan dampak perang dagang Amerika Serikat dengan Tiongkok. Diprediksi pertumbuhan ekonomi global akan menurun hingga 3%, dan bila pandemi masih akan tetap berlanjut, pertumbuhan ekonomi global hanya mampu tumbuh 1 sampai 1,5 persen. Sementara Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi sebagai akibat gangguan rantai suplai global, melemahnya permintaan dan layanan ekspor-impor, serta menurunnya aktivitas bisnis di segala bidang. Semua ini dapat menjadi faktor yang berkontribusi pada terjadinya resesi atau krisis.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dalam rangka menyelamatkan bangsa dari semua aspek kehidupan nasional, pemerintah mengambil kebijakan physical distancing (menjaga jarak aman), dengan memastikan kesehatan masyarakat lebih utama, dan sekaligus memastikan ekonomi tetap terjaga. Sejauh ini, kebijakan lockdown belum menjadi pilihan pemerintah dengan alasan bahwa setiap negara memiliki karakter, budaya dan disiplin yang berbeda-beda. Namun bila situasi terburuk kebijakan lockdown hanya dapat diambil oleh pemerintah pusat.
Skenario Alternatif Lockdown Pulau Jawa
Dalam skenario penanganan COVID-19, opsi kebijakan lockdown menjadi alternatif apabila kondisi penyebaran pandemi semakin memburuk. Masih terbuka ruang yang luas bagi pemerintah pusat untuk mengambil kebijakan lockdown bila dianggap sangat mendesak dan sebaran COVID-19 tidak dapat lagi terbendung, serta situasi dapat dinyatakan darurat bencana pandemi sebagai sebuah keputusan politik, dengan menerapkan protokol khusus. Kebijakan protokol ini diterapkan dengan lockdown terbatas dengan mengisolasi suatu wilayah dan atau melakukan darurat kebencanaan di seluruh wilayah yang penularan virusnya sulit ditekan dan eskalasinya semakin tinggi.
ADVERTISEMENT
Salah satu langkah awal bila memungkinkan adalah dengan menerapkan lockdown untuk fase pertama di Pulau Jawa, atas dasar wilayah ini tergolong sebagai epicentrum dalam sebaran COVID-19. Penerapan ini tentu dapat diambil dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugiaannya ditinjau dari aspek pertahanan dan ketahanan agar “stabilitas” dan “rasa aman” dapat terjamin. Konsekuensi dalam menerapkan lockdown tidaklah mudah sehingga perlu adanya pemetaan tehadap kondisi stabilitas yang mungkin muncul dan mengganggu semua aspek kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Adapun kemungkinan-kemungkinan kerugian dan risiko yang dihadapi dalam melakukan lockdown di wilayah Pulau Jawa sebagai berikut:
1. Aspek Ekonomi
Pulau Jawa adalah pusat pertumbuhan ekonomi dan transaksi nasional. Ekonomi Indonesia masih tergantung di Pulau Jawa, dan sekitar 59,03% produk domestik bruto (PDB). Bila memberlakukan lockdown atau penguncian di wilayah Pulau Jawa, maka sektor-sektor yang berhubungan dengan mobilitas masyarakat bisa terkena dampaknya di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui bahwa, kurang lebihi 70% pergerakan uang dalam perekonomian nasional berada di Jawa dan khususnya di DKI Jakarta. Akan sangat berisiko bila aktivitas perekonomian lumpuh karena melakukan lockdown. Selain itu, pasokan bahan baku pokok bagi masyarakat di Pulau Jawa maupun di Jakarta dan sebaliknya ke luar Jawa akan terhambat, utamanya dalam sektor pangan (termasuk isu pelarangan pengiriman produk-produk daerah/bahan pokok ke daerah lain). Jawa maupun Jakarta juga masih mengandalkan pasokan pangan dari luar daerah. Demikian halnya Pulau Jawa adalah penyumbang angka inflasi nasional terbesar (20%-30%), sehingga dapat menimbulkan kelangkaan barang dan berujung pada kenaikan harga secara lokal. Tercatat bahwa parameter ekonomi nasional berada di Pulau Jawa.
2. Aspek Sosial
ADVERTISEMENT
Masyarakat miskin di Pulau Jawa akan menjadi pihak yang paling terdampak dengan kebijakan ini. Pendapatan masyarakat kelas menengah ke bawah akan menurun apabila lockdown dilakukan. Masyarakat yang berada di garis kemiskinan kebanyakan merupakan pekerja di sektor informal, yang memperoleh pendapatan harian di luar rumah. Misalnya pengemudi ojek online (ojol) ataupun pedagang kaki lima, bila diterapkan lockdown mereka tentunya tidak bisa bekerja dan menghidupi keluarganya.
Kondisi buruk ini sesungguhnya dapat mendorong terjadinya perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah di kemudian hari. Banyak pekerja mengalami keputus-asaan sebagai akibat lockdown dan akhirnya memberanikan diri keluar rumah dan melakukan lintas batas wilayah karena khawatir kelaparan dan menanggung biaya hidup lainnya. Pada gilirannya situasi ini dapat melahirkan gejolak sosial dan instabilitas di tengah-tengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
3. Aspek Budaya
Dalam konteks budaya, opsi lockdown menjadi tantangan tersendiri. Karakter dan budaya masyarakat tergolong masih bersifat "kekeluargaan" dan selalu berkumpul (berkelompok), sehingga kebiasaan dan budaya tersebut sulit ditinggalkan. Penerapan lockdown sama dengan isolasi, berarti pemisahan-pemisahan suatu hal dari hal lain atau usaha untuk memencilkan manusia dari manusia lain. Disamping itu tata kehidupan terkait pembangunan manusia potensial dapat terganggu jika dilakukan lockdown, seperti beberapa sekolah, universitas, badan usaha, dan lainnya, termasuk tempat ibadah akan ditutup dan berhenti secara total. Aibatnya, dapat menghambat proses komunikasi, produksi dan interaksi (kecuali aktivitas online) yang kemudian merubah sistem nilai dalam budaya masyarakat.
4. Aspek Politik
Pulau Jawa, khususnya di DKI Jakarta adalah pusat administrasi pemerintahan yang menentukan kebijakan besar termasuk dalam mengatasi COVID-19. Sistem pemerintahan harus tetap berjalan di tengah-tengah kedaruratan yang ada dan terus harus mengontrol kekuatan dalam merespon ancaman pandemi ini. Bila wilayah Pulau Jawa ditutup atau diisolasi sangat memungkinkan munculnya politisasi dan gerakan politik praktis untuk melemahkan pemerintahan pusat, sebagai akibat terputusnya interaksi dan mobilitas antar-pulau. Langkah lockdown di Pulau Jawa memberi sinyal bahwa pemerintah tidak mampu meyakinkan publik untuk dapat mengambil sikap secara nasional, meskipun langkah awal lockdown dilakukan di Pulau Jawa atau Jakarta sebagai epicentrum Covid-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saat ini juga terjadi perbedaan pandangan dalam menerapkan kebijakan karantina dalam mengatasi COVID-19, dimana masing-masing pemerintah daerah melakukan kebijakan sendiri-sendiri yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat sehingga dapat menimbulkan krisis dalam manajemen pemerintahan nasional. Demikian halnya seiring dengan adanya peningkatan jumlah kasus yang signifikan akhir-akhir ini tentunya akan membuat publik merasa semakin terancam dan melahirkan perasaan tidak aman. Implikasinya, masyarakat baik di Pulau Jawa maupun di luar Jawa bukan tidak mungkin dapat memengaruhi dinamika politik di Indonesia.
5. Aspek Keamanan
Akumulasi dari semua aspek tersebut, dapat melahirkan kecemasan yang dirasakan masyarakat Indonesia. Macetnya roda ekonomi, gejolak sosial, tekanan budaya dan ketidakstabilan politik menjadi dilema dalam menjaga stabilitas kehidupan nasional. Penanganan masalah COVID-19 dengan melalui berbagai kebijakan nasional termasuk upaya menerapkan skenario lockdown khususnya di Pulau Jawa dapat mendorong munculnya potensi kerawanan dan melemahkan ketahanan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, dengan melokalisir wilayah Pulau Jawa dalam praktek lockdown sangat mengandung risiko bila tanpa mempertimbangkan secara matang dan komprehensif. Mengambil keputusan lockdown yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang tidak terukur dapat berimplikasi negatif. Karena bagaimanapun Pulau Jawa adalah parameter keamanan dan ekonomi nasional, yang dapat menjadi sumber inspirasi dan tuntutan pemerintah daerah untuk melakukan lockdown lokal secara sepihak karena preseden penerapan pemerintah pusat terhadap kebijakan karantina Pulau Jawa.
Pentingnya Kebijakan Relevan
Dengan alasan keamanan, pertahanan dan ketahanan, kepemimpinan nasional dalam mengatasi COVID-19 terkait opsi pengambilan keputusan kebijakan lockdown di Wilayah Pulau Jawa sebaiknya dipertimbangkan secara terukur. Terkait penekanan Presiden R.I. Joko Widodo, dengan menerapakan physical distancing adalah pilihan yang moderat.
ADVERTISEMENT
Di tengah keterbatasan pemerintah, pemberdayaan institusi pertahanan terus mendukung upaya kebijakan pemerintah melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) melalui pemanfaatan infrastruktur rumah sakit atau sumber daya militer di bidang kesehatan termasuk tenaga medis, dan terus ikut serta mengawal kebijakan pemerintah dalam menjaga jarak aman sebagai langkah preventif.
Pemerintah harus terus memastikan kesehatan masyarakat menjadi yang utama, melakukan penegakan hukum dan penertiban masyarakat untuk memberi rasa aman dan menjaga stabilitas, serta memastikan roda ekonomi tetap terjaga, meskipun terbatas. Demikian halnya, pemerintah juga segera menyiapkan Contingency Plan, sewaktu-waktu dalam keadaan mendesak dibutuhkan langkah antisipasi. Termasuk dalam upaya memperkuat keamanan nasional dan ketahanan di semua sektor kehidupan. Misalnya menyiapkan konsep protokol khusus, dengan mengisolasi wilayah dan memberlakukan darurat militer kebencanaan di seluruh wilayah yang penularan virusnya yang sulit ditekan dan dapat mewujud sebagai ancaman nyata pertahanan negara dan ketahanan nasional.
ADVERTISEMENT
Penulis:
Dr. Abdul Rivai Ras, Pengajar Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia dan Pendiri Universitas Pertahanan