Damai Aceh Telah 17 Tahun, Hak Eks Kombatan dan Korban Konflik Belum Terpenuhi

Konten Media Partner
27 Juli 2022 18:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penyerahan senjata pasukan GAM kepada personel Aceh Monitoring Mission di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Desember 2005. Foto: Adi Warsidi
zoom-in-whitePerbesar
Penyerahan senjata pasukan GAM kepada personel Aceh Monitoring Mission di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Desember 2005. Foto: Adi Warsidi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jelang peringatan 17 tahun damai Aceh, hak para mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan korban konflik dinilai belum sepenuhnya terpenuhi, sesuai perjanjian damai. Hal itu mencuat dalam diskusi yang digelar Aceh Resource and Development (ARC) membahas percepatan penyelesaian hak-hak eks kombatan, eks tapol napol dan korban konflik di Aceh. Kegiatan ini berlangsung di Kriyad Muraya Hotel, Banda Aceh, Rabu (27/7/2022).
ADVERTISEMENT
Deputi II Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Tgk Amni bin Ahmed Marzuki, mengatakan proses reintegrasi selama ini sudah berlangsung dan berjalan. Menurutnya, perundingan damai Aceh antara Pemerintah Indonesia dan GAM yang disepakati di Helsinki, Finladia pada 15 Agustus 2005 silam, dilakukan karena adanya konflik.
Perjanjian yang dituangkan dalam sebuah kesepakatan bersama atau disebut MoU Helsinki, kemudian melahirkan kebijakan-kebijakan lainnya dalam mengisi damai, termasuk reintegrasi. "Alhamdulillah proses reintegrasi ini sudah berlangsung. Pihak GAM sudah mengintegrasi semua pasukannya dan sudah hidup dalam masyarakat. Namun, ada hak-haknya yang belum tersampaikan dan terpenuhi. Tidak semuanya," kata Tgk Amni, yang juga mantan petinggi GAM.
Dia menyebutkan, salah satu hak yang tercantum dalam MoU Helsinki adalah pemberian tanah kepada kombatan GAM dan korban konflik. Selama ini ada beberapa kendala dalam pembagian tanah untuk mantan kombatan, di antaranya karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak memiliki kewenangan untuk memberikan lahan tersebut dalam kawasan hutan.
ADVERTISEMENT
"Di sejumlah Kabupaten/kota itu tidak punya tanah areal penggunaan lain (APL) dan itu menjadi kendala yang besar. Karena Bupati daerah itu sendiri, dia punya kekuasaan untuk memberikan tanah untuk diretribusikan dalam kawasan APL," kata dia.
Diskusi terkait percepatan hak-hak kombatan GAM dan korban konflik di Aceh. Foto: ARC
Pakar Ekonomi Universitas Syiah Kuala (USK), Dr Amri, menyampaikan perlu dipikirkan bersama langkah-langkah konkret dalam menuntaskan hak-hak mantan kombatan dan korban konflik. Semua pihak terkait perlu duduk bersama kembali untuk membahasnya. Ini juga menjadi cara pengentasan kemiskinan di Aceh yang berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), masih tertinggi di Sumatera.
"Jadi data yang disampaikan oleh BPS itu valid. Indikatornya ada pengangguran, pemerataan ekonomi
Praktisi Hukum dan Notaris, Siti Rahmah, menyampaikan bahwa persoalan ini perlu keseriusan pemangku kepentingan di Aceh agar bisa mengambil kebijakan yang dapat menyejahterakan masyarakat, utamanya korban konflik.
ADVERTISEMENT
"Sebab ini sudah bertahun-tahun tapi belum ada kejelasan dari pihak pemerintah. Hari ini banyak permasalahan yang belum konkret. Ini hanya butuh regulasi saja, kalau regulasinya sudah ada maka bisa jalan," ujarnya.
Sementara itu, Dosen Hukum USK, Bakti Siahaan, menyarankan persoalan hak kombatan, tapol/napol dan korban konflik khususnya terkait pembagian lahan perlu dikonkretkan dan diselesaikan bersama-sama. “Kemudian meminta kepada siapa selaku pemegang mandat tertinggi, sehingga masukan ini harus sampai kepada presiden," pungkasnya. []