Tentang Perkawinan Sedarah dan Raja Wanita di Mesir Kuno

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
23 November 2020 17:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tutankhamun ialah anak hasil hubungan inses | Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Tutankhamun ialah anak hasil hubungan inses | Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Para ahli telah cukup yakin bahwa orang-orang kerajaan pada masa Mesir kuno telah menjalankan tradisi tak lazim. Demi alasan menjaga kemurnian keturunan, mereka melakukan perkawinan sedarah. Kemudian, anak-anak hasil inses ini melanjutkan takhta pada gilirannya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, bukan berarti inses ialah tindakan yang wajar pada masa itu. Pada dasarnya, pernikahan sedarah merupakan ihwal yang tidak umum dilakukan di luar kerajaan. Bahkan sampai akhir dinasti Mesir kuno, hanya beberapa raja yang menikahi saudara perempuan atau saudara tirinya.
Selain itu, walau idealnya Raja Mesir adalah seorang anak laki-laki dari raja sebelumnya, aturan tidak selalu ditepati. Sebetulnya keturunan wanita juga punya kesempatan yang sama untuk menjadi raja.
Sebagai buktinya, ada raja wanita bernama Hatshepsut yang dianggap sebagai penguasa wanita tersukses di Mesir kuno. Dia memerintah Mesir selama lebih dari 20 tahun. Hal ini membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki sebenarnya dianggap setara di Mesir kuno.
Hatshepsut | Wikimedia Commons
Pada masa itu, pria dan wanita memiliki status sosial yang setara. Keduanya setara juga di mata hukum. Ini berarti wanita dapat memiliki, menghasilkan, membeli, menjual, dan mewarisi properti.
ADVERTISEMENT
Jika bercerai atau menjanda, wanita juga diperbolehkan membesarkan anak-anaknya sendiri. Bahkan para wanita juga bisa mewakili para suami yang tak bisa hadir untuk mengurusi bisnis mereka.
Rujukan: