Masifikasi Gerakan “Membunuh”

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
20 Juni 2021 6:34 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
foto penulis
zoom-in-whitePerbesar
foto penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Abdul Wahid
Pengajar Pascasarjana Universitas Islam Malang,
PP AP-HTN/HAN dan penulis buku
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo pernah beberapa kali meminta rakyat negeri ini supaya tidak takut menghadapi teroris. Ini maknanya, teroris atau segala bibit-bibitnya harus kita babat sampai ke akar-akarnya atau kita masifikasikan gerakan untuk “membunuhnya” kapanpun dan dimanapun.
Jika dibaca dari sisi pola dan sasarannya, kasus teroris yang terjadi selama ini sejatinya tergolong sebagai kejahatan sangat istimewa (exstra ordinary crime), sehingga melakukan masifikasi gerakan bertajuk membuatnya mati itu wajar dan seharusnya, pasalnya banyak bibit unggul (anak) bangsa ini yang diseretnya jadi martil aksi radikalistiknya.
Diantara korban dalam suatu pengeboman misalnya, anak yang didesain jadi agen terorisme atau mobilisator di lapangan ini terlempar akibar ledakan bom itu. Nyatanya, seseorang (anak) yang masih berusia dini, yang seharusnya lebih dominan diakrabkan dengan tata pergaulan yang ramah dan mengasihi, dan bukan dunia yang mendehumanisasikan, akhirnya dipaksa atau “dididik” kuat jadi penyebar dan penyubur teror
ADVERTISEMENT
Pertama, pola meledakkan bom, dapat menciptakan ketakutan publik yang serius. Bagi publik, bom merupakan instrumen membunuh yang mengerikan atau instrumen perang yang bisa menciptakan destruksi massal.
Ketika seseorang mendengar atau menyaksikan ada ledakan bom, pikirannya tertuju pada terbentuknya atmosfir mengerikan atau ketidakadaban dalam bentuk bangunan rusak berat, mayat berserakan, atau anatomi tubuh manusia sulit dikenali, dan berbagai bentuk kondisi yang menyayat.
Itu juga dibuktikan dengan terbentuknya kondisi massa berlarian dan bisa saling menginjak begitu mendengar seruan atau kata-kata “ada bom’. Akhirnya kondisi menjadi kacau (chaos). Maisng-masing elemen sosial berusaha menyelamatkan diri, apapun caranya.
Kita pernah diingatkan Napoleon Banoparte, bahwa di tengah suasana masyarakat yang kacau, hanya kaum “bajinganlah” yang beruntung. Para bajingan bisa memproduksi politik teror atau meneror kehidupan masyarakat untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
ADVERTISEMENT
Mereka yang berniat melakukan kriminalitas atau mencari keuntungan, bisa menjalankan modus operandinya dengan lebih mudah ketika teror sedang atau pada saat konstruksi kehidupan bermasyarakat danbernegara berkondisi ringkih akibat keragaman kekacauan.
Para produsen teror bisa melakukan rekayasa dalam mengolah sedikit atau beberapa kelemahan elemen masyarakat, yang kemudian kelemahan ini dikelola atau dikembangkan untuk menjadi “amunisi” dalam menciptakan dan mengembangkan teror supaya lebih cepat diterimanya (masyarakat).
Kedua, target utama yang harus dibaca secara cerdas oleh publik adalah peledakan pada obyek vital seperti rumah atau tempat ibadah. Dalam kasus peledakan bom demikian kita baca bahwa pelaku atau kekuatan dibelakangnya tidak sebatas berkeinginan mendestruksi kedamaian beragama umat tertentu, tetapi punya misi besar dalam menciptakan konflik serius antara pemeluk agama di Indonesia supaya kebinekaan umat beragama terkoyak.
ADVERTISEMENT
Rasionalitasnya, bisa jadi dalam skenario pengebom dan “komunitasnya”, antara pemeluk Islam dengan Kristen dan pemeluk agama lainnya dihadapkan pada kondisi vis a vis secara berkelanjtan supaya diantara mereka menjadi kekuatan soaial yang saling bermusuhan dan menghancurkan atau saling menghabisi.
Pernyataan Hakim (2015) membenarkan, bahwa kelompok eksklusif dan radikalis beragama tidak menyukai kalau antar pemeluk agama yang berbineka di negeri ini bisa menjalani kehidupan dalam ranah kedamaian. Mereka menginginkan supaya tidak hidup saling berdampingan dalam kedamaian dan persaudaraan.
Tesis yang ditulis Luqman itu menunjukkan pada kita, bahwa pelaku teror itu “predator” sejati dalam menciptakan disharmonisasi antar pemeluk agama. Mereka tidak menginginkan suatu pemeluk agama menerima dan mengakui eksistensi pemeluk agama lainnya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, produsen teror itu berhasrat mendapatkan pengakuan publik, bahwa negara telah gagal melindungi warganya. Melalui teror yang dilakukan, para pelaku bermaksud menunjukkan pada public, bahwa negara ini tidak benar-benar serus dalam memedulikan keselamatan warganya.
Oleh para pelaku teror, negara diposisikan sebagai subyek yang gagal, karena tidak mampu menghadapi berbagai bentuk kekerasan atau distatuskan sedang gagal mewujudkan atmosfir mendamaikan dan menyelamatkan warganya..
Mereka (penyebar teror) itu menginginkan supaya negara di mata rakyatnya bukanlah organisasi yang kuat dan dicintainya, tetapi sebagai organisasi yang lemah dan mementingkan dirinya sendiri.
Kalau negara sampai dibenci oleh rakyatnya, maka negara ini tak ubahnya suatu bangunan, meski secara ragawi masih masih menjulang tinggi, namun sebenarnya kropos. Negara ini ditunjukkan oleh para pelaku teror terbatas sebagai organisasi yang eksklusif dan mementingkan dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Menyikapi itu, negara dan masyarakat (pemeluk agama) berkewajiban mendisain sikap kooperatif yang serius dalam melawan segala bentuk terror. Sikap kooperatif antara rakyat ini akan menjadi benteng yang sangat kuat dalam menghadapi atau mengalahkan setiap pelaku teror.
Pelaku teror tidak akan terus bermunculan atau mengembangkan “kreatifitasnya” dalam memproduksi dan melnggengkan berbagai terornya, bilamana para pemeluk agama mengembangkan pemahaman tentang kebermaknaan kesetiakawanan (nilai-nilai kooperatif) dalam keragaman dan keragaman dalam kesetiakawanan.
Negara dan rakyat itu harus paham pesan Cicero yang menyebutkan, bahwa kebaikan bagi orang banyak adalah hukum tertinggi. Siapa saja elemen negara atau pemeluk agama yang berlomba berbuat baik, adalah identik dengan melaksanakan hukum tertinggi di dunia.
Kebaikan bagi orang banyak sudah demikian sering disigkirkan atau digilas oleh sebagian kecil orang yang mengklaim diri dan kelompoknya sajalah yang paling benar dan berhak memegang kunci surga. Truth claims tidak selayaknya dijadikan parameter untuk mengabsahkan teror demi teror.
ADVERTISEMENT
Supaya kita termasuk sekumpulan orang yang melaksanakan dan mengembangkan hukum tertinggi (kebaikan), maka sekelompok orang yang memproduksi teror, haruslah kita lawan bersama-sama supaya jadi “layu sebelum berkembang”.
Setiap pemeluk agama apapun, wajib mencerdaskan dirinya, bahwa berbuat baik kepada orang lain merupakan “ibadah universal” yang bisa menghadirkan kebahagiaan dan kebahagiaan dalam keragaman. Tidak boleh terjadi, karena keragaman dan “perbedaan” visi dengan negara atau dimensi teologis dengan pemeluk agama tertentu, lantas teror diberikan kesempatan secara liberal untuk menghancurkan,