Paradigma Ilmu Versus Ilmu

Abdul Wahid
Pengajar FH Universitas Islam Malang dan penulis buku Hukum dan Agama
Konten dari Pengguna
19 September 2021 6:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Wahid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Teroris Foto: Flickr / malatyahaber44
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Teroris Foto: Flickr / malatyahaber44
ADVERTISEMENT
Ilmu pengetahuan sering kali bisa berposisi berhadapan sebagai lawan ketika bidang atau aspek dan pengembangannya berbeda atau dikaitkan dengan misi tertentu yang berelasi degan diversifikasi asumsi dan temuan.
ADVERTISEMENT
Misalnya dapat terbaca dewasa ini, bahwa setidaknya ada kecenderungan, rata-rata usia teroris dari waktu ke waktu bergeser ke usia dini. Kelompok yang menamakan dirinya Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) yang dipimpin Abu Hanifah yang mempunyai keahlian merakit bom, rata-rata anggotanya berusia muda, 21-35 tahun.
Dilihat dari sisi usia itu, jaringan terorisme terbaca sebagai organisasi yang sukses melakukan pembibitan atau kaderisasi. Keahlian merakit bom dalam usia produktif dapat ditafsirkan sebagai keberhasilan melakukan perekrutan dan pembinaan. Jaringan ini terbilang hebat dalam mengonstruksi mentalitas anak-anak muda untuk menjadi mesin organisasi. Begitu tim perekrut atau pencari kader sukses mendapatkan bibit-bibit unggul, mereka langsung memasukkannya ke “sekolah khusus” yang dimilikinya.
Kalau pembibitan itu berlanjut di negeri ini, maka kita akan terus menyaksikan berbagai bentuk gerakan ekstremis dan ledakan bom di mana-mana. Keahliannya selama dimasukkan ke “sekolah” teroris, tinggal dipraktikkannya.
ADVERTISEMENT
Status masyarakat yang menjadi zona utama eksperimennya akhirnya jadi korbannya akibat menerima luka atau bencana nasional, atau jadi pagelaran cerita menyayat hati mengenai kekejaman manusia atas manusia lainnya, atau dehumanisasi yang berdaulat dan mudah dijadikan opsi.
Tragedi seperti itulah yang pernah dikritik keras atau dipertanyakan oleh guru besar kriminologi JE Sahetapy, mengapa bangsa yang katanya berbudaya, berbudi luhur, ramah, tamah, sopan, santun, religius, tolong-menolong, gotong royong, atau katanya sangat toleran ini berubah menjadi bangsa atau masyarakat yang homo homini lupus, anarkis, brutal dalam hampir seluruh bidang kehidupan, dan strata.
Ironisnya lagi, yang melakukan gerakan ekstremis atau terorisme itu adalah generasi muda, yang tentu saja masih berusia produktif, suatu usia yang selayaknya bermanfaat untuk melakukan aktivitas yang berpola memberikan yang terbaik bagi bumi pertiwi atau sesamanya.
ADVERTISEMENT
Konstruksi terorisme yang terletak pada keberhasilan melakukan kaderisasi, di antaranya dapat dikalahkan dengan cara melakukan dekonstruksi terhadap pola perekrutan dan pembinaan yang dilakukan para “pendidik”-nya. Selama pola ini tidak kita jadikan sebagai target privilitas politik jihad melawan terorisme, maka terorismenyalah yang tetap akan menjadi pemenangnya. Kaki organisasi terorisme dipercayakan pada sistem masifikasi kaderisasinya yang tidak pernah kehabisan kader yang membela dan mendukungnya.
Secara a contrario, kemenangan terorisme tersebut mengidentikkan kekalahan negara dan orang tua (keluarga), pasalnya keduanya adalah pilar elementer penyelenggaraan pendidikan anak. Ketika anak terseret dalam jaringan organisasi teroris, berarti sistem atau pola pembelajaran (pendidikan) yang dilaksanakan negara dan orang tua kurang diminati atau dialinasikan anaknya (kadernya). Anak lebih tergiur memilih yang sejalan dengan emosi dan pikirannya.
ADVERTISEMENT
Dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan, bahwa penanggung jawab penyelenggaran pendidikan, di antaranya adalah keluarga dan pemerintah (Negara). Keduanya menentukan berhasil tidaknya transformasi nilai-nilai edukasi memasuki ruang sensitif dalam diri anak.
Ketika penyelenggaraan pendidikan (formal) di sekolah, yang merupakan kepanjangan tangan diskresi pemerintah, lebih dominan mengedepankan model borjuisme, diskriminanisme, atau mengutamakan kapitalisme, maka di satu sisi, selain model demikian bisa disambut oleh anak didik sebagai ajang pembenaran elitisme, juga di sisi lain dapat menimbulkan kekecewaan luar biasa pada anak didik yang di dalam dirinya tidak menyukai pola yang diberlakukan formal-represif atau dipaksakan sebagai produk neotiranisme atas nama otoritas pemerintah.
Dari kekecewaan itu dikembangkan oleh anak didik dengan cara memunculkan perlawanan, baik secara terbuka maupun diam. Perlawanan secara terbukanya ditunjukkan dengan cara memprotes atau menggelar demontrasi, sedangkan cara diam-diamnya dilakukan dengan menerima ajakan kelompok lain (teroris) yang secara gradualitas memberikan pemahaman tentang keadilan, ketertindasan, dan diskresi pemrjinalan yang dikemas atas nama kepentingan pendidikan anak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, keluarga seperti kata Jalaluddin Rachmat merupakan “madrasah” yang menentukan hitam putihnya kepribadian anak atau sebagai institusi yang menentukan tumbuh berkembangnya kejahatan di tengah masyarakat, termasuk terorisme. Akibat atmosfer anomalitas dan malverasi yang membentuknya di rumah, seorang anak yang merasa teralinasi secara psikologis dan ideologis, akan cenderung memilih atau mengiblati “keluarga baru”-nya di lingkaran jaringan terorisme.
Dari penelitian yang pernah dilakukan dokter psikolog di Semarang disebutkan bahwa dari sejumlah remaja yang konsultasi mengenai kehamilan yang tidak dikehendaki, sebagian besar menyebut kalau dirinya “mengenal “ hubungan seks bebas di rumahnya akibat tidak adanya orang tua yang menjadi pedagoginya.
Kasus itu setidaknya dapat dijadikan sample pembanding, bahwa kerapuhan dan krisisnya konstruksi keluarga merupakan faktor kriminogen yang menyebabkan berbagai jenis penyakit menyerang dan tumbuh berkembang, baik mulai dari “teroris” moral hingga teroris berbasis ideologi dan agama. Degradasi moral dan ideologi anak terseret dalam abnormalitas ketika dalam dirinya tidak mendapatkan sumber acuan moral yang benar.
ADVERTISEMENT
Keluarga idealnya menjadi masjid dan surga yang membuat anak bisa mengonstruksi kepribadiannya menjadi kader yang saleh atau berakhlak humanistik dan menemukan kedamaian. Dari rumah, anak seharusnya mengenal doktrin universal “tidak disebut beriman di antara manusia, sampai mereka mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri”. Kalau anak bisa mengenal dan membumikan doktrin universal ini, kepekaannya akan terasah dan menguat dalam ranah advokasi hak keberlanjutan hidup manusia secara keseluruhan.
Sosiolog Laccasagne menyebut bahwa kejahatan yang tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat dapatlah ditemukan obatnya di masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang merupakan “pabrik” kejahatan juga sekaligus “rumah sakit” yang bisa mengobatinya. Terorisme merupakan extra ordinary crime yang menjadi anak kandung dari masyarakat (keluarga) yang gagal menawarkan opsi edukasi yang ramah dan demokratis, inklusif, dan memartabatkan.
ADVERTISEMENT
Kalau masyarakat atau keluarga tidak dipacu tanggung jawabnya dalam konstruksi politik dan moral penanggulangan terorisme, maka berbagai ragam terorisme akan terus saja diproduksinya dengan desain yang lebih canggih dan masif. Kekuatan besar yang bisa memacu komitmen keluarga ini adalah negara. Negara berkewajiban menstimulasi keluarga supaya menjadi benteng sosial yang kokoh, yang tidak rentan diserang invasi ideologis atau doktrin-doktrin menyesatkan.