Aktivis Aceh Tentang Kebiri Kimia: Kekerasan Seksual Bukan Hanya dengan Penis

Konten Media Partner
6 Januari 2021 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kebiri. Foto: Qimono
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kebiri. Foto: Qimono
ADVERTISEMENT
Sejumlah elemen sipil di Aceh menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Kebiri Kimia bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tidak signifikan menjawab persoalan kekerasan seksual saat ini.
ADVERTISEMENT
Fasilitator Kesetaran Gender, Abdullah Abdul Muthaleb, menyebutkan PP Kebiri mengabaikan akar masalah. “Kekerasan seksual itu sumbernya di pikiran laki-laki yang patriakhis. Jadi kebiri bukan solusi yang hanya menyasar penis,” katanya, Rabu (6/1/2021).
Kebiri kimia dinilainya tidak mampu mengubah pikiran pelaku kekerasan seksual. Dalam jangka pendek, bisa jadi akan menimbulkan shock therapy tetapi sekali lagi tidak akan menyelesaikan masalah. “Justru ini bisa menjadi pemicu lahirnya kekerasan seksual dalam bentuk yang lebih sadis. Sangat terbuka kemungkinan tindakan terjadi lebih brutal dengan cara-cara yang tak lazim terjadi selama ini. Jadi kebijakan ini bisa populis tapi tidak jadi solusi yang baik,” katanya.
Presidum Balai Syura Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, mengatakan hal serupa. “PP kebiri tidak menjawab akar persoalan perkosaan dan kekerasan seksual, termasuk pada anak,” katanya.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, berbagai kekerasan ini terjadi berkaitan dengan relasi kekuasaan. Artinya, tidak bisa diselesaikan dengan kebiri. “Selain itu, perkosaan dan kekerasan seksual tidak hanya dilakukan dengan menggunakan penis. Ini kalau hukumannya kebiri mempersempit definisi perkosaan jadinya,” sebur Suraiya.
Sementara itu, Direktur Eksektif Flower Aceh, Riswati, mengatakan PP Kebiri bukan jawaban terhadap pemulihan korban yang justru sangat dibutuhkan. “Kasus kekerasan seksual terus terjadi, tantangan penanganannya masih kuat dirasakan, terutama di Aceh terkait dengan penangan hukum bagi korban kekerasan seksual yang menghadapi dualisme kebijakan terkait penangan kekerasan seksual,” katanya.
Dia berharap ,pemerintah segera mengeluarkan kebijakan yang menjamin pemenuhan hak-hak korban secara konfrehensif dan terintegrasi, mulai dari pencegahan, penanganan, pemulihan dan pemberdayaan. “Supaya korban mendapatkan hak-haknya dan dapat melanjutkan hidupnya seperti semula,” katanya.
ADVERTISEMENT
Fakta di lapangan, kata Riswati, korban kekerasan masih mengalami kendala untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan, bahkan restitusi yang harusnya dibayarkan kepada korban sampai saat ini belum dapat terimplementasi dengan baik di seluruh wilayah di Aceh, karena tidak adanya aturan lanjutan.
Selain itu, masih ada korban dan keluarga yang belum mendapatkan dukungan maksimal dari komunitasnya, “Bahkan ada yang justru mengalami stigma dan pengucilan,” tegas Riswati.
Ketua PUSHAM Unsyiah, Khairani Arifin, mengingatkan agar pelaku kekerasan seksual mendapat hukuman yang menjerakan dan manusiawi. Penghukuman bagi pelaku, bukan tidak penting, tapi harus dengan penghukuman yang manusiawi yang dapat memberi efek jera, tapi dengan tetap memperhatikan prinsip penghukuman yang manusiawi.
Selain itu, penting pula dipastikan pelaku pelecehan seksual non-fisik dan pelaku di bawah 14 tahun direhabilitasi khusus agar bisa merubah pola fikir dan sikap, sehingga mencegah terjadinya perbuatan yang sama di masa berikutnya.
ADVERTISEMENT
Tentang pemenuhan hak korban, harus dipastikan penanganannya dilakukan secara menyeluruh dengan mengutamakan upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan bagi korban. “Semua ini diatur dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Jadi, salah satu solusi konkrit penghapusan kekerasan seksual yaitu dengan segera bahas dan sahkan RUU ini,” tegasnya. []