Karena Hidup Tak Selamanya Seperti yang Diinginkan oleh Buffon

14 November 2017 15:38 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Buffon dan ekspresi kecewanya. (Foto: Marco Bertorello/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Buffon dan ekspresi kecewanya. (Foto: Marco Bertorello/AFP)
ADVERTISEMENT
Udara di Moskow sedang dingin-dinginnya. Badai salju tidak hanya turun sepanjang hari, tetapi juga nyaris setiap jam. Sementara itu, hujan dan angin menemani di sebagian waktu. Tak heran, Moskow gelap hari itu.
ADVERTISEMENT
Hawa yang tak bersahabat tidak membuat pertandingan play-off Piala Dunia 1998 antara Rusia dan Italia di Dynamo Stadium, ditunda. Kendati Cesare Maldini bersikeras untuk menunda laga, panitia pelaksana tidak berharap demikian.
Pertandingan pada akhirnya tetap berlangsung, di tengah cuaca yang tak mendukung. Pemain Italia yang tak terbiasa tampak kesulitan. Di sisi lain, pemain Rusia tampak tak kesulitan bermain dalam kondisi seperti ini.
Pada menit ke-31, Gianluca Pagliuca mengalami cedera. Menurut Licia Granello, jurnalis La Republicca yang ikut ke Moskow, Pagliuca mengalami kram di kakinya dan membuatnya tak bisa melanjutkan pertandingan.
Pada akhirnya Maldini memilih penjaga gawang berusia 19 tahun bernama Gianluigi Buffon. Mengenakan nomor punggung 12, Buffon begitu percaya diri bermain di bawah guyuran salju. Penampilan yang begitu berani membuat semua orang berdecak kagum. Tak heran, setelah pertandingan, Granello berinisiatif mewawancarai Buffon.
ADVERTISEMENT
"Aku senang bisa bermain dalam pertandingan. Ini sesuai dengan apa yang aku harapkan," kata Buffon.
***
San Siro, Milan, Selasa (14/11/2017) dini hari WIB, Tim Nasional (Timnas) Italia menjalani play-off leg II untuk berlaga di Piala Dunia 2018. Dalam pertandingan yang digelar di San Siro, Milan, tersebut, Italia berhadapan dengan Swedia, yang lolos setelah menempati posisi kedua Grup A.
Beban Italia pada pertandingan itu tidak hanya menang dengan selisih dua gol, tetapi juga menutup semua cibiran yang mengemuka hingga kritik dan cerca. Tak pelak, banyak yang beranggapan bahwa pertandingan ini tak cuma skor, tetapi juga pertaruhan mental.
Dengan masalah yang sedemikian menumpuk itu, Italia tampak beragam. Gian Piero Ventura, pelatih Italia, terlalu percaya diri dan ngeyel dengan setiap keputusannya. Di sisi lain, Daniele De Rossi, memilih untuk tahu diri dan tak berharap banyak.
ADVERTISEMENT
Dari sekian perbedaan itu, muncul Gianluigi Buffon yang menyatukan. Selain paling senior, ia adalah kapten tim. Ucapannya yang meminta pemain melupakan klub masing-masing untuk bersatu di bawah bendera Italia menjadi penyatu pemain yang tercerai-berai.
Sekian banyak ucapan diplomatis dilontarkan mulut Buffon jelang pertandingan itu. Betapa tidak, selain merupakan partai penentuan, laga ini bisa menjadi pertandingan terakhirnya berseragam Italia, karena ia memutuskan gantung sepatu usai Piala Dunia 2018.
Ketika pertandingan dimulai, ia menjadi pemain yang paling tegas menyambut laga kebangsaan Italia “Il Canto degli Italiani”. Setelah itu, ia juga menjadi pemain yang paling kencang berteriak demi memotivasi rekan setimnya.
Atas pentingnya pertandingan ini, Buffon mengeluarkan seluruh daya yang ia punya. Pada babak pertama, ia tak hanya berusaha menjadi penjaga gawang, tetapi juga menjadi pemain yang menginisiasi serangan cepat dari belakang.
ADVERTISEMENT
Buffon tak hanya mengamankan bola yang disepak oleh pemain lawan dengan segenap tinjuan dan semampu tangkapan, tetapi juga berusaha memberi kemudahan bagi rekan setimnya untuk sesegera mungkin menyerang.
Tak terhitung berapa kali mulut Buffon komat-kamit menyuruh pemain Italia berada di posisinya. Tak terhitung pula berapa kali ia menunjukkan gestur kepada pemain-pemain Italia untuk menjaga pemain Swedia.
Buffon tak hanya berbeda bagi rekan setimnya hari itu. Bagi lawan, ia juga menjadi sosok benar-benar berbeda ketimbang biasanya. Motivasi hingga sportivitas yang kerap ia tunjukkan kepada lawan menjadi hal yang minim ia lakukan hari itu.
Ketika wasit Antonio Mateu dari Spanyol, Buffon menjadi pemain yang berusaha paling cepat masuk ke ruang ganti. Ia seakan tidak ingin kehilangan satu menit dari pertandingan mahapenting itu.
ADVERTISEMENT
Demikian halnya ketika ia menuju ke gawang. Buffon yang sering berjalan sambil memanjatkan doa serta kepalan tangan ke udara, mendadak memilih untuk berjalan cepat supaya pertandingan bisa lebih cepat dimulai.
Seperti halnya babak pertama. Pada babak kedua, Buffon kembali menunjukkan betapa pentingnya pertandingan ini bagi seluruh masyarakat Italia, juga bagi dirinya. Tak peduli bagaimana caranya, ia berusaha membuat Italia lolos dari lubang jarum.
Tak kunjung mencetak gol, Buffon pun memilih keluar dari fitrahnya untuk bergerak di gawang lawan. Sepak pojok pada menit 90+5 menjadi saksi bagaimana Buffon memadukan ketakutan dengan sebuah keyakinan.
Pada akhirnya, sepak pojok itu tak menjadi milik Italia. Kesempatan mereka untuk bermain di Piala Dunia 2018 pun pupus. Demikian pula dengan mimpi Buffon untuk bermain di Piala Dunia terakhirnya. Menyedihkan, memang. Tetapi, yang jelas, tidak ada yang tahu bagaimana karier seseorang akan berakhir.
ADVERTISEMENT
***
Di usia yang telah memasuki 39 tahun, Gianluigi Buffon justru bertahan. Ia tak lekang dimakan jaman, tetapi malah menjaga keterampilan. Tak ada yang bisa menghentikan Buffon, kecuali ia sendiri.
Meski demikian, di balik semua hal fenomenal yang ia buat dan catat, karier Buffon tak selamanya berjalan mulus. Tiga kali mencapai final Liga Champions, tiga kali pula Buffon pulang tanpa status juara.
Anomali kembali jatuh ke guratan nasib Buffon ketika ia gagal memberikan Italia satu tiket ke Piala Dunia 2018 ketika Italia dikalahkan Swedia dengan skor agregat 0-1. Apa ini balasan dukun Rusia atas penampilannya 1998 lalu? Atau ini memang takdir Buffon untuk menutup penampilannya di Tim Nasional (Timnas) Italia?
ADVERTISEMENT