Nelangsa Penduduk Lokal di Pulau Kecil Wawonii

Abimanyu Septiadji
Staf Divisi Hukum Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Konten dari Pengguna
27 April 2022 18:15 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abimanyu Septiadji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Situasi penyerobotan lahan warga dengan alat berat oleh PT. GKP (Foto: Abimanyu Septiadji)
zoom-in-whitePerbesar
Situasi penyerobotan lahan warga dengan alat berat oleh PT. GKP (Foto: Abimanyu Septiadji)
ADVERTISEMENT
Pulau Wawonii, berlokasi di Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara adalah “hidden gem” bagi para wisatawan penikmat keindahan alam. Dari hasil identifikasi potensi pemetaan wilayah darat dan laut, Konawe Kepulauan memiliki peluang yang sangat besar untuk dikembangkan sebab memiliki potensi kemaritiman yang cukup luas untuk pembangunan industri perikanan, pelabuhan regional, dan pada daerah pesisir keliling pulau Wawonii pantainya sangat berpotensi menjadi objek pariwisata. Di beberapa kecamatan, ditumbuhi tanaman mangrove, dan panorama bawah lautnya terdapat terumbu karang yang sangat indah di mana di sekelilingnya ditumbuhi lamun tempat ikan duyung (dugong) berkembang biak sejak lama.
ADVERTISEMENT
Pada bagian wilayah darat Pulau Wawonii, pun tidak kalah memikat perhatian untuk para pelaku industri ekstraktif pertambangan mineral berupa nikel. Sejauh ini, beberapa manfaat dari mineral tersebut bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari seperti sebagai bahan dasar Stainless Steel peralatan dapur, bahan dasar pembuatan baterai isi ulang, pembuatan rangka otomotif, dan masih banyak lagi. Pada intinya, sektor pertambangan sangat berperan sebagai pilar pembangunan ekonomi nasional.
Dari sekian banyak keindahan alam, dan manfaat nikel yang telah diuraikan di atas, hal tersebut tidak lebih dari omong kosong dan dongeng bagi penduduk asli di pulau Wawonii oleh karena warga lokal beranggapan seiring dengan hadirnya perusahaan tambang, hal tersebut turut membawa malapetaka kerusakan ekologi di Pulau. Selain itu, alasan paling prinsipalnya yaitu disebabkan warga Wawonii berkeyakinan dan berpegang teguh atas penguasaan dan pemanfaatan lahan sebagai sumber kekayaan alam hayati adalah syarat mutlak pemenuhan hajat hidup paling dasar (subsisten).
ADVERTISEMENT
Babak awal mengenai penolakan industri pertambangan warga Pulau Wawonii bisa dimulai dengan kilas balik pada saat para investor-investor besar melirik potensi tambang di pulau kecil Wawonii semenjak tahun 2007 silam. Di atas pulau surga itu, sederet industri pertambangan berlomba-lomba untuk menguasai tanah-tanah pemukiman yang dimiliki warga baik secara komunal/individual demi mengeruk isi perut pulau Wawonii. Hari demi hari berbagai upaya pendekatan persuasif hingga menghalalkan upaya pendekatan berbasis keamanan dengan bantuan personel kepolisian terus bergulir.
PT. GKP selaku anak perusahaan dari Harita Group misalnya, baru-baru ini pada tanggal 3 Maret 2022 yang lalu melakukan upaya penerobosan lahan warga menggunakan alat berat (excavator). Upaya tersebut melibatkan petugas gabungan Brimob Polda Sultra serta personel militer bersenjata lengkap. Melihat upaya tersebut warga tidak tinggal diam dan melakukan perlawanan penghadangan penerobosan lahan oleh korporasi beserta personil keamanannya. Alih-alih kepolisian setempat mengambil langkah preventif atau mendamaikan dan meredakan tensi konflik yang semakin memanas, namun justru ikut campur dan memihak kepada kepentingan PT. GKP dengan mengancam akan menangkap bagi warga yang menolak atau menghadang proses aktivitas industri tambang. Konflik tersebut telah menuai sejumlah kerugian bagi warga, diantaranya adalah rasa takut dan traumatis yang berlebih, pos-pos penjaga yang dibangun warga diangkut, serta lahan perkebunan warga turut rusak akibat ambisi dan sifat tamak korporat.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh aparat keamanan atas keberpihakannya dengan korporasi memang tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan tersebut tidak dapat ditolerir. Pasalnya, Polda Sultra secara langsung telah bersikekeh mengabaikan ketentuan yang jelas-jelas dilecehkan PT. GKP seperti UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, khususnya Pasal 35 huruf (K) yang tegas-tegas pada intinya melarang untuk melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Apabila mengacu pada ketentuan yang sama pada Pasal 1 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2007, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pulau Wawonii jelas-jelas termasuk dalam klasifikasi Pulau-Pulau Kecil, sehingga jika terjadi kegiatan penambangan di pulau kecil sepatutnya diancam pidana penjara maksimal 10 tahun dan pidana denda maksimal 10 miliar.
ADVERTISEMENT
Kendati aparat keamanan berkewajiban menjunjung tinggi prinsip proses hukum yang berkeadilan dan berpihak pada kepentingan masyarakat, Polda Sultra justru membiarkan (by omission) konflik terjadi tanpa diiringi upaya-upaya preventif, melanggengkan praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan seakan tunduk serta melegitimasi pada perintah pelaku industri pertambangan. Hal ini terlihat dari perihal perintah Bambang Murtiyoso selaku Direktur Operasional PT. GKP memerintahkan dan mengerahkan jajaran kepolisian untuk turut menangkap secara sewenang-wenang bagi warga Wawonii yang menolak kehadiran aktivitas industri pertambangan PT. GKP pada 3 Maret 2022 yang kemudian diamini oleh Polda Sulawesi Tenggara.
Menarik untuk dibahas fenomena penerobosan lahan pelaku bisnis selalu dibekingi personel keamanan. Jika ditarik dengan scope yang lebih luas, hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kontrol kaki tangan Presiden Jokowi melalui pernyataannya yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
Saya hanya ingin titip kepada jajaran Polri dari pusat sampai ke daerah, kawal dan jaga betul yang namanya investasi”. Jumat, (3/12/21)
Sejalan dengan itu, Presiden seakan memberi sinyal lampu hijau untuk mengarusutamakan aktivitas bisnis investasi dan didalihkan karena dianggap mampu menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan konsekuensi sosial-ekonomi.
Dengan kata lain Presiden tidak serta merta belajar dari situasi agraria yang semakin kronis, melibatkan banyak korban akibat aktivitas bisnis, dan tidak pernah serius dalam memecahkan persoalan konflik agraria sehingga kian mereduksi hak kehidupan penduduk lokal yang layak.
Di sisi lain, fenomena perkembangan operasi bisnis global dan rotasi ekonomi pasar bebas terus mendorong proses eksploitasi sumber-sumber daya alam dengan ambisi demi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (developmentalism). Kebijakan-kebijakan ekonomi tersebut bertujuan demi dan untuk kesejahteraan dan kemakmuran, namun kerap kali mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, keadilan sosial dan partisipasi warga lokal sebagai penanggung risiko terbesar yang perlu dilindungi.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, hal yang perlu disorot tajam adalah pihak yang seharusnya berperan untuk menghentikan konflik seperti TNI dan Polri malah turut serta mengeskalasi konflik karena lebih banyak digunakan untuk menindas dengan kuasanya menyerang pihak rakyat.
Sejauh ini penyelesaian konflik agraria masih mencerminkan adanya posisi ketidakadilan bagi kelompok-kelompok marjinal seperti petani, nelayan, masyarakat adat (landless). Secara bersamaan praktik-praktik kekerasan baik secara fisik maupun psikis terus bergulir, seperti intimidasi, teror, hingga penindasan baik dari institusi aparat keamanan maupun keamanan korporasi, sehingga menempatkan mereka sebagai korban diskriminasi hukum sekaligus korban perampasan lahan secara sepihak. Akhirnya, mereka akan kehilangan hak atas tanah sebagai sumber daya produktif, sarana untuk memperoleh pendapatan, dan sumber penghidupan.
Apa yang dialami oleh warga Wawonii merupakan salah satu mimpi buruk dari sekian banyak konflik agraria struktural yang terjadi di berbagai daerah dengan pola-pola dan latar belakang yang serupa. Jika praktik diskriminasi proses hukum terus dilanggengkan tentu akan mengakibatkan lunturnya semangat reformasi tubuh polri menuju institusi sipil yang ideal dan demokratis dalam Koridor Grand Strategi Polri, khususnya perubahan dari segi kultural seperti watak kekerasan yang masih mengakar, belum maksimalnya implementasi prinsip-prinsip HAM dalam tugas-tugas kepolisian, independensi, serta penuntasan masalah tidak proporsional dan profesional dalam memberikan pelayanan keamanan publik.
ADVERTISEMENT
Jika hal tersebut terus dinormlisasi, cita-cita pemolisian yang PRESISI sebatas lip service dan institusi tersebut akan menjelma menjadi alat akselerasi roda entittas bisnis. Tuntutan pembenahan secara menyeluruh tidak bisa lagi ditunda-tunda penerapannya melihat kasus dengan pola-pola serupa seperti yang terjadi di Wadas, Pancoran, Taliabu berpotensi besar akan terus menerus terjadi.
Pemberian sanksi berat dan maksimal perlu untuk diterapkan melihat tindakan-tindakan kepolisian semakin brutal dan mengalami penurunan profesionalitas. Tidak hanya dengan sanksi berupa proses etik, jika tindakan-tindakan tersebut dilihat memenuhi unsur-unsur dalam delik pidana patut untuk dihukum melalui proses peradilan umum secara transparan, sehingga diharapkan perbuatan-perbuatan dengan pola-pola serupa tidak kembali terjadi di kemudian hari.