Tentang Mumifikasi Orang Mesir Kuno dan Kebiasaan Berbagi Makan dengan yang Mati

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
17 November 2020 23:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mumi Mesir Kuno | Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Mumi Mesir Kuno | Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Mesir kuno memiliki jejak-jejak peradaban yang sangat terkenal hingga ke seluruh dunia. Piramida, mumi, dan harta karun, menjadi beberapa hal yang cukup sering dibahas oleh para sejarawan dan arkeolog. Belum lagi dinamika pemerintahannya yang terkenal luar biasa dan bisa menciptakan berbagai inovasi.
ADVERTISEMENT
Tentunya, selalu ada beberapa fakta yang cukup menarik untuk dibahas dari Mesir kuno. Pembahasan ini juga bakal menjawab rasa penasaran kalian, terutama soal cara mereka melayani yang telah meninggal.

Tidak Semua Orang di Mumifikasi

Mumi merupakan mayat manusia yang sedikit dihancurkan, dikeringkan, dan kemudian dibalut (dengan balsem dan kain). Hal ini membuat mumi tampak unik dan menjadi salah satu artefak yang sering dilihat oleh orang-orang modern.
Akan tetapi, mumifikasi merupakan proses yang mahal dan memakan waktu yang tidak sebentar. Hal ini membuat mumifikasi menjadi salah satu proses yang lebih banyak dilewati oleh masyarakat biasa; dan hanya dilakukan oleh kalangan elite dengan harta melimpah. Berbeda dengan mereka yang diistimewakan, mayoritas orang Mesir kuno dikubur di lubang sederhana (biasanya di gurun).
Mumifikasi Mesir Kuno | Wikimedia Commons
Lalu kenapa Mumifikasi harus ada? Para elite Mesir Kuno percaya akan kemungkinan hidup kembali setelah kematian. Syaratnya, mereka harus tetap mempertahankan bentuk manusia. Mumifikasi pun hadir untuk mengakomodasi kepercayaan ini.
ADVERTISEMENT

Berbagi Makanan dengan Orang Mati

Makam pada masa Mesir Kuno dirancang sebagai rumah abadi bagi tubuh mumi dan roh Ka yang tinggal di sampingnya. Bagian kapel makam bisa dimanfaatkan sebagai akses keluarga, kerabat, simpatisan, untuk mengunjungi makam orang yang mereka kenal.
Di kapel itu biasanya disediakan makanan dan minuman. Hal ini mesti ada karena mereka percaya bahwa Ka akan mengonsumsi sajian itu secara spiritual.
Rujukan: