Polah Surgawi Cenderawasih, Esoteris yang Tak Bisa Diawetkan

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
1 April 2018 17:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Salah besar, cuma menilai keelokan cenderawasih dari bulunya semata. Mereka punya keindahan yang tak sekadar fisik.
Diceritakan kembali oleh Peter Bang, dalam bukunya yang berjudul Papua Blod: En beretning fra West Papua, dahulu ada sebuah legenda tentang cenderawasih. Konon, di masa lalu ada seorang ibu yang kehilangan anaknya. Jiwa sedihnya memanggil-manggil sang anak, tak berhenti menangis hingga sekarat. Jiwanya, kemudian berubah menjadi burung indah dan terbang ke angkasa.
ADVERTISEMENT
Cerita semacam itu, tentang manusia yang berubah menjadi hewan, sudah biasa terbentuk dalam kepercayaan tradisional di wilayah Pasifik. Begitupun di Papua, banyak orang masih percaya bahwa di dunia ini ada kekuatan alami yang disebut Imunu (yang menurut Bang juga dikenal sebagai Mana). Imunu ada di setiap objek di bumi ini, pada hewan atau manusia.
Terkadang, ada beberapa orang yang punya kelebihan istimewa yang membuat Imunu mereka telah aktif sejak lahir. Meski kadang juga, Imunu manusia baru mungkin dapat diaktifkan karena suatu peristiwa atau sebab fase dalam hidup: seperti dialami oleh sosok ibu dalam legenda cenderawasih.
Pengaruh cenderawasih bagi masyarakat Papua kian diperkuat, dengan kepercayaan lain yang menyebutkan bahwa mahluk ini berasal dari kayangan. Mereka titisan bidadari surga, yang hanya makan awan dan minum embun. Mitosnya, dahulu cenderawasih tak memiliki kaki, dan oleh karenanya mereka tak pernah mendarat di tanah. Hanya berada di udara atau sesekali hinggap di ranting pohon.
ADVERTISEMENT
Kepercayaan tersebut rupanya juga kuat tertanam di kepala orang Eropa, seperti diceritakan oleh Alfred Russel Wallace dalam bukunya The Malay Archipelago. Para pedagang Eropa, yang singgah di Maluku pada abad ke-19, sering diberi hadiah cenderawasih yang diawetkan oleh pendudul lokal. Kala itu, mereka menyebutnya Manuk Dewata alias burung dewa.
Demi mempertegas status cenderawasih sebagai burung surga, para pedagang pribumi kerap membuang kakinya sebelum diawetkan. Perbuatan yang disengaja demi alasan ekonomi, agar orang-orang di Eropa percaya bahwa cenderawasih memang tak pernah berpijak dan senantiasa hidup di udara. Sebabnya, orang-orang Portugis (yang tak pernah mempelajari mahluk ini hidup-hidup) punya julukan khusus untuk cenderawasih, yaitu passaros de sol yang berarti burung matahari.
Demi mempertegas status cenderawasih sebagai burung surga, para pedagang pribumi kerap membuang kakinya sebelum diawetkan. Perbuatan yang disengaja demi alasan ekonomi, agar orang-orang di Eropa percaya bahwa cenderawasih memang tak pernah berpijak dan senantiasa hidup di udara. Sebabnya, orang-orang Portugis (yang tak pernah mempelajari mahluk ini hidup-hidup) punya julukan khusus untuk cenderawasih, yaitu
ADVERTISEMENT
Sulit bagi para pemburu untuk tidak mengincar cenderawasih, keindahan fisik burung ini terlalu banyak diminati dan itu peluang dagang paling menguntungkan. Menukil data dari World Wildlife Fund (WWF), di masa lalu antara tahun 1820-1938, total pengiriman cenderawasih ke Eropa lebih dari dua juta ekor. Meski penjualan tersebut ditaksir tidak melebihi tiga juta ekor, namun itu tetap musibah besar yang menghacurkan habitat cenderawasih.
Jika pun disebutkan bahwa saat ini perburuan cenderawasih mengalami penurunan, itu bukan karena sudah tak laku atau orang mulai enggan membunuhnya. Tetapi, eksistensinya semakin langka sebab jumlahnya tiap tahun terus berkurang akibat perburuan, kian sulit pula mencarinya. Bila tahun 2000-2005 masih ada sekitar 10-15 ekor cenderawasih per satu kilometer persegi, maka pada 2012 jumlahnya cuma 2-3 ekor saja.
ADVERTISEMENT
Keprihatinan Itu Perlu Diwujudkan
Kita tak bisa sekadar merasa iba akan nasib cenderawasih, kepunahannya akan menjadi aib bagi Indonesia dan sebab itu usaha untuk melindunginya mesti selalu dikumandangkan. Mereka bukan hanya mahluk yang konon membawa tuah dan keberuntungan, secara hukum legal cenderawasih telah masuk dalam jenis satwa yang dilindungi berdasarkan Undang-undang no.5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah no.7 tahun 1999.
Menghimbau orang-orang agar tak lagi memburunya merupakan kewajiban; itulah yang dicontohkan oleh kelompok seni tari Maha Dance. Karena teguran dan ancaman hukuman saja tak membuat para pemburu jera, sementara orang-orang yang tinggal jauh dari Papua mungkin juga tak tahu betapa pentingnya eksistensi cenderawasih. Lewat pentas 'KiNG', Maha Dance mencancapkan makna penting kepada kita yang bahkan belum sempat berjumpa langsung dengan cenderawasih.
ADVERTISEMENT
Apabila selama ini kita selalu menganggap cenderawasih sebagai soal bulunya," tutur Maharani Ayuk Listya Ningrum, koreografer dan pimpinan produksi Maha Dance, usai pertunjukan mereka di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Sabtu (31/3/2018). Gerakan cenderawasih, terutama saat melangsungkan perkawinan, juga merupakan daya tarik dan keindahan yang tak dimiliki oleh burung lain.
Apabila selama ini kita selalu menganggap cenderawasih sebagai bird of paradise hanya karena tampilan fisik mereka yang menawan, maka kita telah salah. Maha Dance membuka mata kita, terutama hati dan pikiran saya yang kebetulan hadir dalam acara mereka, bahwa cenderawasih punya perilaku mahluk sama memesona seperti bulunya.
Polah cenderawasih yang diadaptasi oleh Maha Dance di dalam 'KiNG', ialah gerakan-gerakan rumit. Sulit dipercaya bahwa burung punya tarian yang begitu terkonsep, serta mengubah bentuk bulu mereka menjadi sebuah kostum yang berkarakter.
ADVERTISEMENT
Reinkarnasi gerakan tari cenderawasih itu lebih meresap lagi nuansanya, sebab diperagakan oleh putra-putri asli Papua: Anjar Noak Msen, Griece Martha Deda, Melfritin Waimbo, Fachry Destyanto Matlawa, Frans Junias Jugganza, Ahmad Nur, dan Rudy L Karel Mandosir. Tarian mereka menyodorkan banyak pesan, bahwa mahluk yang indah hanya akan tetap indah jika tidak dimatikan.
Diiringi alunan musik dari Lilik Setiawan dan Alvin Melki Bembok, mengamati pertujukan Maha Dance menghasut saya untuk iri terhadap sikap romantis para pejantan cenderawasih dan cara mereka mengungkapkan cinta pada betina, membuat saya merasa takjub juga risau: sampai kapan mahluk indah itu dapat bertahan dari ancaman keserakahan manusia?
Sudah bukan burung surga lagi namanya jika cenderawasih hanya sekadar berdiam kaku dipanjangkan, esensi surgawinya telah hilang saat diawetkan.
ADVERTISEMENT
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- #IndonesiaKaya #RuangKreatifSeni -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------