Wabi-sabi, Cara Orang Jepang Menerima Ketidaksempurnaan Hidup

Absal Bachtiar
Pencinta Cerita dan Asal-usul Kata
Konten dari Pengguna
17 September 2020 19:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Absal Bachtiar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh Elias Sch. dari Pixabay
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, semua manusia yang menetap sementara di bumi ini selalu mencari kenyamaan dan kepuasan, bahkan dalam situasi sulit sekalipun. Dalam budaya Jepang, terkenal konsep wabi-sabi yang membuat masyarakatnya tetap menemukan harapan di saat-saat yang sulit. Konsep ini adalah tentang penerimaan dalam budaya Jepang.
ADVERTISEMENT
Wabi-sabi berarti menerima kefanaan dan kesedihan, menyukai ketidaksempurnaan dan ketidaklengkapan. Wabi berarti keindahan elegan dari kesederhanaan yang rendah hati dan sabi berarti berlalunya waktu dan kemunduran. Penggabungan kedua kata itu membentuk cara pandang yang unik bagi orang-orang Jepang dalam memandang kehidupan yang selanjutnya sangat penting bagi budaya mereka.
Dalam dunia seni, orang Jepang pun kadang mencari karya yang tidak sempurna dan kasar. Menurut Prof Otabe, wabi-sabi meninggalkan sesuatu yang belum selesai atau tidak lengkap untuk permainan imajinasi. Sehingga, alih-alih melihat penyok atau bentuk yang tidak rata sebagai kesalahan, hal itu dipandang sebagai ciptaan alam -seperti lumut akan tumbuh di dinding yang tidak rata atau pohon akan melengkung tertiup angin.
ADVERTISEMENT
Kesempatan untuk secara aktif terlibat dengan sesuatu yang dianggap wabi-sabi meluputi tiga hal: kesadaran akan kekuatan alam yang terlibat dalam pembuatan karya; penerimaan kekuatan alam; dan pengabaian dualisme -keyakinan bahwa kita terpisah dari lingkungan kita.
Gambar oleh Jordy Meow dari Pixabay
Kebalikan dari wabi-sabi adalah memprioritaskan kesempurnaan. Istilah sempurna berasal dari bahasa Latin perfectus, yang berarti lengkap, yang kebanyakan disalahartikan di banyak budaya, terutama di Barat, karena kesempurnaan tidak hanya menciptakan standar sulit dicapai, tetapi juga standar yang salah arah.
Dalam Taoisme, karena tidak ada pertumbuhan atau perkembangan lebih lanjut yang dapat terjadi, kesempurnaan dianggap setara dengan kematian.
Penyok dan goresan yang kita tanggung semuanya adalah pengingat akan pengalaman, dan menghapusnya berarti mengabaikan kompleksitas kehidupan. Hal-hal yang tidak sempurna menjadi pengingat kalau hidup tidak sempurna, dan kita tidak harus mencoba membuatnya sempurna.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertahankan ketidaksempurnaan, memperbaiki yang rusak, dan belajar menemukan keindahan dalam kekurangan, orang Jepang pun semakin kuat saat mengatasi bencana alam yang sering datang.