Kopi, Cokelat, Tembakau, dan Malaria

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
30 Maret 2020 16:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Nyamuk anopheles / commons.wikimedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Nyamuk anopheles / commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Sebuah studi baru menjelaskan bahwa produk berbahan baku kopi, cokelat, tembakau, teh, kacang kedelai, kelapa sawit, dan daging sapi mampu meningkatkan penyakit malaria. Bukan saat dikonsumsi, melainkan ketika produk tersebut dalam proses penanaman yang mengakibatkan penggundulan hutan atau deforestasi.
ADVERTISEMENT
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penggundulan hutan dapat membantu menciptakan kondisi ideal bagi nyamuk anopheles untuk berkembang. Nyamuk anopheles betina merupakan jenis nyamuk yang dapat menyebarkan penyakit malaria. Deforestasi dapat membantu menumbuhkan lingkungan yang membuat suhu menjadi lebih hangat dengan lebih sedikit predator. Penebangan pohon mengurangi penyerapan air dan membuat lebih banyak daratan terkena sinar matahari, menciptakan semakin banyak genangan air hangat yang digunakan nyamuk untuk berkembang biak.
Dilaporkan dalam jurnal Nature Communications, peneliti dari University of Sydney telah menilai seberapa besar risiko malaria yang didorong deforestasi dapat dikaitkan dengan permintaan komoditas yang diperdagangkan secara luas. Mereka memperkirakan hingga 20 persen risiko malaria bagi manusia di titik panas deforestasi didorong oleh perdagangan internasional ekspor yang dilanda eksploitasi besar-besaran pada produk hutani, seperti kayu, kayu, tembakau, teh, kakao, kopi, dan kapas.
ADVERTISEMENT
“Studi ini adalah yang pertama untuk menilai peran konsumsi global dalam meningkatkan deforestasi dan pada gilirannya berlanjut ke risiko malaria,” terang Dr Arunima Malik, dari Pusat Analisis Keberlanjutan Terpadu di School of Physics.
"Konsumsi manusia yang tidak berkelanjutan jelas mendorong tren ini."
“Pekerjaan ini melampaui pemetaan insiden sederhana dan korelasi, dalam hal ini mengungkap jaringan rantai pasokan global yang menghubungkan malaria yang terjadi di lokasi tertentu karena deforestasi dengan konsumsi yang tersebar secara global,” kata Dr Malik.
Apakah ini berarti kopi, cokelat, tembakau, dan segala bahan kudapan yang disebutkan di atas, harus dikeluarkan sepenuhnya dari menu? Belum tentu, begitulah kata para peneliti. Namun, mereka berpendapat bahwa konsumen di negara-negara yang lebih maju secara ekonomi harus “lebih memperhatikan konsumsi kita” dan memerhatikan dari mana makanan kita berasal. Alasannya tidak semua merek kopi dan cokelat melakukan deforestasi. Beberapa merek kopi atau cokelat dilengkapi dengan sertifikat oleh organisasi lingkungan hidup seperti Rainforest Alliance, yang menunjukkan bahwa mereka ramah lingkungan, sosial, dan berkelanjutan secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh ke depan, hal ini menunjukkan bahwa pembuat kebijakan dan peneliti harus mempertimbangkan bagaimana rantai pasokan global dapat memengaruhi upaya dunia untuk mengurangi malaria. Seperti yang sering terjadi, realitas masalahnya jauh lebih rumit daripada yang pertama kali muncul.
"Apa artinya ini bagi konsumen yang makmur?" tanya penulis senior, Profesor Manfred Lenzen. “Kita harus lebih memerhatikan konsumsi dan pengadaan kita, menghindari pembelian dari produsen yang melakukan deforestasi, dan mendukung kepemilikan lahan berkelanjutan di negara-negara berkembang.”