Sepeda Roda Tiga Shin, Kisah Lain Tentang Bom Hiroshima

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
20 Februari 2019 23:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: commons.wikimedia.org
zoom-in-whitePerbesar
Foto: commons.wikimedia.org
ADVERTISEMENT
Dilindungi oleh kotak kaca, ada sepedah roda tiga yang sudah usang, di simpan di Museum Peringatan Perdamaian di Hiroshima. Tidak ada jok, begitu pun pedan dan gagangnya, seluruh rangka sudah berkarat. Sebagaimana kebanyakan artefak yang ada di museum itu, sepeda kecil roda tiga itu memiliki kisah yang menyedihkan dibaliknya.
ADVERTISEMENT
Sepeda roda tiga itu dulunya berwarna merah cerah, milik seorang bocah lelaki berusia tiga tahun bernama Shinichi Tetsutani. Shin memiliki dua kakak perempuan, Michiko dan Yoko, dan juga sahabatnya bernama Kimi, gadis kecil tetangga dari Shin.
Setap hari Shin dan Kimi selalu bermain bersama dan melihat buku bergambar, terutama buku bergambar sepeda roda tiga yang diinginkan oleh Shin. Shin memohon kepada ayahnya untuk membelikannya sepeda roda tiga, tetapi tidak ada sepeda roda tiga di kota tempat Shin tinggal.
Kemudian Jepang berperang dengan Amerika dan Inggris yang membuat sumber daya ketiga negara yang berperang menipis. Ketika Jepang kehabisan logam untuk membuat tank dan amunisi, mereka merobohkan patung dan pagar umum, hingga mengambil sepeda bahkan perkakas seperti panci dan wajan pun direbut untuk dibuat senjata.
ADVERTISEMENT
Tidak memerdulikan seberapa banyak Shin menangis dan merajuk, ayahnya tidak bisa melakukan apa-apa. Lalu, pada suatu hari, beberapa minggu sebelum Shin berulang-tahun yang keempat, paman Shin datang ke rumahnya dan membawakan hadiah untuk Shin.
Lebih mengejutkan lagi dan membuat Shin senang adalah hadiahnya adalah sepeda roda tiga yang Shin inginkan. Paman Shin merupakan tentara dari Angkatan Laut Jepang, ketika tiba di rumah Shin pamannya menemukan Shin sedang bersembunyi di balik lemari.
Shin dan temannya Kimi sering mengendarai sepeda roda tiga di halaman rumah, sambil berlari-lari keci dan tertawa. Passerby berkomentar betapa cantik dan cerianya kedua anak-anak itu.
Pada hari itu, 6 Agustus 1945, Shin dan Kimi bermain dan mengendarai sepeda roda tiga seperti biasa, ketika sebuah ledakan dahsyat memecahkan langit pagi. Rumah keluarga Shin ambruk dan menindih kedua kakak perempuan Shin, Michiko dan Yoko.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Shin saat itu selamat, berlindung di bawah rerentuhan. Wajahnya berdarah dan bengkak, dengan tangannya yang masih erat memegang stang merah sepedah roda tiganya. Sementara itu, Kimi tidak dapat ditemukan.
Keluarga Shin bergabung dengan para penyintas lainnya yang selamat di tepi sungai. Dengan suara samar, Shin kehausan dan meminta air sungai kepada ayahnya. Namun ayahnya memerhatikan setiap orang yang sekarat setelah meminum air sungai. Memilukan, Shin tidak dapat bertahan, hanya 10 hari setelah ulang tahunnya yang keempat.
Esok harinya, ayah Shin menguburkannya di halaman belakang. Bersama dengan temannya Kimi dan sepeda roda tiga kesayangan mereka berdua.
Empat puluh tahun berselang, ayah Shin memutuskan untuk memindahkan jasad Shin ke kuburan keluarga. Ketika penggalian, ayahnya terkejut melihat sepeda roda tiga, ayahnya melupakan sepeda roda tiga itu.
ADVERTISEMENT
Ayahnya mengangkat sepeda roda tiga itu dengan hati-hati, sambil berpikir “Seharusnya hal seperti ini tidak harus menimpa anak-anak. Seandainya banyak orang mengetahui tentang sepeda roda tiga milik Shin, mereka akan menyadari bahwa dunia seharusnya menjadi tempat yang cukup damai bagi anak-anak bermain dan tertawa.”
Keesokan harinya, ayah Shin menyumbangkan sepeda roda tiga milik Shin ke Museum Peringatan Perdamaian di Hiroshima. Setiap saatnya, sepeda roda tiga Shin menjadi simbol yang kuat untuk mengingatkan betapa pahitnya sebuah peperangan.
Kisah Shin ditulis dalam sebuah buku anak-anak yang berjudul Roda Tiga Shin, ditulis oleh Tatsuharu Kodama dan diterbitkan pada tahun 1922. Saat menulis buku itu, Kodama telah membumbui bukunya dengan beberapa plot melodrama, namun inti dari ceritanya adalah sebuah kebenaran – sebagaimana yang telah diverifikasi oleh Museum Peringatan Perdamaian di Hiroshima.
ADVERTISEMENT