Angka Kekerasan Seksual Tinggi, Perempuan Aceh Minta RUU-PKS Disahkan

Konten Media Partner
16 Agustus 2019 17:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Diskusi perempuan Aceh terkait RUU PKS. Dok. Flower
zoom-in-whitePerbesar
Diskusi perempuan Aceh terkait RUU PKS. Dok. Flower
ADVERTISEMENT
Kian tingginya angka kekerasan seksual di Aceh, aktivis perempuan menilai pentingnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang merupakan kebutuhan masyarakat, khususnya perempuan dan anak-anak. RUU PKS dinilai bisa memberikan perlindungan secara komprehensif kepada perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh, Amrina Habibi mengatakan kekerasan kepada perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya dan semakin beragam bentuknya, sementara aturan yang ada belum maksmal menjawab persoalan dan pemenuhan hak korban.
Pernyataan tersebut disampaikannya pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Flower Aceh-Permampu bersama Forum Pengada Layanan-LBH Apik-RPuK, KPI, PKBI dan PEKKA Aceh tentang RUU PKS sebagai pemenuhan hak perempuan dan anak Aceh, Kamis (15/8/2019) di Banda Aceh.
“Kasus kekerasan terhadap perempuan anak mengalami peningkatan setiap tahunnya,” katanya dalam pernyataan tertulis yang disampaikan kepada acehkini, Jumat (16/8).
Menurutnya, pada 2015 tercatat sebanyak 939 kasus, lalu meningkat di tahun 2016 menjadi 1.648 kasus. Pada tahun 2017 meningkat sebanyak 1.791 kasus, dan di tahun 2018 ada penurunan menjadi 1.376 kasus.
ADVERTISEMENT
“Angka tersebut masih belum mengambarkan situasi di lapangan karena masih mengakarnya budaya patriarki yang membuat korban takut untuk berbicara dan melaporkan,” kata Amrina.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekitarnya juga belum memberikan ruang bagi perempuan untuk berbicara, menentukan keputusannya sendiri menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya. Kendala lainnya yang dihadapi terkait dengan kebijakan hukum, pembuktian yang sulit, dan mekanisme hukum yang masih tumpang tindih dan belum menjawab kebutuhan korban.
Ketua Pusat Riset Hukum dan Kebijakan Fakultas Hukum Unsyiah, Nursiti, mengatakan RUU PKS jika disahkan, bisa mengisi kekosongan hukum terkait dengan isu kekerasan seksual. “Terutama tentang pembuktian kasus kekerasan seksual yang memudahkan korban memberikan bukti hanya dengan keterangan korban, dan bukti berupa visum,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Sementara di aturan lainnya, pembuktian harus menghadirkan saksi mata sehingga banyak berkas korban dikembalikan karena dinilai tidak cukup bukti,” tegasnya.
Menurutnya, RUU-PKS memberikan peluang besar dalam usaha pelindungan perempuan dan anak karena memuat pengaturan terkait dengan perlindungan, pencegahan, mengisi kekosongan hukum, menjawab masalah kesulitan pembuktian pada kasus kekerasan seksual dan sanksi yang lebih menjerat kepada pelaku.
Menjawab polemik terkait RUU-PKS yang melegalkan hubungan seks bebas karena dikaitkan dengan pasal pengaturan aborsi, Nursiti menjawab RUU-PKS ini tidak melegalkan aborsi, tapi berbicara mengenai pemaksaan aborsi. “Mengenai aborsi sudah diatur di UU Kesehatan, dan selama ini UU tersebut hanya menjerat perempuan saja, tapi tidak ada jeratan kepada tindakan pemaksaannya,” pungkasnya.
Para tokoh perempuan Aceh dan LSM perempuan usai diskusi RUU PKS. Dok. Flower Aceh
Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak (KPPA) Aceh, Ayu Wilda Nimgsih mengatakan perlu ada penjelasan lebih lanjut terkait dengan pasal yang mengatur aborsi agar pasal tersebut tidak disalahgunakan. “Pasal tentang aborsi haruslah ada penjelasan lebih lanjutnya yang lebih mendetil, sehingga pasal ini tidak disalahgunakan dan dinilai melegalkan aborsi,” tegasnya.
ADVERTISEMENT
Perwakilan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Kota Banda Aceh mengatakan perlindungan perempuan dan anak harusnya menjadi prioritas saat ini. “Penegakan hukum terkait kasus perlindungan perempuan dan anak harus diimplementasikan dengan baik, sehingga bisa mengurangi dan menghapus angka kekerasan seksual di Aceh,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengatakan RUU PKS menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2016, namun proses pengesahan RUU PKS menghadapi hambatan, di antaranya disebabkan oleh bermunculannya beragam pandangan kontroversi melalui media sosial dan aksi penolakan di beberapa wilayah di Indonesia.
Resistensi terhadap upaya pengesahan RUU PKS juga muncul secara massif dari berbagai kalangan di Aceh. Penolakan, karena RUU tersebut dinilai sebagai ancaman dalam penerapan Syariat Islam di Aceh, karena memuat aturan yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, terutama terkait pelegalan zina, khalwat dan LGBT. “Faktanya, berdasarkan kajian yang ada, penilaian tentang RUU PKS tersebut tidak mendasar dan tidak memiliki justifikasi yang kuat,” kata Riswati.
ADVERTISEMENT
Dia menyebutkan, tujuan pelaksanaan diskusi publik untuk menghimpun usulan penting terhadap RUU PKS, menghimpun masukan dan dukungan dari Aceh untuk pengesahan RUU PKS. Diskusi menghadirkan 55 orang perwakilan dari Instansi pemerintah terkait, perguruan tinggi/akademisi, tokoh perempuan dan tokoh masyarakat strategis di tingkat desa dan LSM di Aceh. []
acehkini