Memerdekakan Kurikulum

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
28 September 2020 7:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendikbud Nadiem Makarim saat rapat kerja bersama Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8). Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Mendikbud Nadiem Makarim saat rapat kerja bersama Komisi X DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (27/8). Foto: Puspa Perwitasari/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
“Bangsa hebat adalah bangsa yang tidak kenal berhenti dalam belajar sejarah,” demikian ungkap Frederick Nick, yang sejatinya mengingatkan, bahwa sudah banyak bangsa-bangsa di muka bumi ini yang melahirkan banyak generasi hebat yang sukses menorehkan tinta emas, yang kesuksesannya ini tidak lepas dari kemauan dan kemampuannya dalam membaca dan meneladani para pendahulunya sebagai literasi historis, khususnya yang berhasil dalam memberikan teladan norma dan berkarya demi memberikan yang terbaik untuk peradaban.
ADVERTISEMENT
Itu mengidentikkan kalau generasi pendahulu di jalan lurus dijadikannya sebagai “adrenalin” moral untuk membangun mental kenegarawanan atau kecendekiaan generasi kekinian, komunitas milenialistik, atau siapa pun subyek bangsa, yang sebagian sedang bergulat di dunia pendidikan dengan segala dinamikanya.
Itu menunjukkan, bahwa generasi kontemporer ini tidak mengabaikan, apalagi sampai “mengamnesiakan” apa yang sudah diperbuat generasi terdahulu, apalagi yang sudah berusaha sekuat tenaga dan pikiran dalam menghadirkan atau mengeksistensikan berbagai teori dan temuannya yang sudah memberikan banyak kontribusi bagi para subyek edukasi, ekonomi, budaya, agama, dan lainnya yang hidup sesudahnya.
Deskripsi itu menunjukkan, bahwa ada banyak generasi pendahulu yang sukses menunjukkan sikap integritas moral, inteletktualitas, spiritualitas, atau jiwa nasionalismenya. Di antara mereka ini, banyak yang sungguh-sungguh berkreasi dan berinovasi, serta sangat militan dalam mementingkan pengabdiannya untuk “bumi Pendidikan” daripada mencari kepuasan instan dan hedonis hanya demi diri sendiri atau komunitas eksklusifnya.
ADVERTISEMENT
Mereka itu banyak menghasilkan karya dari “jihad intelektualitasnya” demi membangun peradaban bangsa yang di antaranya dimulai dari dunia pendidikan. Mereka mengajar suatu pelajaran tertentu atau mata kuliah, yang barangkali sebelumnya tidak seberapa dikenal dan disukainya, yang kemudian karena tuntutan Tri Dharma Perguruan Tinggi, mereka kompeten, yang diindikasikan dengan kemampuannya dalam metodologi mengajar, mengembangkan (memprigresifitaskan) substansi mata pelajaran tertentu, dan kapabel dalam menghadirkan sumbangsih dalam pencerdasan dan pencerahan di ranah khasanah keilmuan. Masalahnya, masih kah dengan perkembangan “egoisme sektoral”, inestasi edukasi yang (masih) akan berguna dari zaman ke zaman ini akan dipertahankan?
Sebagai refleksi kita bersama: Kementerian Pendidikan Nasional gencar menyampaikan (mensosialisasikan) kurikulum merdeka. Ide besar ini disampaikan berelasi dengan dalih kalau selama ini dunia pendidikan telah menjadi dunia represif, dunia eksklusif dan otoritatif yang membuat subyek didik kehilangan kemerdekaan belajarnya.
ADVERTISEMENT
Ide merdeka belajar itu “menggelegar” sebelum Covid-19 menyerbu negeri ini, alias pasca tidak lamanya Pak Nadiem Makarim dilantik jadi Menteri. Ide ini kemudian hingga sekarang berimplikasi pada “revolusi kurikulum”. Hampir setiap lembaga pendidikan terseret dalam arus keharusan mengubah kurikulumnya.
Kesan yang kemudian mencuat, kurikulumnya jadi kehilangan kemerdekaan, karena diseret sana-sini, diblejeti, atau “ditelanjangi” yang seolah bahwa dirinya (kurikulum) inilah yang membuat “dosa serius” terhadap dunia pendidikan atau merampas kemerdekaan subyek didik. Benarkah kurikulumnya ini yang menghadirkan “kolonialisme” pada subyek didik?
Dalam Pasal 1 angka (19) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
ADVERTISEMENT
Ketentuan itu jelas menunjukkan, bahwa kurikulum masih sebatas sebagai wujud pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran, sehingga namanya pedoman, tentulah membutuhkan banyak aspek pendukungnya yang bisa menopangnya supaya bisa berkembang atau didinamisasikan dalam mencapai idealisme edukatif.
Hal itu setidaknya dapat terbaca dalam tujuan Pendidikan tinggi sebagaimana digariskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, bahwa a. idealisme Pendidikan Tinggi adalah demi berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa; b. dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa.
ADVERTISEMENT
Idealisme itu sangat “plutralistik”. Seseorang akan menjadi apa atau dijadikan seperti sosok yang bagaimana dalam proses pembelajaran, tidak selalu seperti yang kita ekspektasikan saat dirinya jadi out put. Kita mendiskusikan suatu “pedoman” yang bernama kurikulum yang seolah kita sedang akan membuat “kitab suci”, yang kelak bisa saja kita malu sendiri akibat kita terseret mengabsolutkannya lewat asumsi kalau kurikulum inilah yang akan membuat masa depan subyek didik (mahasiswa) jadi “dewa” di zamannya.
Ketidakmerdekaan” kurikulum itu mengakibatkan kita terperosok pada klaim kebenaran (truth claims), bahwa bidang (keilmuan) tertentulah yang paling layak dipertahankan (dieksistensikan), sementara yang lainnya harus dieliminasi yang seolah telah membuat “dosa besar” di dunia Pendidikan tinggi, padahal kita tidak tahu atau paham kalau yang kita eliminasi itu sudah memberikan yang terbaik pada subyek didik terdahulu dan kini.
ADVERTISEMENT
Pengajar Fak Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Malang, Penulis buku Hukum dan agama. Pengurus AP-HTN/HAN