news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Aceh Keras, Tipikal Bangsa Pelaut

Konten Media Partner
13 September 2019 17:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kapal nelayan Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kapal nelayan Aceh. Foto: Adi Warsidi/acehkini
ADVERTISEMENT
ESAI
Kecuali pada hari larangan melaut, aktivitas yang tidak ringan saban hari berlangsung di tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Tempat itu diramaikan dengan orang-orang yang berteriak, berbicara dengan nyaring, melempar benda, bahkan memaki.
ADVERTISEMENT
Semua itu bahkan dianggap oleh mereka, orang laut, sebagai hal yang biasa, tetapi juga keharusan sebab laut adalah tempat yang keras dan berbahaya. Maka setiap manusia yang bergumul dengannya harus keras pula. Dan tidak bisa menghindari akan dibentuk menjadi pribadi yang kokoh.
Lebih-lebih dalam kegentingan kemelut cuaca di tengah laut, orang-orang akan memekik. Keadaan keras menuntut orang laut berpikir, bertindak, dan bergerak dengan cepat. Yang tidak cepat akan diteriaki bahkan dimaki. Tujuannya untuk memaksa orang disiplin dengan keharusan mengerjakan hal-hal secara cepat tetapi teliti.
Dalam satu ceramah kebudayaannya, Radhar Panca Dahana, sastrawan Indonesia, menjelaskan bagaimana gerakan fisik sehari-hari masyarakat pesisir memengaruhi keseniannya. Tarian-tarian masyarakat pesisir penuh dengan gerakan-gerakan cepat. Berbeda dengan tarian masyarakat pegunungan/pedalaman yang banyak berisi gerakan-gerakan lambat, gemulai, yang bersesuaian sekali dengan keseharian orang-orang di sana yang menggemari “kedalaman” atau penjiwaan.
ADVERTISEMENT
Prevalensi dan kemestian melakukan gerakan-gerakan cepatlah yang kemudian membentuk fisik yang kuat serta persona yang bersungguh-sungguh pada pekerjaan. Ketika itu mesti pula dipadukan dengan ketelitian (karena kesalahan bisa berakibat fatal) maka orang-orang laut akhirnya menjadi manusia yang “lengkap”. Pada mereka ada fisik yang kuat, kedisiplinan, konsentrasi yang tinggi, dan kecerdasan mumpuni.
Dengan pemahaman begitu mestinya kita tidak bisa menemukan manusia-manusia lembek di dalam masyarakat pesisir. Fisik dan mental orang laut kuat-kuat, sebagaimana semua manusia semestinya hidup. Itu dibentuk oleh alam yang keras, yaitu laut. Meskipun masyarakat pesisir beranggotakan pula orang-orang yang pekerjaannya bukan pelaut, tetapi watak semua orang di dalamnya dibentuk oleh “suasana” laut yang panas, keras, cepat, sehingga menuntut kehati-hatian berpikir juga bertindak, ketangkasan, serta keberanian.
ADVERTISEMENT
Kejeniusan lokal pun menjadi satu komplemennya. Puluhan hingga ratusan pengetahuan kelautan yang mereka rawat dengan laku dan lisan sudah didokumentasikan di kertas-kertas penelitian, yang sebenarnya belum merangkum semuanya. Ditambah lagi kearifan yang ada di dalamnya.
Karenanya kita mesti melihat orang laut dengan pandangan lebih jernih dan terbuka. Bahwa sebenarnya nelayan bukan cuma membawa tangkapan (ikan, udang, kepiting, cumi-cumi, dan biota laut lainnya) ke darat, tetapi mereka juga mendaratkan pengetahuan. Setiap tangkapan, baik yang bisa dimakan maupun tidak, adalah pengetahuan bagi semua.
Tarek pukat, tradisi Nelayan Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Pandangan umum
Tetapi satu anggapan keliru terlanjur menyebar: orang laut kasar, watak mereka kasar. Lebih dari itu, masyarakat pesisir, terutama mereka yang melaut, dipandang kurang cerdas (apalagi punya tingkat kecerdasan yang tinggi) karena lebih mengandalkan fisik (otot) sehingga daya inteligensinya rendah.
ADVERTISEMENT
Padahal inteligensi itu dibentuk oleh kemampuan fisik dan mental (kecerdasan), dua hal yang sebenarnya dimiliki orang laut. Kemampuan mereka mendeteksi tempat ikan berkumpul dengan melihat pergerakan air, misalnya, adalah satu kejeniusan yang tidak dimiliki orang banyak.
Bersama dengan itu, orang laut juga dipandang kurang manusiawi. Nama komunitas mereka sering dipakai dalam pemberian peringatan untuk kelakuan-kelakuan tak sopan. Misalnya yang bersuara besar atau meletakkan benda dengan agak menjatuhkan/keras ditegur dengan kalimat: “Hei, bicara jangan besar-besar dan banting-banting benda seperti orang laut”.
Orang laut tidak kasar. Orang laut itu keras. Keras dan kasar adalah sifat yang berbeda. Sesuatu yang kasar belum tentu keras. Suatu yang keras bisa saja halus. Batu kapur kasar, tetapi gampang sekali dipecahkan. Batu mulia sangat keras, tetapi halus/lembut. Bilah pedang keras, tetapi permukaannya lembut/halus—sehingga mampu menembus objek lebih dalam.
ADVERTISEMENT
Perlakuan kasar selalu bertujuan untuk menyakiti (meski tindakan tersebut biasanya disebut dengan “kekerasan” bukan “kekasaran”). Sementara perlakuan keras bertujuan untuk membentuk kualitas-kualitas positif tertentu. Melaut adalah aktivitas yang keras, karena samudra adalah lingkungan tempat yang cukup keras.
Anak-anak muda, apalagi yang baru melaut, dimarahi atau diteriaki agar mereka tetap fokus, bertahan, lekas memperbaiki kesalahan yang baru dibuat, disiplin, cepat, gigih, dan berani; agar tidak main-main dalam bekerja serta memerhatikan segala sesuatu dengan cermat. Karena satu kesalahan bisa mendatangkan hal yang tak dimaui. Baik itu terlepasnya tangkapan, kapal rusak, salah arah, terseret arus, tenggelam.
Di kapal, setiap orang punya tugas. Masing-masing harus melaksanakan perannya dengan teliti atau benar. Yang lalai dan tidak gigih akan ditegur keras. Beginilah disiplin orang laut dibentuk. Tidak sedang berlangsung kekerasan di situ. Yang berlangsung hanyalah upaya membentuk pribadi yang kuat fisik, mental, dan daya pikirnya.
ADVERTISEMENT
Kualitas tersebut dibentuk bersamaan dengan kesadaran bahwa setiap orang saling berangkai. Kalau kita hendak melihat bagaimana kekolektifan dipraktikkan, atau mencari teladan guna menciptakan masyarakat dengan rasa kebersamaan yang kuat, pada orang lautlah itu bisa didapat. Kesadaran tersebutlah yang kemudian menjadi penekanan dalam kebudayaan maritim. Suatu kebudayaan yang tidak memberi kesempatan bagi pihak manapun untuk menegakkan diri dengan jalan penyingkiran pihak lain. Jika seseorang atau sekelompok orang ingin tegak maka harus mengikutsertakan “yang lain”.
Nelayan di Aceh. Foto: Suparta/acehkini
Ketika hendak pergi dan pulang melaut, orang laut selalu menyadari bahwa eksistensi satu orang ditentukan oleh eksistensi individu-individu lain. Satu prinsip yang kira-kira dapat dibahasakan secara puitis begini: “Aku tak bisa pergi ke tengah tanpamu, aku tak bisa kembali ke darat tanpamu”. Setiap orang saling terikat. Yang menyingkirkan akan tersingkir.
ADVERTISEMENT
Celaka yang disebabkan satu orang akan mencelakai yang lainnya. Dan laut tidak menyediakan pegangan untuk orang yang akan tenggelam. Kenyataan itulah yang membuat orang laut tak menganggap sedang dijatuhkan ketika dimarahi, diteriaki, atau dimaki. Kata-kata keras dari rekannya, terutama orang tua di kapal, selalu dipandang sebagai kepedulian, sebagai suatu peribudi yang nyata. Maka anggapan “kurang manusiawi”, “suka asal-asalan”, atau “tidak cerdas” sama sekali tak betul.
Terutama untuk anggapan “kurang manusiawi”, biasanya dikaitkan dengan tiadanya kearifan. Padahal orang laut punya sikap arif yang mengesankan dalam memandang serta memperlakukan alamnya (lautan). Antara lain adalah keyakinan pada segala hal jelek yang dibuang ke laut akan dikembalikan laut ke tempat asalnya (daratan). Ini tidak cuma soal sampah yang dilempar ke laut lalu terseret ke darat. Pemaknaannya ditarik lebih jauh sampai menghasilkan satu nasihat; segala tindakan jahat yang kita timpakan pada orang lain pasti keburukannya akan menimpa kita pula nantinya.
ADVERTISEMENT
Kearifan orang laut juga ditunjukkan dengan rasa syukur mereka atas segala yang diperolehnya dari alam, serta dengan selalu memastikan setiap orang mendapatkan tangkapan secara adil. Dan terhadap alam, satu kearifan yang sudah berusia cukup tua adalah larangan melaut di hari tertentu, misalnya saat Jumat atau Lebaran, yang oleh orang Aceh disebut pantangan. Penghentian sementara kegiatan melaut bukan hanya memberi manusianya waktu beristirahat, tetapi juga membuat biota laut punya kesempatan untuk berkembang biak atau tumbuh di masa jeda itu.
Manusia yang berwatak rakus tidak peduli dengan pemahaman ini. Kegemaran mengeksploitasi adalah musuh bebuyutan kesadaran keberlanjutan. Manusia seperti inilah yang sebenarnya kasar. Orang laut keras, tetapi bukan keras kepala seperti orang tamak.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu apabila kita, masyarakat pesisir, dikatai keras, tidak perlu marah. Karena kita memang begitu. Aneh sekali kalau marah. Marah itu kalau kita dibilang “lembek”. Mestinya kita membenarkan pencapan “keras” itu, bahkan harus dengan perasaan bangga. Karena hanya yang terkeraslah yang akan menjadi pelindung terbaik, seperti cara orang Aceh melindungi Republik ini. []
Bisma Yadhi Putra, Penulis.
Penulis: Bisma Yadhi Putra (esais dari Gampong Panggoi, Lhokseumawe)