Desa Propaganda di Perbatasan Korea

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2018 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keramaian, ketenangan, dan kesejahteraan warga di desa ini cuma rekayasa belaka.
Foto: Kijong-dong dipotret dari sisi Daeseong-dong | commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Setelah gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1953, Korea Selatan dan Korea Utara sepakat akan keberadaan DMZ (Demilitarized Zone). Zona tersebut membentang sepanjang 250 kilometer, dibuat untuk memisahkan kedua negara.
Secara kebetulan, DMZ juga turut membelah sebuah desa yang awalnya bersatu. Setelah dibagi dua, Daeseong-dong menjadi wilayah Korea Selatan sedangkan Kijong-dong untuk Korea Utara.
Meski, orang Korea Selatan sering menyebut Kijong-dong sebagai desa propaganda, hal tersebut sebetulnya berlaku juga untuk Daeseong-dong. Semua yang hidup di kedua desa ini cuma rekayasa.
Daeseong-dong yang sering disebut 'Freedom Village' itu memiliki 226 penduduk. Meski hidup di bawah bayang-bayang senjata, warga desa ini menikmati beberapa manfaat khusus. Pemerintah memberi lahan pertanian yang luas dan mereka dibebaskan dari membayar pajak. Sekolah-sekolah di sini juga mendapatkan perhatian ekstra dengan kerap menerima fasilitas dan bantuan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Namun, semua kebaikan tentunya cuma punya tujuan politik, agar penduduk Daeseong-dong jangan sampai membelot ke Korea Utara. Perlakuan khusus Korea Selatan untuk Daeseong-dong juga berguna untuk membangun citra baik pemerintah di mata media internasional.
Julukan 'Freedom Village' pula cuma ilusi, penduduk lokal Daeseong-dong mesti hidup dengan aturan sangat ketat. Mereka harus membawa kartu identitas khusus untuk bepergian, wajib melewati banyak pos pemeriksaan bila hendak memasuki atau meninggalkan desa, bahkan kudu berada di rumah ketika matahari tenggelam.
Propaganda di Kijong-dong jauh lebih parah, desa yang dijuluki 'Peace Village' itu merupakan desa hantu. Gedung-gedung tinggi yang dicat cerah, pendar-pendar cahaya lampu di malam indah, semuanya tampak indah sampai kita sadar bahwa ternyata tak ada penduduk di sana.
ADVERTISEMENT