Misteri Penemuan Otak Tertua Berusia 2.600 Tahun

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
27 Januari 2020 11:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Heslington Brain
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Heslington Brain
ADVERTISEMENT
Heslington Brain adalah julukan bagi otak tertua di dunia yang telah berusia 2.600 tahun. Penemuan otak manusia ini sangat mengejutkan para ilmuwan, pasalnya otak manusia tidak akan mungkin bertahan lama hingga ribuan tahun karena terdiri dari 80% air dan jaringan saraf. Ditambah lagi pengawetan otak ini bukan sengaja dilakukan melainkan terjadi akibat proses alamiah.
ADVERTISEMENT
Heslington Brain pertama kali ditemukan di dalam sebuah tengkorak di Inggris pada 2008, yang terkubur dalam lubang sedimen yang berasal dari 482 dan 673 SM. Berdasarkan identifikasi gender, kemungkinan milik seorang pria berusia tiga puluh tahun yang kepalanya terlepas dari tubuhnya karena diiris oleh sebilah pisau tipis sehingga darahnya terkuras, diduga ia meninggal karena digantung. Anehnya luka terbuka dalam tubuh manusia biasanya mempercepat laju pembusukan, bukan memperlambat proses disintegrasi. Namun, karena tengkoraknya terkubur dalam lubang sedimen basah berbutir halus menyebabkan pengurangan infeksi dan memperlambat dekomposisi. Suhu tanah yang berada beberapa derajat di atas titik beku turut membantu pembentukan otak Heslington karena tanah yang beku memerlukan waktu seminggu sebelum memunculkan tanda pembusukan pertama.
ADVERTISEMENT
Foto: Tengkorak yang berasal dari manusia zaman besi
Untuk mengetahui penyebab misteri pengawetan otak tertua ini sebuah tim yang dipimpin oleh ahli saraf Dr Axel Petzold dari University College London berupaya mengungkap protein apa yang terkandung didalamnya sehingga otaknya mampu terawetkan selama ribuan tahun, sebuah proses yang membutuhkan waktu penelitian satu tahun untuk mengetahui penyebabnya. Tim meyakini otak pria yang berasal dari Zaman Besi ini berbeda dengan otak modern dalam hal pembusukan. Di dalam filamen (filamen adalah benang-benang tipis yang tersusun dari aktin dan protein) otak Heslington ditemukan suatu bentuk struktur ikat yang tidak banyak terdegrasi oleh protease (disebut juga peptidase atau proteinase, merupakan enzim golongan hidrolase yang akan memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana) yang khas setelah kematian. Terdapat agregat protein yang membantu meningkatkan integritas struktural yang dapat menjaganya tetap utuh dan berbeda dari otak manusia modern.
ADVERTISEMENT
Namun, banyak yang membingungkan para ilmuwan, mengapa filamen otak Heslington dapat bereaksi dengan cara seperti ini. Kemungkinannya ada senyawa pelestarian alami membantu proses pembekuan. "Data menunjukkan bahwa protease otak kuno mungkin dihambat oleh senyawa yang tidak diketahui yang telah menyebar dari luar otak ke struktur yang lebih dalam," menurut Dr. Axel. Tidak ada bukti untuk protein priologis patologis dalam jaringan otak kuno dapat menggunakan metode canggih. Kualitas DNA nya terlalu rendah untuk memungkinkan penyaringan penyakit manusia lainnya dari agregasi protein patologis atau neurodegenerasi (adalah penyakit yang menyerang sel otak dan sumsum tulang belakang pada jaringan otak). Data ini konsisten dengan gagasan bahwa DNA terdegradasi sekitar 10 kali lebih cepat daripada protein.
ADVERTISEMENT
Kendati begitu, penelitian lebih lanjut sangat dibutuhkan dalam menguak lebih banyak tentang otak Heslington untuk dapat mengungkap adanya implikasi penyakit neurodegeneratif di mana agregat protein berada, seperti penyakit Creutzfeldt-Jakob atau penyakit Alzheimer. Dengan cara ini, pengetahuan tentang otak orang mati akan memberikan ilmu baru yang membantu memperpanjang hidup orang lain 2.600 tahun post-mortem (merupakan data-data fisik yang diperoleh melalui Personal Identification setelah korban meninggal).
Sumber: royalsocietypublishing.org| thevintagenews.com| iflscience.com
Sumber foto: commons.wikimedia.org