Atap Rumah Rumput Laut, Saksi Bisu Keserakahan Penduduk Pulau Laesoe

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
15 April 2018 21:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Foto: wikimedia.org
Sejak tahun 1150 sampai 1652, Pulau Laesoe di Denmark terkenal akan industri garam yang sangat maju. Hampir seluruh area di pulau itu direndam garam, air tanahnya saja mengandung lebih dari 15 persen garam.
ADVERTISEMENT
Selama musim panas, garam secara alami akan mengkristal dan keluar dari tanah. Ratusan tungku dipanaskan untuk memurnikan garam dan mereka senatiasa menggunakan kayu hutan untuk bahan bakarnya.
Tetapi, hutan bukanlah sumber kayu yang dapat beregenerasi dengan cepat. Ada batas ketika itu semua akan habis. Sampai suatu hari tiba, saat penduduk pulau menebang pohon terakhir, kayu terakhir di hutan yang malah mereka gunakan untuk mendulang uang.
Tanpa kayu untuk memanaskan tungku, industri garam Pulau Laesoe lantas runtuh. Sama sekali tak ada pohon, tak ada penghalang angin, desa-desa di Pulau Laeso rutin dikubur badai pasir yang merusak rumah mereka. Udara menjadi penuh dengan garam laut dan itu menghambat pertumbuhan berbagai jenis pohon, bahkan rumput.
ADVERTISEMENT
Untungnya Pulau Laesoe memiliki eelgrass (sejenis rumput laut) yang sama melimpahnya seperti persedian garam mereka. Mereka juga masih punya banyak kayu apung yang cukup kokoh untuk dijadikan fondasi. Lalu, dibuatlah rumah-rumah dari bahan-bahan itu.
Karena eelgrass secara alami diresapi garam, seiring waktu atap rumah mereka akan memadat dan mengeras. Tak hanya tahan air, atap penduduk Laesoe juga tahan api serta sangat kuat sehingga dapat diinjak.
Atap yang bisa tahan hingga ratusan tahun itu juga sangat berat. Menurut Amusing Planet, dibutuhkan sekitar 300 kilogram rumput laut hanya untuk satu meter persegi atap rumah di Pulau Laesoe.
Pada abad ke-18, ada lebih dari 250 rumah di Pulau Laesoe. Namun pada tahun 1920-an, penyakit jamur menyapu banyak eelgrass dan produksi untuk atap rumah pun menurun.
ADVERTISEMENT
Kini, hanya tinggal 20 rumah saja yang ada di sana. Meski begitu, mereka dapat lebih bersyukur, karena sekarang hutan Laesoe sudah lebat lagi.