Mencegah Demokrasi Ambyar

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
18 Oktober 2020 9:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar animasi demokrasi ambyar
zoom-in-whitePerbesar
gambar animasi demokrasi ambyar
ADVERTISEMENT
Oleh: Abdul Wahid
Dalam diskusi dengan beberapa kawan di Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dan HAM yang bertemakan “Marwah demokrasi saat Pandemi”, ada salah satu titik tekan yang disampaikan, bahwa demokrasi harus tetap dijaga, meski kondisinya darurat, pasalnya tidak boleh sampai terjadi kesejatian demokrasinya yang mencapai titik darurat, apalagi sampai ambyar.
ADVERTISEMENT
Sebagian konklusi itu meminta supaya hukum bisa menjadi instrumen yang tepat dan benar untuk mengawal demokrasi. Akan menjadi “dosa besar” atau ketidakadaban yang serius bagi hukum jika demokrasi sampai didestruksi dengan cara-cara kriminalistik atau ditelanjangi oleh banyak pihak dan kepentingan yang sekadar menggunakan label, stigma, atau justifikasi rakyat yang mengakibatkan demokrasi jadi ambyar.
Demokrasi itu jelas kesejatiannya terletak pada kepentingan asasi rakyat, sehingga logis jika bukan hanya pembelajar demokrasi yang harus kokoh dan gencar memperjuangkannya, melainkan juga setiap subyek bangsa, khususnya pihak-pihak yang mendapatkan kepercayaan untuk mengawalnya.
Atas dasar itu kepentingan besar dan mulia itu, mengawal perwujudan demokrasi jelas bukan hanya miliknya para penyelenggara pemilu atau pilkada dan badan-badan yang mendapatkan amanat mengawasinya, tetapi kewajiban semua komponen bangsa. Maknanya, semua subyek bangsa bertanggung jawab memprevensi supaya demokrasi tidak ambyar
ADVERTISEMENT
Perwujudan demokrasi sendiri juga tidak bisa ditempatkan sebagai urusan “pestanya” dan regulasinya, pasalnya kepentingan asasi rakyat di luar menggunakan hak pilih atau hak-hak berpolitik lainnya, sangatlah banyak, yang ke semua ini mencerminkan kehakikian demokrasi. Kalau hanya pada saat pesta Pilkada misalnya, maka demokrasinya masih bersifat temporer.
Jika dikerucutkan pada ranah yuridis sesuai dengan relasi eksistensi negara hukum, maka setidaknya kepentingan perwujudan demokrasi terletak pada realisasi konstitusionalitas yang bisa dinikmati oleh masyarakat, baik di saat negara dalam kondisi normal maupun sulit seperti sekarang akibat pandemi COVID-19.
Pakar hukum Purbacaraka dalam bukunya Disiplin Hukum juga mengingatkan bahwa dalam negara hukum tidak bisa dilepaskan dari esensi negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum diangkat, dan merupakan respons dari aspirasi rakyat, sehingga hukum haruslah dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Dalam ranah filosofi itu mengisyaratkan, hukum yang demokratis bermaknakan sebagai hukum yang bukan hanya sejiwa dengan kepentingan masyarakat, tetapi sebagai hukum yang oleh negara bisa dimediasi atau dilabuhkan sebagai norma yang mengejawentah yang mampu memberikan manfaat demi dan untuk rakyat dalam kondisi apa pun secara egaliter, berkemanusiaan, dan berkeadilan.
Untuk bisa menjadi hukum dalam ranah populis-humanis atau memberi manfaat publik tersebut, elemen negara (aparat penegak hukum) menjadi kuncinya. Elemen ini bisa membuat hukum jadi bernyawa atau menunjukkan keistimewaannya seperti melindungi, memenuhi, menegakkan, dan memberdayakan, dan sebaliknya bisa menghadirkan dan ”menyuburkan” (melanggengkan) penderitaan bagi rakyat, pencari keadilan atau buruknya wajah negara.
Elemen fundamental itu sejatinya merupakan pelaku utama yang memainkan peran sangat vital dan privilitas bagi terwujudnya idealisme penegakan hukum (law enforcement) dan keadilan secara demokratis. Di tangannya, negara (melalui amanat konstitusi) sudah mempercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan menjadi “hak milik” seseorang, masyarakat, atau negara (rakyat) yang memang seharusnya berhak menerimanya.
ilustrasi pixabay.com
Memang bisa dirasakan beratnya menegakkan norma yuridis bernyawakan atau berbasiskan demokrasi oleh aparat penegak hukum, apalagi di masa pandemi COVID-19, pasalnya berlaku otoritarian untuk atau demi legalitas yuridis, sehingga berkecenderungan represif, akan membuat rakyat yang sedang kesulitan ini bisa secara psikologis merasa semakin dipersulit atau diterpurukkan dalam ranah ketidakberdayaan.
ADVERTISEMENT
Ketika negara sedang menjalankan norma yuridis, aparat yang menjadi pemangku amanatnya ini tidak boleh sampai terjerumus dalam otoritarianisme. Yang jadi objek pemberlakuan norma adalah rakyat atau cermin kesejatian negara hukum demokratis, sementara yang dibutuhkan dalam ranah asasi bagi rakyat sangatlah banyak, sehingga membuat mereka mematuhi norma juga membutuhkan dukungan pemenuhan kepentingan asasinya yang lain, di samping penegakan norma saat ini menuntut kearifan, khususnya dari kalangan pemangku profesi hukum di lapangan.
Komunitas pemangku profesi hukum itu memang pemegang marwah produk hukum, akan tetapi produk yuridis ini haruslah disenyawakan atau “dibahasakan” dengan benar, humanistik, dan berkeadilan di saat rakyat membutuhkan proteksi asasinya supaya demokrasi tidak sampai ambyar.
Pengajar program pascasarjana Ilmu Hukum Unisma Malang dan Pengurus AP-H
ADVERTISEMENT