Belajar dari Konflik Aceh, Kami yang Diragukan Negara dan Warga

Konten Media Partner
16 Oktober 2019 12:56 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para jurnalis Aceh, berdoa di kuburan Ersa Siregar, salah satu jurnalis yang meninggal tertembak dalam kontak senjata di Aceh. Dok. Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Para jurnalis Aceh, berdoa di kuburan Ersa Siregar, salah satu jurnalis yang meninggal tertembak dalam kontak senjata di Aceh. Dok. Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
Di wilayah mana pun yang sedang didera ricuh, rusuh, dan konflik senjata, kerja-kerja jurnalis bukan hanya diragukan penguasa, juga masyarakat secara umum yang mengalami imbas langsung.
ADVERTISEMENT
Aku mengalami puluhan kali, pengalaman tak enak sebagai tertuduh dari warga, dan para pihak bertikai, saat konflik Aceh masih mendera, sebelum damai 15 Agustus 2005 hadir di bumi Serambi Mekkah.
Banyak jurnalis dianggap membela satu pihak, bahkan dianggap sebagai kaki tangan negara. Mungkin istilah kerennya, buzzer--kalau sekarang. Aku dan kawan-kawan jurnalis di Aceh yang merasakan masa itu, tak terlalu peduli sebenarnya terkait nilai-nilai yang disematkan. Hanya satu selalu kami jaga, keamanan diri.
Penilaian dari aparat TNI misalnya, pernah kudengar langsung disampaikan oleh beberapa anggota yang bertugas di kalangan Kodam Iskandar Muda saat itu. Beberapa dekat dengan Jurnalis, awalnya karena butuh untuk menyebarkan informasi institusi. Akibat sering minum bersama di warung-warung, kadang rahasia atau memang bukan rahasia, dikisahkan mereka.
ADVERTISEMENT
Para jurnalis di Banda Aceh, biasa ngumpul di warung CoHA, yang dikelola oleh Ismail alias Bang Mae. Warung itu tak ada lagi kini, dulunya hanya sebuah pondok di depan Gedung PWI Aceh, kawasan Simpang Lima Banda Aceh. Tempatnya strategis, di pusat kota dekat dengan markas Kodam Iskandar Muda, tak terlalu jauh dari Markas Kepolisian Daerah Aceh, sebuah pemegang sumber informasi utama kala perang.
CoHA sendiri diambil dari kepanjangan Cessation of Hostilities Agreement, sebuah kesepakatan penghentian permusuhan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani Desember 2000, dan gagal pada 18 Mei 2003, menjelang Aceh ditetapkan sebagai Wilayah Darurat Militer.
Parade pasukan TNI di Aceh. Dok. Adi Warsidi
Suatu pagi, seperti biasa seorang perwira rendah di TNI bergabung bersama kami di Warung CoHA. Kurasa saat itu, dia baru selesai mengikuti rapat di kantornya. Belum memesan kopi, dia sudah bicara.
ADVERTISEMENT
“Ada beberapa wartawan dan dinilai berafiliasi GAM, mereka adalah (dia menyebut nama), demikian (menyebut namanya) melaporkan dari Warung CoHA, Banda Aceh,” katanya, lalu tergelak. Kami bengong, beberapa lainnya menerimanya dengan saling bercanda.
“Makanya jangan dekat-dekat kali dengan GAM, kan sudah dipantau ini,” celoteh seorang rekan jurnalis.
Kisah ini tak menyurutkan semangat kawan-kawan yang tertuduh untuk tetap menulis tentang konflik Aceh, memberitakan imbas yang dialami warga, kekerasan, kematian, penyiksaan, sambil berharap damai segera cepat hadir. Sebagian memakai nama samaran dalam tulisannya, ini memungkinkan secara etik jurnalistik.
Sedikit perubahan, para jurnalis lebih sering hadir di Media Center Kodam Iskandar Muda, maupun meliput kegiatan-kegiatan TNI. Untuk membuktikan bahwa mereka tak memihak dan berafiliasi, hanya memberitakan kebenaran.
ADVERTISEMENT
***
Pasukan GAM saat konflik Aceh. Foto: MH
Terlalu dekat dengan TNI dan Polisi juga mencurigakan warga atau pihak GAM. Sebagai pengalaman, sebuah kejadian pada 12 Desember 2004, masih kuingat sampai sekarang. Saat itu, aku berangkat dari Tapaktuan, Aceh Selatan setelah liputan kondisi pengungsi konflik di Lhok Bengkuang.
Tujuan berikutnya, masuk ke kamp pengungsi di Keutapang, Calang, Aceh Jaya. Warga mengungsi karena terpaksa, diusir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau tentara pemerintah Indonesia karena kampung mereka selalu terjadi kontak senjata.
Aku menumpang mobil L-300, tujuan Tapaktuan-Banda Aceh. Di dalammya telah ada beberapa penumpang, aku menempati deretan ketiga bersama yang lain. Mobil tersebut kemudian singgah sebentar di Gampong Dalam atau Meunasah Dalam di Kecamatan Sama Dua, sopir mengatakan akan mengambil seorang penumpang di sana.
ADVERTISEMENT
Sesampai di sana, seorang penumpang naik bersama anaknya. Ada yang aneh di rumahnya, tertulis dengan cat merah ‘GAM’ disertai sebuah nama. Tanda itu lazim ditemukan saat konflik Aceh, penanda yang dibuat aparat pemerintah kepada rumah yang anggota keluarganya terlibat GAM. Kulihat, penumpang di mobil memelototi rumah dan perempuan baru naik itu.
Dia duduk pada deretan di depanku. Sambil keluar dari kampung tersebut, kuperhatikan ada beberapa rumah di sana yang bertanda sama. Kukeluarkan kamera dan memotretnya. Salah satunya seperti gambar di bawah ini, data foto bertanggal 12 Desember 2004 pukul 10.39 WIB.
Rumah bertanda GAM masa konflik Aceh. Dok. Adi Warsidi
Perempuan itu tak banyak bicara, sesekali menenangkan anaknya yang masih kecil. Kesempatan bicara bicara dengannya tak mungkin bisa kudapat di dalam mobil. Aku sabar saja sampai di mobil berhenti di Blang Pidie, Aceh Barat Daya untuk memberikan kesempatan kepada kami rehat dan makan siang.
ADVERTISEMENT
Dia tidak turun karena membawa bekal, kesempatan bagiku bertanya. Mengaku bernama Nur, dan aku memanggilnya Kak Nur. Setelah beramah tamah, lalu bertanya tentang makna tulisan di dinding rumahnya. Dia balik bertanya, "adik anggota ya?"
Anggota merujuk pada sebutan untuk TNI atau Polisi. Aku heran, karena penampilanku jauh dari mirip dengan aparat. Hanya saja rambutku yang panjang melewati bahu, mungkin saja dicurigai sebagai intelijen atau mata-mata.
“Saya wartawan kak, asal Banda Aceh,” kataku menebar senyum seramah mungkin.
Dia kembali mengajukan pertanyaan, “Wartawan TNI atau wartawan GAM?” Aku tercekat seperti sedang diinterogasi.
Kujelaskan posisiku yang independen dan tak berorientasi ke pihak manapun. Kak Nur masih membantah karena keyakinannya ada wartawan yang memihak. Aku tak berdebat dan diam sambil menghela nafas panjang.
ADVERTISEMENT
Sejenak kemudian sepertinya dia percaya. Kak Nur kemudian bercerita ihwal tanda merah di rumahnya. Adiknya adalah anggota GAM yang bermarkas di hutan-hutan Aceh Selatan. Dia tak pernah pulang lagi ke rumah setelah TNI/Polisi mengencarkan operasi besar-besaran di sana.
Sulit juga menghadapi pertanyaan, “Wartawan TNI atau GAM?” seperti itu. Tapi setidaknya aku telah mendapatkan jurus bahwa tidak terlalu ngotot saat menghadapi orang-orang yang curiga seperti Kak Nur, akan membuatnya percaya kepada kita.
GAM juga mencurigai kami saat itu, karena tak sedikit intelijen aparat berpura-pura menjadi jurnalis di setiap kesempatan. Karena pekerjaan ini mudah disusup dan tergolong aman.
***
Aksi jurnalis di Aceh, menolak kekerasan. Dok. AJI Banda Aceh
Kecurigaan terhadap kerja-kerja jurnalis, masih berlangsung hingga kini di Aceh dan Indonesia secara umum, dalam kondisi rusuh, ricuh, persaingan politik para pihak, apalagi konflik.
ADVERTISEMENT
Diperparah fakta, banyak pihak membuat media dan menciptakan jurnalisnya untuk merancang sebuah kondisi menguntungkan. Umumnya disebut abal-abal, membingungkan sampai Dewan Pers sendiri kewalahan. Kepercayaan kepada profesi ini, semakin buruk.
Banyak contohnya yang terkini. Lihat saja penabalan terhadap jurnalis saat kerja-kerja memberitakan Pemilu 2019 berlangsung, hingga di beberapa daerah pengaruhnya terbagi dalam dua kelompok besar. Kalau bukan dianggap mendukung calon presiden 01, maka 02.
Lalu dalam konflik Papua, kerusuhan Papua, sampai aksi demo mahasiswa yang menolak sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU). Mereka yang bekerja dengan mengedepankan etik, dan elemen jurnalistik lainnya dengan menulis peristiwa di depan mata saja kerap dinilai keliru, bahkan ada tuduhan menyebar hoaks. Belum lagi intimidasi dan kekerasan lainnya.
ADVERTISEMENT
Lalu, kebenaran terhadap kerja jurnalis (yang sebenarnya) tak mutlak di mata para pihak, kendati sudah menerapkan sederet etik dan aturan-aturan mengikat profesi. Kadang mereka tetap saja salah, saat menuliskan yang sebenarnya.
Maka, aku selalu teringat kata Kak Nur pada 14 tahun lalu. “Wartawan TNI atau Wartawan GAM?” []
Aksi jurnalis di Banda Aceh. Foto: Suparta/acehkini