Berdamai dengan Peliknya Jakarta di Ruang Teater

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
4 Juni 2018 17:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto: dokumentasi pribadi
Jangan berani datang ke Jakarta ketika ingin tenang hidup, jangan jadi pengecut dari Jakarta saat belum tuntas urusan hidup.
ADVERTISEMENT
Didukung oleh Bakti Budaya Djarum Foundation, produksi ke-11 Teater Abang None (Abnon) digelar di Galeri Indonesia Kaya (GIK). Sebuah drama musikal, tentang apa lagi kalau bukan hiruk pikuk hidup di Jakarta, sebab memang itu pelik realita yang paling dekat dengan para alumni Abang None. Pun paling penting buat disampaikan, oleh mereka yang jadi simbol kerupawanan ibu kota.
"Teater Abang None selalu membuat pementasan apapun berkaitan dengan Jakarta ataupun Betawi," tutur Maudy Koesnaedi, None Jakarta 1993, yang mempelopori terbentuknya Teater Abnon.
Sejak awal berdiri, berbagai angle mengenai Jakarta pernah ditilik oleh Abnon lewat pentasnya. Tetapi khusus untuk 1/JKT, drama musikal kali ini sengaja dipersembahkan untuk menyambut Hari Ulang Tahun Jakarta pada 22 Juni nanti. Drama ini mengambil latar waktu Jakarta saat ini dengan polemik dari setiap warga, terutama polah kalangan mudanya.
ADVERTISEMENT
"Kenapa sih Jakarta itu selalu menarik untuk kita angkat ceritanya? Karena memang, kita sadar bahwa setiap orang di Jakarta itu punya masalahnya masing-masing, gitu kan. Punya masalah masing-masing, tapi terkadang kita tuh selalu nyari kambing hitam untuk masalah kita sendiri. Sampai-sampai akhirnya kita enggak ngelihat solusi itu yang ternyata ada di depan mata kita sendiri," ucap Fariz Zaki, penulis ide cerita.
Lewat tiga tokoh utamanya, 1/JKT mengerucutkan tiga polemik: tentang Jecklyn yang kesulitan meraih mimpi-mimpinya, Tagor yang menyerah dihantam asmara, dan Karmaen yang kecewa terhadap hampir segenap aspek hidup Jakarta.
Ini soal anak muda, namun tidak berarti alurnya tidak memberi tempat kepada orang tua. Meski sorot cerita tak pernah jauh dari ketiga tokoh, Teater Abnon pada Minggu (3/6/2018) dibumbui juga dengan adegan resah hidup para orang, sampai pelik kemiskinan yang mengorbankan anak-anak kecil dikisahkan pula olehnya.
ADVERTISEMENT
Kita yang hadir disuguhi beragam ekspresi adegan, dari tarian riang yang diiringi musik gembira atau cuplikan duka bersama ode. Karena 1/JKT memang tak melulu menyoal pekik anak muda, Sore Tugu Pancoran dari Iwan Fals pun bisa turut jadi lagu pengiring yang pas dalam teater musikal ini.
Jakarta juga tidak hanya dihuni oleh para pemarah seperti Karmaen, ada ruang-ruang kebetahan yang cocok bagi para penyabar sembari melipur lara dengan Kisah dari Selatan Jakarta oleh White Shoes & Couples Company. Ada banyak lagu soal Jakarta, banyak cerita; diaduk berdasarkan tujuan emosional oleh Teater Abnon, untuk jadi fondasi dalam pentasnya.
Saat pentas dimulai oleh monolog penuh amarah Tagor (Christian Purba), penonton sedikit kaget sebab tidak menyangka pemeran teater bakal muncul dari kursi yang sama dengan mereka.
ADVERTISEMENT
Luapan soal patah hati itu kemudian disambut dalam amarah lebih tinggi oleh Jecklyn (Sonya Chan) berbicara tentang prioritas hidupnya yang terbengkalai, meski amarahnya lalu kalah tanding dengan gebukan Karmaen (Adi Putra) yang meluapkan segala kebenciannya pada Jakarta.
Lalu masing-masing tokoh ini memulai jalan ceritanya masing-masing. Tagor mabuk-mabukan; memang sangat mabuk dihujani kenangan mantan, Jecklyn dihasut teman-temannya agar mewujudkan impian seninya hingga kabur dari kekangan rumah, dan Karmaen yang tak sedikit pun mengendurkan amarah--hampir di sepanjang pentas itu cuma dia yang selalu ketus.
Seperti kata Zaki, melalui 1/JKT, penonton sengaja diceburkan terlebih dahulu ke dalam variasi masalah cerita di Jakarta, untuk lalu memunculkan refleksi dirinya. Klimaks dari ketiga tokoh utama itu hadir, saat yang melihat turut terbawa emosi tinggi, ketika Jecklyn, Karmaen, dan Tagor bertemu di Stasiun.
ADVERTISEMENT
Mereka beradu mulut di sana, saling mengklaim masalah terberat yang dimiliki, namun tiba-tiba terdiam malu saat dua bocah penjual koran menampakkan beban hidup lebih papa.
Kemunculan bocah penjual koran inilah pemicu ledakan emosi sesungguhnya. Ibarat kebakaran yang justru dipadamkan hujan badai, emosi penonton sama sekali tidak mereda setelah disuguhi berbagai dialog marah malah berganti riuh elegi.
Saya pula merasakannya, desiran paling menyentuh, ketika Si Budi dan adiknya dimarahi ibu mereka yang dibuat frustasi oleh kemiskinan, sedangkan anaknya saat itu gagal menjual satu koran pun.
Entah mungkin karena saya memang kerap sentimental akan kisah-kisah duka masyarakat ekonomi rendah, atau wajah Jakarta yang sesungguhnya memang dipenuhi sentimen. Beberapa kursi dari samping saya, bahkan terdengar suara sedu sedan, ketika 1/JKT sudah mau berakhir.
Foto: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
"Sebenarnya kenapa cerita ini, kenapa kita angkat, karena kita pengen ngasih tau, pengen mengimbau kepada semua orang di Jakarta khususnya. Lo tuh gak harus ngeliat kemana-mana, gitu loh, lo coba ceburin dulu masalah lo, dapet tuh solusi."
Jika kita tidak berani merefleksi diri, kalau kita tidak berani menghadapi masalah dan malah mencoba kabur seperti dicontohkan ketiga tokoh utama 1/JKT, bagi Zaki tak akan muncul solusi orang terhadap Jakarta.
Jecklyn, Karmaen, dan Tagor cukup mewakili karakter-karakter pengecut yang hidup di Jakarta. Membabi buta melampiaskan kemuakan, menyalahkan orang lain atas ketidaksanggupan diri memikul beban; baru bisa diam jika sadar bahwa ada yang punya masalah hidup jauh lebih tragis dari mereka.
ADVERTISEMENT
Kesadaran tersebutlah yang coba di bangun oleh Teater Abnon dan itu bukan tugas mudah.
Tidak mudah, karena Abang None bukanlah ajang pencarian bakat menyanyi dan menari, mereka juga tidak dikhususkan menjadi pemain drama. Beban misi mereka berlipat, di kala mesti terus melatih kualitas suara, meningkatkan kualitas akting, 'mempercantik wajah' Jakarta dengan pesan-pesan moral jua jadi tugas mereka.
Oleh sebabnya mereka butuh ruang tampil lebih sering; sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak guna menunaikan tugas-tugasnya.
"Di Jakarta ruang pertunjukkan semua besar-besar loh, Ciputra Artpreneur (kapasitas kursinya) 1190 sehari nyewanya (Rp) 230 juta, mau jual tiket berapa kita, iya kan? Teater Jakarta (Rp) 30 Juta, GBB, GKJ, gitu. Kalau enggak ada GIK, kita mau main di mana, coba?" imbuh Maudy.
ADVERTISEMENT
Maka yang saya cemaskan saat ini, akan sangat disayangkan jika kelompok seni potensial seperti Teater Abnon justru tidak mendapatkan dukungan penuh dari mereka yang tinggal di Jakarta.
Terlebih karena saya melihat langsung, bahkan satu studio GIK tidak cukup untuk mewadahi semua pengunjung yang hadir saat 1/JKT. Termasuk saya, banyak yang terpaksa yang menonton di luar studio, yang beruntungnya disediakan penyelenggara melalui proyeksi layar besar.