Anak-anak Penjual Bendera

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
13 September 2020 18:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak memegang bendera merah putih Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak memegang bendera merah putih Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Menyaksikan anak-anak yang mau berjualan koran, aksesoris, kue, bendera Merah Putih dalam ukuran mini dan lain sebagainya di jalanan seperti lampu merah, saya ikut prihatin dan bangga. Prihatinnya, idealnya seusia mereka, atmosfer edukasi dan bermain yang dinikmatinya, dan bukannya bekerja. Bangganya, mereka tidak malu jalani hidup dengan pekerjaan klas “blue collar” dengan prinsipnya yang penting halal.
ADVERTISEMENT
Membandingkan dengan anak-anak itu, saya teringat dengan sejumlah anak-anak yang bermasalah dengan hukum (sebagaimana diberitakan beberapa waktu lalu oleh beberapa media) akibat melakukan pencurian terhadap bendera merah putih, yang kemudian dilanjutkan dengan menjual hasil curian ini dan digunakan untuk memenuhi keperluannya.
Mereka sekarang menjadi segmentasi sistem peradilan pidana (criminal justice system) sebagai kumpulan anak yang dituntut pertanggungjawabannya secara hukum. Pertanggungjawabannya ini untuk memenuhi prinsip konstitusionalitas, bahwa siapa pun yang jadi pelanggar hukum harus diperlakukan sederajat di depan hukum,
Dari kasus itu logis jika memunculkan pertanyaan, apa anak-anak yang terlibat pencurian dan penjualan bendera negara itu tidak “cemburu” dengan anak-anak yang berjualan di pinggir jalan demi mempertahankan hidupnya? Apa dalam dirinya sudah mengidap krisis keindonesiaan sampai tega menjual “barang berharga” bangsa itu.
ADVERTISEMENT
Kalau soal anak-anak yang bermasalah dengan hukum di negeri ini sangat banyak dan variatif, sehingga sejumlah anak pencuri bendera itu hanya melengkapi fenomena tentang “sedang” tersesatnya sebagian kader bangsa di jalan yang salah.
Saya yakin dalam diri anak itu tidak ada maksud melecehkan marwah negara hukum dengan mencuri dan menjual bendera merah putih, tetapi mereka barangkali hanya ingin memenuhi (memuaskan) kepentingan sesaatnya. Mereka tetaplah kader-kader yang nasionalistik, namun sedang tersesat di jalan yang salah.
Yang perlu atau harus kita lakukan adalah, bagaimana supaya anak-anak seusianya tidak terjerumus menjadi penerabas hukum? Bagaimana pula mereka bisa menjaga marwah bendera merah putih sebagai “kekayaan mulia” yang harus dijaga dengan segenap jiwa raganya?
Dalam ranah itu, yang seharusnya paling bertanggung jawab untuk menjawab pertanyaan itu adalah keluarga (orang tua). Mereka memang bisa disalahkan karena bergaul dengan teman-temannya yang berandalan, tidak kenal etika, dan tidak takut melanggar hukum, namun akar kriminogen primer yang membuatnya menjadi pelanggar hukum adalah orang tua atau keluarganya.
ADVERTISEMENT
Akar itu sejalan dengan bunyi pepatah yang menyebutkan “evil causis evil vallacy”, yang maknanya sesuatu yang buruk itu disebabkan oleh kondisi buruk yang mempengaruhinya. Anak-anak jadi pelanggar norma karena dalam perkembangan hidupnya sering mengalami atau dihadapkan dengan banyak pelanggaran, yang tingkat pelanggarannya lebih berat dan serius, sehingga layak jika mereka kita tempatkan sebagai subyek bangsa yang sedang khilaf atau “baru” belajar mengenal arti pelanggaran hukum secara empirik.
Selain itu, kita dapat membaca fenomena, bahwa kehidupan mereka (anak-anak) jauh dari merasakan kebahagiaan, keharmonisan, kesejahteraan, dan keselamatan. Dalam kehidupan yang dijalaninya masih banyak menghadapi kondisi yang kurang memproteksi pertumbuhan atau perkembangan fisik, psikis, edukatif, hingga spiritualitasnya, yang membuatnya mengalami ilabilitas psikologis (emosi).
ADVERTISEMENT
Banyak di antara anak-anak kita yang kehilangan hak asasinya. Hak belajar yang progresif, berteman yang baik, pengembangan diri, berinovasi dan berkreasi, bermain yang menyenangkan psikologis, dan lainnya, kurang atau tidak diperolehnya. Dalam situasi tertentu. mereka bahkan terkadang tidak ubahnya mesin, robot, atau sosok mekanistik, yang membuatnya seolah sudah kehilangan semua yang “menantang” berinovasi dan berkreasinya, sehingga bisa saja mereka mencoba melakukan “kreasi” yang berbobot melanggar hukum.
Atmosfer hidup yang dijalani anak-anak itu identik dengan kondisi yang jauh dari membuatnya bisa hidup lebih dinamis, kompetitif, progresif, humanis, demokratis, dan mencerdaskan diri. Mereka memang masih punya sesuatu yang menantang seperti pandemi COVID-19, namun mereka teralinasi dari kondisi yang membuat hidupnya bisa lebih “bernilai”.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah itu, keluarga identik diingatkan, bahwa dalam perjalanan membentuk anak-anaknya masih menyisakan lubang, yang membuatnya tergiur memasukinya. Keluarga sudah membentuk, tapi kurang atau belum berjalan yang seirama dengan perkembangan ekologi kulturalnya.
Keluarga itu diingatkan Gabriela Mistral (Pemenang Hadiah Nobel Sastra tahun 1945) “banyak kekhilafan dan kesalahan yang kita perbuat, namun kejahatan kita yang paling nista adalah kejahatan mengabaikan anak-anak kita, melalaikan mata air hayat kita. Kita bisa tunda berbagai kebutuhan kita. Kebutuhan anak kita, tak bisa ditunda. Pada saat ini, tulang-belulangnya sedang dibentuk, darahnya dibuat dan susunan sarafnya tengah disusun. Kepadanya kita tidak bisa berkata “esok”. Namanya adalah “kini”
Mistral melontarkan kritik serius, urusan anak, janganlah ditunda, janganlah lupa dibaca dan dicerna pertumbuhannya, kecuali kita (keluarga) sudah menyerahkannya pada zaman yang membentuknya, mau liberal, kriminal, ataukah saleh?
ADVERTISEMENT
---
Abdul Wahid
Dosen FH UNiversitas Islam Malang, penulis buku, dan pengurus AP-HTN/HAN