Advokasi Kesepakatan Damai Aceh, Pemerintah Minta Saran Perunding GAM

Konten Media Partner
8 Oktober 2019 8:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi massa mengarak bendera bulan bintang saat pengukuhan Wali Nanggroe Aceh di Banda Aceh (16/12/2013). Bendera Aceh, salah satu amanah perdamaian yang belum selesai. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi massa mengarak bendera bulan bintang saat pengukuhan Wali Nanggroe Aceh di Banda Aceh (16/12/2013). Bendera Aceh, salah satu amanah perdamaian yang belum selesai. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), mengumpulkan mantan anggota Tim Perunding Gerakan Aceh Merdeka (GAM) untuk dimintai pendapatnya, setelah 14 tahun damai Aceh.
ADVERTISEMENT
Pertemuan membahas beberapa hal penting yang belum terealisasi sampai kini, sebagai amanah perdamaian. Mereka yang Hadir dalam pertemuan tersebut, di antaranya Bakhtiar Abdullah, M. Nur Djuli, Nurdin Abdurahman, Munawar Liza Zainal, Shadia Marhaban dan Teuku Hadi, berlangsung di Banda Aceh, Senin (7/10).
Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, untuk mengkaji tingkat implementasi maupun implikasi dari MoU Helsinki dan UUPA selama 14 tahun berakhirnya konflik antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Aceh. Tim tersebut dipimpin oleh Teuku Kamaruzzaman, beranggotakan sejumlah akademisi.
Pertemuan digunakan sepenuhnya untuk untuk mendengar dan mendapat masukan dari pada perunding di Helsinki, Finlandia, sehingga tercapainya damai Aceh pada 15 Agustus 2006 silam.
Tim Advokasi dan Kajian MoU Helsinki dan mantan juru runding GAM di Helsinki. Dok. Munawar Liza
Sala seorang mantan juru runding GAM, Bakhtiar Abdullah menyatakan penghargaan yang tinggi atas kesediaan tim tersebut berjumpa dengan mereka. “Kita selalu membuka diri untuk mendiskusikan upaya-upaya advokasi MoU Helsinki,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, bertahun-tahun sebelumnya tidak pernah pihak DPR Aceh mengajak mereka mendiskusikan masalah-masalah penting yang timbul dalam pelaksanaan MoU Helsinki. “Yang sering terjadi hanya karena kekeliruan dalam memahami poin-poin MoU yang tersurat dan tersirat. Ini langkah maju. Berjuang untuk Aceh itu harus bersama-sama dan melibatkan banyak pihak, terutama para ilmuan,” sebut Bakhtiar.
Tim Perunding GAM selanjutnya menyampaikan poin-poin penting yang disepakati di Helsinki dan spirit dari isi perundingan, terutama sekali berbagai poin belum diimplementasikan atau yang telah dilaksanakan tetapi tidak maksimal.
“Kami sampaikan semua apa yang telah disepakati, yang harusnya dijalankan oleh para pihak. Banyak poin dalam MoU yang belum digali sebagai potensi untuk membawa kesejahteraan bagi masyarakat Aceh,” tambah Munawar Liza Zainal.
ADVERTISEMENT
Mantan perunding GAM di Helsinki lainnya, M Nur Djuli berharap, hasil dari kajian para ahli dan akademisi ini, bisa dijadikan bahan untuk sama-sama meluruskan UUPA. “Agar sesuai dengan poin-poin yang tercantum dalam MoU Helsinki,” ujarnya.
Di antara masalah-masalah yang menjadi topik utama pertanyaan dari anggota Tim Kajian dan Advokasi MoU Helsinki, adalah hal-hal yang masih kontroversial di Aceh. Misalnya, terkait bendera dan lambang Aceh, Institusi Wali Nanggroe, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, keberadan Dana Otonomi Khusus dan sistem perpajakan. []
Reporter: Adi W