news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tentang Susu yang Masih Sulit Dijangkau Rakyat

Abul Muamar
Untuk sementara tinggal di Jogja. Kritikus kuliner.
Konten dari Pengguna
1 Juni 2018 11:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abul Muamar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Selain Hari Lahir Pancasila dan Hari Anak-anak Sedunia, di Indonesia, sejak tahun 2009, tanggal 1 Juni juga diperingati sebagai Hari Susu Nusantara. Ini memang tidak penting diperingati, tapi sudahkah susu (dalam hal ini kita sepakati susu sapi) bisa dinikmati oleh siapa saja, seluruh rakyat Indonesia, mulai dari presiden sampai tukang tambal ban?
ADVERTISEMENT
Sampai sejauh ini, belum ada data tentang jumlah penduduk yang minum susu dan yang tidak. Kalaupun ada, sulit sekali menjamin validitasnya. Menurut data Kementerian Perindustrian Republik Indonesia (Kemenperin), di tahun 2016, rata-rata konsumsi susu nasional orang Indonesia hanya 16-17 kg per kapita per tahun. Angka tersebut masih kalah dan bahkan terendah dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN, seperti Malaysia (36-37 kg per kapita per tahun), Myanmar (26,7 kg per kapita per tahun), dan Thailand (22-23 kg per kapita per tahun).
Atas rendahnya konsumsi susu tersebut, mungkin bisa kita urai beberapa faktor yang menjadi sebab selain tidak mampu beli. 1) tidak mau atau tidak suka susu (dalam arti tidak suka karena alergi dsb), 2) tidak punya kesadaran akan pentingnya susu, atau dengan kata lain, memandang susu sebagai nutrisi yang tidak penting-penting amat, 3) tidak terbiasa minum susu secara mandiri sejak lepas dari asupan ASI.
ADVERTISEMENT
Tiga alasan di luar faktor ekonomi ini akan membuat kita semakin sulit untuk memastikan angka yang valid tentang tingkat kemampuan rakyat Indonesia untuk minum (baca: membeli) susu. Karena itu, supaya lebih sederhana, untuk sementara sebaiknya kita tepikan saja tiga faktor tersebut dengan asumsi bahwa mereka yang termasuk dalam kategori tiga faktor tersebut adalah mereka yang berkecukupan secara ekonomi; bukan karena tidak mampu atau papa.
Sekarang, kembali ke pertanyaan awal, seberapa mampu sebenarnya rakyat Indonesia untuk mengonsumsi susu secara rutin? Saya tentu tidak akan menjawabnya dengan memaparkan data-data survei, karena sekali lagi, validitas data yang ada sejauh ini tetap masih belum dapat dipastikan kesesuaiannya dengan fakta di lapangan. Saya hanya akan berangkat dari dua sampel garis besar kehidupan yang pernah saya temui di sepanjang usia saya.
ADVERTISEMENT
Pertama, di kehidupan mahasiswa kos-kosan. Bagi anak kos seperti saya, susu merupakan kebutuhan nomor kesekian setelah makan nasi dua kali sehari, minum air putih cukup, dan sesekali minum teh atau kopi di angkringan atau di kantin kampus. Bukan tidak suka atau tidak pengin, namun selagi tidak mendesak, kami, atau setidaknya saya, merasa tidak perlu minum susu segala. Begitulah kira-kira di benak kami.
Ini baru saya, satu anak kos. Di seluruh jagat Indonesia ini, ada berapa banyak anak kos, hah? Kecuali mereka yang orangtuanya memang kaya dan bisa mengirimi uang cukup banyak, rasanya saya yakin sekali, bahwa anak-anak kos yang lain juga sama seperti saya: amat sangat jarang minum susu!
Malangnya, kalaupun sesekali kami minum susu, yang kami minum hanyalah susu rencengan yang kadang-kadang bukan susu beneran, melainkan krimer. Ya, krimer kental manis, Sodara! Saya mafhum, produk susu kental manis memang lebih mahal, dan karenanya para pedagang kebanyakan menggantinya dengan krimer kental manis yang lebih murah. Ya, sesuai prinsip dagang gitu lah, Bos! Pengeluaran dikit, untung banyak.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri bukan tak tahu membedakan mana krimer mana susu. Hanya saja, saya pura-pura tidak tahu saja. Yang penting, warnanya sama-sama putih dan tetap ada rasa susu-susunya.
Tak sampai di situ. Selain yang kami minum itu krimer, jika minum di warung atau angkringan, takaran airnya pun tak jarang sangat tak berimbang. Satu gelas besar dibanding satu sachet krimer. Si bapak atau ibu penjual akan menambahkan gula agar susu, eh krimer, itu tetap manis di lidah kami.
Kedua, kehidupan sanak saudara saya. Mereka ada yang petani, ada yang buruh pabrik, dan ada yang pekerja bangunan. Dari beberapa kali menginap di rumah mereka sejak saya kecil, saya mendapati bahwa minum susu bukanlah sesuatu yang rutin mereka lakukan.
ADVERTISEMENT
Singkatnya, susu tidak selalu tersedia di rumah mereka untuk diminum kapan saja sewaktu-waktu. Kalau ditanya alasannya kenapa, sebenarnya jawabannya hampir sama seperti kebanyakan orang: selain cenderung mahal, susu juga dianggap bukan kebutuhan utama layaknya nasi dan lauk pauk. Persis semboyan klasik yang kita dengar semasa SD dulu; empat sehat lima sempurna. Susu berada di urutan kelima karena dianggap sekadar “menyempurnakan” gizi yang kita asup. Secara tersirat itu berarti: tak minum susu pun tak apa-apa.
***
Dalam banyak kesempatan, pemerintah selalu memberikan jawaban normatif ketika berbicara tentang rendahnya konsumsi susu rakyat. Selain alasan kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang pentingnya minum susu, pemerintah juga lebih sering beralibi bahwa rendahnya konsumsi susu diakibatkan karena produksi susu dalam negeri yang rendah. Helloooww! Tidakkah mereka mikir, bahwa alasan terakhir ini justru menunjukkan bahwa ada pekerjaan rumah yang belum mereka kerjakan?
ADVERTISEMENT
Pada Agustus 2017 lalu, dalam acara diskusi bertajuk “Susu Sebagai Sumber Nutrisi yang Terjangkau dan Pendorong Pemberdayaan UMKM” yang digelar di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Koperasi dan UKM, Abdul Kadir, sebagaimana dilansir Detik.com, memaparkan bahwa kebutuhan konsumsi susu nasional pada tahun 2016 adalah 4,45 juta ton. Namun dari jumlah kebutuhan tersebut, yang dapat dipenuhi hanya sekitar 20 persen atau sekitar 852 ribu ton. Sedangkan yang 80 persen lagi, terpenuhi karena impor. Dari Australia, Selandia Baru, Amerika dan sebagainya, kata beliau itu.
Alamak! Kalau sudah tahu produksi susu dalam negeri rendah, dan itu sudah berlangsung cukup lama, bukankah hal tersebut semestinya dapat dibenahi?
ADVERTISEMENT
Persoalan Gizi Secara Menyeluruh
Sampai sejauh ini saya membahas susu, saya ingin bilang, bahwa pesan yang hendak saya sampaikan di sini sebenarnya bukan hanya sekadar susu, melainkan tentang pemenuhan gizi rakyat secara menyeluruh. Bahwa slogan “empat sehat lima sempurna” telah digantikan dengan “nutrisi seimbang”, tentu saja saya sudah tahu. Jika masalah gizi ini dideretkan, persoalan susu ini bisa diteruskan dengan perkara mi instan yang selalu jadi “andalan” rakyat miskin, korban bencana, dan sebagainya.
Rasanya muak sekali kita mendengar pemerintah bilang begini: “….saya/kami tidak ingin mendengar ada kasus gizi buruk lagi, atau saya/kami tidak ingin ada anak yang kurang gizi lagi, atau saya meminta seluruh jajaran pemerintah daerah mendata bla-bla-bla, saya meminta seluruh kepala desa mendata bla-bla-bla…”.
ADVERTISEMENT
Sungguh yang seperti itu adalah kalimat-kalimat ulangan yang akan keluar dari mulut-mulut para pejabat ketika kasus gizi buruk mencuat ke permukaan. Seperti terhadap kasus yang beberapa waktu lalu terjadi di Tangerang Selatan dan di Asmat.
Di momen Pilpres 2019 yang sudah semakin mendekat ini, saya membayangkan, ada sosok calon presiden yang dalam kampanyenya berani mengusung program-program kerja mikro untuk mendapatkan atensi dari rakyat. Misalnya, membuat program peningkatan produksi susu lokal. Atau, sembari menunggu produksi lokal menanjak, dibuatlah program subsidi susu.
Kata program perlu digarisbawahi untuk menunjukkan keseriusan, bukan cuma imbauan-imbauan atau perintah kepada bawahan (presiden ke menteri, menteri ke kepala daerah, kepala daerah ke camat, camat ke kepala desa, dan seterusnya).
ADVERTISEMENT
Sebab toh, kita yakin, masalah utama rendahnya konsumsi susu nasional ini sebenarnya bukan karena orang-orang tak suka minum susu, bukan karena alergi susu, bukan juga karena tak sadar akan pentingnya minum susu; melainkan karena dua hal tadi: lemahnya daya beli rakyat dan rendahnya produksi susu sehingga harga susu tidak dapat ditekan menjadi murah.
Jadi, ketimbang sibuk mencari-cari keburukan-keburukan rival, akan jauh lebih baik jika seorang calon kepala negara fokus mencitrakan dirinya sebagai sosok yang penuh perhatian, serta detail terhadap persoalan-persoalan bangsa dan rakyatnya.
Gizi, apalagi cuma susu, boleh jadi memang bukan hal yang terlalu mendesak untuk dipikirkan. Tetapi, tanpa gizi yang baik, bagaimana mungkin anak-anak generasi penerus bangsa, rakyat, sumber daya manusia Indonesia, menjadi sehat dan cerdas, dan mampu bersaing dengan SDM dari negara-negara lain yang notabene terpenuhi gizinya dengan lebih baik?
ADVERTISEMENT
(Abul Muamar. Bukan ahli gizi, hanya anak kos yang sangat jarang minum susu)